Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Sandiwara Cintamu

Sandiwara Cintamu

Pundalisa

5.0
Komentar
184
Penayangan
10
Bab

Tak kusangka, drama itu membuatku merasa hidup dalam kenyataan. Betapa perselingkuhan itu, kamu bungkus dengan begitu rapi!

Bab 1 Kepulanganmu

Saat itu, jam di dinding sudah menunjukan waktu pukul sebelas malam. Sedangkan tubuhku masih saja berada di kantor. Maka segera kukirimkan semua laporan yang selesai dikerjakan ke Pak Freza. Besoknya, harus sudah siap dengan bos baru, yaitu kamu, Tiyo. Kurapikan semua barang di atas meja, menyiapkan tas, lalu bersiap agar bisa cepat pulang.

Teringat tentang kabar kedatanganmu. Mungkin saat itu, sebenarnya kamu sudah ada di rumah. Bibi Endah bilang kalau pesawat akan mendarat pukul delapan. Pasti beberapa jam sebelumnya, kamu sudah tertidur.

Kumatikan semua lampu sebelum pergi keluar kantor, lalu segera menuju lift. Meski semua karyawan sudah pulang, aku tidak merasa takut. Karena petugas keamanan di sana semuanya bersikap baik.

"Hati-hati di jalan ya, Bu Zahra!" Pak Ari menyapa ketika bertemu di pintu utama gedung. Senyumannya begitu ramah.

"Terima kasih ya, Pak Ari. Saya pulang duluan ya," jawabku seraya menjalankan mobil.

###

Sepanjang perjalanan pulang, masih teringat kata-kata Bi Endah di kantor-di depan meja kerjaku.

"Tiyo pulangnya besok."

"Begitukah?" Entah, tidak tahu kalimat apa yang harus kuucapkan.

Tidak peduli dengan apa pun yang akan mereka bicarakan, karena ibuku adalah kepala pelayan keluarga Pak Freza-bapakmu. Mereka mendidik dan membiarkanku tinggal di rumah, dengan gaji ibu sebagai gantinya. Setelah lulus, aku bekerja di perusahaan mereka sebagai sekretaris Pak Hasan.

Sebenarnya, kalau dihitung, sudah dua tahun bekerja di sana. Awalnya hanya magang, karena ketika itu masih tahun pertama kuliah; bekerja secara part time, dan setelah lulus menjadi karyawan resmi dan bekerja secara full time.

"Eh, dia mau ngegantiin posisi Pak Hasan loh. Lo harus bisa ngajarin dia dalam bisnis ini, karena lo adalah sekretaris Pak Hasan selama dua tahun!" ucap Bi Endah.

"Oke. Gak masalah Bi."

"Dia mulai masuk kantor hari Jumat. Nah, nanti hari Sabtu, lo ada acara gak? Shopping yuk, bareng gue!"

"Boleh, lagian saya juga udah selesai laporan kok bulan ini," jawabku.

Aku dekat dengan Bibi Endah. Dia selalu memperlakukanku layaknya seorang adik. Walau sebenarnya, dia dan suaminya menganggapku sebagai anaknya sendiri. Karena memang, mereka belum punya anak perempuan.

"Woy, Zahra! Gak usah terlalu gila kerja lah. Lo juga butuh kehidupan sosial. Gadis kayak lo harus ngabisin lebih banyak waktu malam di luar. Jangan di kantor terus! Makanya kan, lo gak punya pacar sampai sekarang!"

"Hehe. Bibi bisa aja."

"Nanti Tiyo datang, lo terpesona nanti. Haha." Komentar tawanya membuat pipiku seakan merona.

Andai saja kamu tahu, Tiyo. Ya, andai saja kamu tahu bahwa aku telah menyimpan rasa, dan menunggumu datang selama bertahun-tahun.

###

Saat klakson mobil terdengar begitu keras, pikiran kembali dari lamunan. Sinyal lampu berhenti mati. Untungnya, suasana lalu lintas begitu sepi hari itu. Jadi tidak tertabrak saat melamun.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, akhirnya tiba di rumah keluargamu. Kuparkir mobil di belakang Toyota Vios, yang juga diparkir di garasi luas. Setelah itu turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah.

Akan tetapi, lampu rumah tidak menyala, mungkin orang-orang sudah tertidur. Kujentikan saklar di dekat kusen pintu, lalu ....

Betapa terkejutnya saat melihat sosok yang kukenal, berbaring di sofa ruang tamu.

"Tiyo?" Aku bertanya-bertanya. Jantung yang sebelumnya tenang mulai berdegup kencang.

Mumpung kamu sedang tidur, aku menatap dan mencoba melihat perubahan yang ada di tubuhmu. Setelah lima tahun kita berpisah, ternyata banyak yang berubah pada penampilan fisikmu.

Lenganmu yang dulu cukup kurus, sudah berotot. Perawakanmu juga terlihat jelas. Wajah yang lembut kemudian terlihat nakal dan kasar. Bahkan dalam keadaan tidur, kamu terlihat kejam tapi lebih jantan.

"Jadi lo selalu pulang terlambat dari kantor, ya?"

Hampir saja aku melompat, panik, karena tiba-tiba saja kamu berbicara.

"Lo udah bangun?" aku bertanya, meskipun, seharusnya memang tak perlu. Kamu bangkit dari berbaring, lalu memberi isyarat agar aku duduk di sebelah. Aku pun patuh.

"Dasar jelek!" katanmu saat aku duduk, membuatku tersenyum lebar dan pasti.

"Apa? Yang bener? Jadi gue keliatan jelek, ya?" Rasanya pipiku memerah.

Saat itu, tiba-tiba saja tersadar, mengapa tidak terpikir untuk berdandan sebelum pulang?

"Cuma bercanda, Woy!" Kamu pun tertawa. Dulunya suka main-main dan ternyata masih saja suka main-main. Seharusnya aku sadar dari dulu, bahwa kamu akan bermain dengan hatiku juga.

"Gue kangen tauk! Lo gak kangen, ya, sama gue?" kamu menambahkan.

Aku tersenyum.

Empat tahun. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan selama kita tidak berkomunikasi. Wajar jika saat itu canggung bertemu denganmu. Terlepas apa pun yang telah kamu lakukan selama empat tahun itu. Yang jelas, aku memang rindu.

"Tidak," jawabku sebaliknya, "seharusnya lo tinggal di sana sepuluh tahun, itu baru bisa bikin gue rindu sama kamu. Empat tahun itu belum cukup!"

"Gue udah nungguin lo lebih dari dua jam, sekarang lo bilang gak kangen?" katamu sambil cemberut.

Oh, Tiyo. Please, jangan membuatku meleleh ....

Aku ingin bermanja padamu, ingin sekali berteriak. Namun, tetap takbisa, tidak mengerti apa yang harus kulakukan.

"Haha. Cuma bercanda kok. Iyalah gue kangen! Bukannya lo yang mau ketemu?" Kuubah topik pembicaraan.

Wajahmu pun menyala. "Ayo pergi ke kamar gue."

Aku kaget dengan apa yang kamu katakan. Itu bukan pertama kalinya aku masuk ke kamarmu, tetapi sudah hampir lima tahun tidak pernah masuk. Bukankah tidak baik, jika ada yang melihat kita hanya berdua di dalam sana?

"Aduh, gue ngantuk nih!" aku beralasan, "besok-besok ajalah! Masih banyak hari lain."

Kamu pun mengangguk, lalu berkata, "Oke. Apa lo sudah makan?"

Aku pun menjawab, "Sudah makan tadi di kantor. Lo juga sudah makan belom?"

Kamu hanya menghela napas, entah kenapa tidak menjawabku.

"Yaudah kalo sudah makan mah. Kalo gitu biar gue antar lo ke kamar ya!" katamu sebelum berdiri. Aku pun menurut.

"Good night, Zahra. Gue kangen banget sama lo. Ternyata lo udah berubah jadi secantik ini," katamu ketika kita sampai di pintu kamarku. Di seberangnya adalah kamarmu.

"Gue juga kangen sama lo, Tiyo. Lo juga udah beda banget. Sekarang lebih Six Pack!"

Tiba-tiba kamu pun menarik lenganku. Tanpa kusadari, lengan itu sudah melingkar pinggangku. Kemudian, kamu membenamkan wajah di leherku, menjilatinya sebentar, lalu berkata,

"Gue kangen banget sama lo sumpah. Mulai sekarang, jangan pernah biarkan jarak memisahkan kita ," bisikmu dengan suara tangis yang membelah dahiku, "lo pernah punya utang sama gue!"

Apa yang pernah kulakukan? Utang apa aku padamu? Bukankah kamu yang punya utang padaku!

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Pundalisa

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.8

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku