Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Melepas dengan Ikhlas

Melepas dengan Ikhlas

HaluMutu

5.0
Komentar
17.6K
Penayangan
30
Bab

"Kalian mengusirku, menghinaku? Tak masalah. Tapi ingat! Selangkah aku pergi jangan pernah harap aku mau kembali lagi." Karena keserakahan mantan ibu mertuanya, Mutia selalu mendapat hinaan bahkan fitnah kejam. Bahkan, sampai suaminya tidak memihak padanya. Bagaimana kisah Mutia? Ikuti cerita ini hingga selesai, ya. Semoga suka

Bab 1 Menantu yang Diusir

Menantu yang Sengaja Dibuang

Part 1

"Lihat kakak iparmu, Wid. Sebentar lagi lemak di perutnya mungkin sudah berlipat hingga sepuluh lipatan. Gimana tidak, kerjaannya makan aja dari tadi."

Aku menelan salivaku, perut ini mendadak tidak berselera untuk memasukkan makanan bahkan minuman sekalipun.

'Astaghfirullah, entah ini sudah ke berapa kalinya ibu mertua bilang seperti itu.'

Kukemas piring di atas meja, lalu berlalu menuju dapur.

"Kalau dibilangin, selalu aja gitu, menghindar. Kok bisa ya, masmu suka sama wanita seperti dia. Sudah tidak hamil-hamil, kerjaannya makaan aja terus. Gak kasihan apa sama suaminya yang kerja di luar kota demi menghidupi keluarganya."

Jika telinga ini buatan manusia, mungkin sudah hangus dibakar perkataan ibu. Jika hati ini buatan manusia, mungkin sudah hancur berkeping-keping tiada bersisa.

"Pasang aja kedunguannya. Lama-lama kelamaan ibu yakin, masmu pasti akan sadar seperti apa wanita yang telah dipilihnya."

Aku menjawab tentu berada di posisi salah, diam pun juga salah.

"Sudah lah, Buk. Dia tidak akan dengerin kita. Sudah putus kali urat malunya. Coba saja mas dulu mau nikah sama temen aku, pasti hidupnya saat ini enak. Penghasilannya jelas."

"Iya, betul, Wid. Ibuk ngelus dada kalau sama masmu. Kenapa dia segitu tidak pedulinya sama saran ibu untuk tidak menikahi wanita miskin, yatim piatu ini."

Dengan samar aku menghapus air kata yang tidak bisa kubendung lagi. Air mata itu tumpah.

"Seandainya ibuk masih ada, aku pasti tidak akan seperti ini. Hiks."

Aku merapatkan bibirku untuk menyembunyikan sesenggukan dari dua wanita di belakangku. Namun, ternyata menghinaku saja itu tidak membuat mereka jadi puas.

"Awh, sakit, Buk. Sakit. Lepasin rambut aku, Buk," rintihku. Ibu menjambakku dengan sangat kuat, lalu menyeretku untuk duduk di kursi ruang tamu. Aku dihempas dengan kasar.

"Kamu punya telinga enggak sih? Saya ini dari tadi bicara, kamu diam saja. Apa kamu sekarang jadi bisu? Ha?"

Aku menggeleng dengan mata sudah mengucurkan air mata dengan derasnya.

Satu wanita yang tadi turut mencaciku kini tidak ada, di mana dia. Di sini hanya ada ibu mertuaku yang terus saja mengeluarkan uneg-uneg di hadapanku. Entah apa yang membuat mereka kesal padaku, jika karena harta, semua kiriman suamiku telah diambil oleh ibu mertuaku. Apa lagi?

"Wid, lama banget sih. Ngapain aja?" pekik ibu mertua memanggil adik iparku.

"Iya, Buk. Sebentar."

Gret

"Nih, Buk. Sudah siap."

Koper? Untuk apa? Siapa yang mau pergi. Apa aku diminta untuk menyusul suamiku karena mereka tidak betah hidup bareng aku.

"Sekarang kamu pergi, kami tidak mau menampung wanita seperti kamu. Rumah ini bukan panti asuhan, dan ... masalah suami kamu, anggap saja kamu tidak pernah menikah dengannya. Kamu bukan lagi istrinya."

"Tapi, Buk. Mutia kan masih istri Mas Agha, Mas Agha belum menceraikan Mutia, kenapa ibu bicara seperti itu."

"Denger, ya. Agha itu anak saya, dan saya yang berhak atasnya. Saat saya minta dia menceraikan kamu, pasti dia tidak akan menolak. Jadi, jangan banyak drama lagi, kamu harus pergi sekarang juga dari rumah ini."

"Tapi, Buk."

"Tidak ada tapi-tapian. Kamu pikir di sini tempat penginapan? Ngasih cucu aja gak bisa, gimana mau jadi istri dari Agha. Masalah Agha tidak perlu kamu khawatirkan, sebentar lagi dia akan saya nikahkan dengan wanita kaya raya, bukan yatim piatu, dan juga memiliki rahim subur. Tidak seperti kamu, paham."

"Sudah lah, Mutia, jangan bikin ibu aku jadi tambah marah-marah deh. Mending kamu pergi. Aku tidak mau, ya. Darah tinggi ibuk hanya karena wanita sampah seperti kamu. Keluar!"

Astaghfirullah, aku mau ke mana. Mas Agha, dia memintaku untuk tidak pergi. Namun, apa dayaku.

"Maaf, Buk. Mutia mau ambil ponsel Mutia dulu di kamar."

"Tidak ada, semua fasilitas yang pernah dibelikan Agha kami sita. Kamu keluar dari sini tidak akan membawa apa-apa, paham! Sudah deh, mending kamu pergi. Kami sudah muak sama drama air mata buaya kamu."

Aku menatap lekat wajah dua wanita di hadapanku, wajahnya tampak merah padam, walau buram tetapi tetap jelas bahwa mereka tidak akan pernah suka dengan keberadaanku. Biar lah, Mas Agha pasti akan mencariku jika tahu aku tidak ada di rumah.

"Tidak usah nangis-nangis, gak akan ada yang percaya sama raut kepura-puraanmu. Tidak akan ada yang kasihan sama kamu."

Hatiku terenyuh, entah benih isu apa lagi yang telah disebar ibu mertua dan adik iparku pada tetangga. Tak jarang, saat aku keluar, banyak tetangga yang menatapku dengan tatapan tidak suka, lalu berbisik satu sama lain.

Saat aku melewati pintu, terdengar suara tawa puas dua wanita dari dalam rumah. Entah sudah berapa lama mereka menginginkan kepergianku.

Aku berjalan tak tentu arah labuhan, entah ke mana lagi aku akan pergi. Kaki ini merasa sangat letih, mungkin karena faktor U, juga jarak tempuh yang kulalui sudah cukup jauh.

"Huft, letih juga, ya. Ini sih juga karena aku tak pernah berolah raga."

Aku mengusap peluh yang hampir saja mentes melewati pelipis.

"Ya Allah, ke mana lagi hamba-Mu ini akan berjalan."

Tiba-tiba ada seseorang mendekat, aku pun berdiri menyambutnya.

"Mbak mau cari kontrakan?"

Aku mengernyitkan dahi, dari mana wanita ini tahu. Tidak membuang kesempatan lagi, aku mengangguk. Di sakuku, aku masih punya uang simpanan yang berhasil kuselamatkan dari jarahan ibu mertuaku.

"Iya, Buk."

Aku pun ikut bersama wanita baik hati ini, usianya sekitar tiga puluh tahunan. Tempat yang kutemui ini ternyata rapih, siap huni.

"Alhamdulillah, jadi tidak perlu bersih-bersih. Tinggal istirahat."

Saat hendak merebahkan badan, aku dikagetkan oleh bingkisan berwarna cokelat. Apa ini? Sebelum terlambat, aku bertanya pada pemilik rumah kontrakan tersebut, beliau tidak tau. Dan saat kubalik barangnya, terdapat tulisan. "Untuk Mutia Zahira."

Ini untukku? Kok bisa kebetulan. "Dari Al-Faqir."

Rasa penasaranku semakin meningkat, apa isinya? Kenapa alfaqir ini bisa tahu kalau aku akan mengontrak di rumah ini. Apa jangan-jangan.

"Allahu Rabbi."

Aku terbelalak melihat isi bingkisan tersebut, bergepok-gepok uang lembaran berwarna merah. Sekalipun aku menikah dengan orang yang dibilang tajir, aku belum pernah memegang uang sebanyak ini.

'Jangan ragu untuk menggunakan uang ini, ini hak kamu. 100% halal, dan benar-benar hak kamu. Jika kamu penasaran bagaimana penjelasan dari semua ini, silakan hubungi nomor 0822********'

Dadaku bergemuruh, siapa alfaqir ini, dan bagaimana bisa dia bilang kalau uang sebanyak ini adalah hakku. Bagaimana bisa dia berkata demikian. Aku sebaiknya hubungi nomor ini. Ah, aku lupa, ponselku disita ibu mertua dan adik iparku.

"Aku harus beli ponsel, tapi bagaimana. Uangku habis kubuat bayar uang kontrakan ini, sekarang sisa sedikit hanya untuk makan. Apa iya aku harus menggunakan uang ini, jika nanti aku punya uang, mungkin dari hasil bekerja, aku bisa ganti dan kembalikan lagi pada alfaqir ini."

"Apa ini jawaban dari kesedihanku selama ini? Tidak, ini uang bukan uangku, bukan hakku. Aku harus menyimpannya, aku harus cari tahu pada si alfaqir ini."

Bersambung...

Selamat menunggu part selanjutnya :)

Be happy

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku