5.0
Komentar
76
Penayangan
45
Bab

Sebuah kisah perjalanan hidup Effendik. Seorang pemuda kampung dalam mencari cinta sejati dan jati diri. Kisah dari kelahiran hingga masa dewasa, ternyata sangat tidak mudah dan berliku. Sedari kecil Effendik sudahlah mengenyam kesengsaraan. Sampai suatu hari dari penantian sepuluh tahun. Setelah kegagalan cinta pertama yang sangat menyakiti hatinya. Malah Effendik dipertemukan dengan seorang gadis bernama Chusnul. Bahkan jawaban dari doa-doanya adalah dia. Effendik semakin terpuruk, saat tahu kalau Chusnul masih sepupu jauhnya. Tetapi Effendik sudah terlanjur jatuh cinta. Tetapi Chusnul malah sudah memilimi tambatan hati dari pria lain selain Effendik. Bagaimanakah kisah kehancuran hati Effendik. Temukan kesedihan menyayat-nyayat dicerita Tapal Batas?

Bab 1 Mengenang Kisah Effendik Kecil

Denting alam sore menjelang malam. Meniupkan syahdunya bebunyian angin yang masuk merambat melewati jendela ventilasi. Ruang dapur yang baru selesai di pugar selatan rumahku.

Dawai merdu suara bambu di belakang desa bersahut gemercik air kali mengalir kini terasa menyejukkan hati. Aku dan ruangan dapur seakan menyatu menari menjadi satu bersahutan dengan burung malam.

Sejenis burung hantu yang akrab di sebut warga desa burung dares atau sebuah burung mitologi pembawa pesan kematian berkoar menikmati suguhan orkestra yang dibuat oleh alam perdesaan desaku lalu tersentuh kalbu ini berbisik lembut pada sanubari damainya ciptaan Allah Taala.

Kuletek, kuletek,

Nyaring sendok mengaduk-aduk gelas bercampur dengan bubuk kopi dan gula menjadi satu kesatuan yang disebut seduhan terpaut wangi sari pati di tangan kananku. Perlahan kuhirup sajian yang disediakan alam teruntuk insani yang di cipta Illahi Rabi dan berucap Alhamdulillah di lidah dan hati.

Minggu 4 Juli 2021, hati sudah kembali tenang, otak sudah tak pernah meracau lagi seluruh badan mulai teratur mengikuti instruksi Kalbu untuk terus berucap Allahuma Shalli Ala Muhammad.

Segelas seduhan kopi hitam dengan wangi merebakku tenteng menuju ruang tamu. Sebungkus rokok bermerek gembok dan kunci kuraih sebatang serta kusulut saat menempel di muka bibir. Sekali hirup dan sekali hisap kembali terlontar asap membumbung dengan ikhlas kenikmatan yang di anugerahkan Gusti Illahi Rabi.

Lelah mengenang masa lalu aku ingin menyajikan kenyataan kali ini. Mataku sedang memandang masa depan yang mungkin terang, yang mungkin kelam entah yang pentung terus ikhtiar dan berdoa serta ratusan Shalawat terus aku lantunkan.

Bapak datang dari ruang tengah wajahnya sudah semringah alias bahagia kelegaan terpancar di sana. Guratan rasa puas sudah ada di tiap pori pipi. Sebab hari ini adikku Nuriva yang sudah sarjana kini sudah bekerja kemarin telah membantu ikut menutup hutang-hutang bapak jua. Sebab aku anak lanang, anak lelaki pertama sudah kembali bekerja seperti dahulu tukang rombeng yang penting halal dalam benaknya.

"Le, Tole, minta kopinya sedikit ya," begitulah ucapan yang meluncur dari bibirnya yang semakin tua namun ada guratan bahagia di sana sudah.

Hanya ku sahut senyum mengembang dan mempersilahkan dengan anggukan perlahan. Ada raut kebanggaan dengan syukur Allah telah menghadirkan kebahagiaan kepada keluarga kami. Setelah bertahun-tahun kami berjuang dan kami masih terus berjuang tapi kali ini kami berjuang untuk memperbaiki ibadah kami.

Tak terbayang betapa sulitnya dahulu kami harus melangkah dengan penuh kehati-hatian. Dengan penuh perhitungan dan kepasrahan pada Sang Pencipta alam maya pada dan semesta.

Hari ini jalanku sedikit demi sedikit sudah menemukan titik terang menuju yang benar. Dan seorang guru kiai telah menerimaku sebagai santri ada cahaya harapan di langkahku kali ini. Kembali terus dan kuulang terus ada bercak rasa bahagia yang tiba-tiba rindu Sang Kuasa dan Rindu pada Sang terkasih Nabiyalah Muhammad SAW.

Walau sebuah pandemi luas dan global pada dunia atau yang ilmiahnya disebut Covid 19 masih terus berjalan dan entah kapan berhenti. Setidaknya kami masih diberi nikmat sehat dari keluarga kami semoga terus sehat dan Covid cepat berhenti.

Satu teguk kopi hitam agak pahit meluncur pada kerongkongan membasahi dahaga tenggorokan telah terlaksana sudah. Terlihat ibu sedang duduk bersimpuh di atas kursi panjang saksi bisu perpisahanku bersama Jingga enam tahun yang lalu. Dan ibu rupanya sudah tersenyum lagi sambil memegang jarum dan benang menjahit baju kerja bapak yang sudah robek di lengannya.

Walau kami sesederhana dalam masa sulitnya dunia kali ini akibat musim pandemi yang tak kunjung usai tapi kami bersyukur masih diberi senyum di setiap wajah kami. Setelah melalui setiap malam dengan kengerian yang begitu ngeri tak terbayang betapa dahsyatnya guncangan setahun yang lalu akibat sebuah penyakit hati iri dan dengki seorang kawan satu profesi dengan bapak.

Sampai-sampai mereka berkerumun satu keluarga bersiasat untuk membunuh kami. Mungkin akan kuceritakan nanti di kemudian hari.

Kini badan kusandarkan di kursi panjang teras rumah. Pas di depan dua buah daun jendela yang sama enam atau tujuh tahun yang lalu. Pernah jatuh saat keluarga Jingga baru saja duduk di rumah ini.

Ah ya sudahlah itu masa lalu dan hanya bisaku petik pelajaran berharga dari pengalaman kelam dan hitam yang tak selamanya menjadi sebuah sampah tapi terkadang bisa menjadi sebuah lembar buku yang kusimpan di rak otak sebelah pojok untuk kubuka lain waktuku ceritakan pada anak cucu.

Sejurus dengan waktu yang panjang sebuah penantian walau aku terus menunggu kembali sebuah kata jodoh sebenar-benarnya jodoh dari langit pilihan Gusti pinariyung jagat atau yang kami sembah dalam sujud Pencipta dari segala makhluk hidup.

Walau waktu penantian penungguan dari sang bidadari surga yang dipilihkan untukku belum jua kelihatan. Tetap aku terus bersabar karena itu memang sebuah sarat untuk menunggu sebuah hadiah dari Allah dengan sungguh-sungguh.

Kali ini sungguh hatiku begitu lapang tiada resah dalam penantian tiada bertepi walau tiada pasti tapi sungguh keyakinan di sanubari berkata aku akan terus menanti dengan menyediakan kesabaran tanpa batas.

Sebab aku memiliki sebuah pemahaman dari hasil pengalaman selama berjalan dalam pedih bertahun-tahun yakni bukan mencari yang baik agar ikut menjadi baik tapi mengubah diri menjadi baik agar mendapatkan yang terbaik.

Begitulah hukum alam yang tertera pada sebuah kalam wahyu Allah sang guru sejati. Aku yakin ada satu untukku wanita salihah yang di berikan untukku dalam penantian ini. Aku yakin suatu saat nanti aku di pertemukan sebuah gadis berhati bidadari menyebutku yang terkasih dari Allah lalu menatapnya dengan Bismilah sahaja bukan memandangnya dengan nafsu durjana.

Melihat senyum ibu aku jua melihat senyum-senyum kecil dari bibir kecil dan tangan mungil yang meraih peci bapak pada sebuah pigura foto yang terpasang rapi di atas ibu yang tengah menjahit di atas kursi ruang tamu.

Dia Si Effendik kecil dengan senyum tanpa batas dan belum mengerti kejamnya tipu-tipu dunia. Dia Si Effendik kecil yang dengan riang meraih peci bapak dengan tertawa senang di saat 32 tahun yang lalu.

Masa itu begitu terkenang semasa aku sebagai Si Bagus kecil masih dalam timang-timang ibu dan masih merengek minta ini dan itu bila ada seorang penjual mainan lewat depan rumah kami.

Betapa indahnya masa lalu yang satu ini sebuah masa lalu penuh arti awal cikal bakal Bagus Effendik terbentuk seperti sekarang ini dengan tegak menantang si batu karang. Penghalang jalan di mana lurusnya pada Allah

Tanpa pandang pilih bila sebuah penghalang menghalangi sebesar gunung jua akanku hantam jua bila itu menghadang di tengah jalanku saat ibadahku menuju Allah di halangi jua.

Akhirnya album kecil lama dan usang kuraih dengan membuka pintu almari kamarku. Meniup debu sedikit yang menempel pada gambar depan dan membalik satu halaman perlahan.

Di sana terpampang jelas seorang istri yang sedang hamil tua dan masih tampak ayu bernama Amanah dia ibuku. Bersanding dengan seorang lelaki gagah bergaya bak roma irama masa muda dengan baju kemeja rapi dimasukkan ke dalam celana ujung bawahnya terlipat rapi di pinggang dengan celana bermerek jin warna biru.

Pas berpadu padan dengan kemeja warna putih tulang begitu rupawan namanya Kasturi sedang menanti anak pertamanya terlahir dialah bapakku saat masih muda begitu rupawan. Kisah Si Effendik kecil ini di mulai saat Ibu tengah bermimpi tentang anak lelaki dan rembulan emas.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Bagus Effendik

Selebihnya

Buku serupa

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku