Tapal Batas
unyian angin yang masuk merambat melewati jendela ventilas
li mengalir kini terasa menyejukkan hati. Aku dan ruangan dapur s
i pembawa pesan kematian berkoar menikmati suguhan orkestra yang dibuat oleh alam perdesaan
ek, k
ng disebut seduhan terpaut wangi sari pati di tangan kananku. Perlahan kuhirup sajian yang dised
pernah meracau lagi seluruh badan mulai teratur mengikuti in
gembok dan kunci kuraih sebatang serta kusulut saat menempel di muka bibir. Sekali hirup dan sekali
dang memandang masa depan yang mungkin terang, yang mungkin kelam entah yang
pori pipi. Sebab hari ini adikku Nuriva yang sudah sarjana kini sudah bekerja kemarin telah membantu ikut menutup hutang-hutang bapak
h ucapan yang meluncur dari bibirnya yang sema
dengan syukur Allah telah menghadirkan kebahagiaan kepada keluarga kami. Setelah bertahun-tahun ka
dengan penuh kehati-hatian. Dengan penuh perhitungan dan
telah menerimaku sebagai santri ada cahaya harapan di langkahku kali ini. Kembali terus dan kuulang terus
id 19 masih terus berjalan dan entah kapan berhenti. Setidaknya kami masih dibe
at ibu sedang duduk bersimpuh di atas kursi panjang saksi bisu perpisahanku bersama Jingga enam tahun yang lalu. Dan ib
sih diberi senyum di setiap wajah kami. Setelah melalui setiap malam dengan kengerian yang begitu ngeri tak terbayang betap
arga bersiasat untuk membunuh kami. Mungk
dua buah daun jendela yang sama enam atau tujuh tahun yang lalu.
an hitam yang tak selamanya menjadi sebuah sampah tapi terkadang bisa menjadi sebuah lembar bu
bali sebuah kata jodoh sebenar-benarnya jodoh dari langit pilihan Gusti pinariy
untukku belum jua kelihatan. Tetap aku terus bersabar karena itu memang se
ada bertepi walau tiada pasti tapi sungguh keyakinan di sanubari ber
n dalam pedih bertahun-tahun yakni bukan mencari yang baik agar ikut men
ihah yang di berikan untukku dalam penantian ini. Aku yakin suatu saat nanti aku di pertemukan sebuah gadis berhati bid
dan tangan mungil yang meraih peci bapak pada sebuah pigura foto yang
kejamnya tipu-tipu dunia. Dia Si Effendik kecil yang dengan riang
masih dalam timang-timang ibu dan masih merengek minta ini d
l cikal bakal Bagus Effendik terbentuk seperti sekarang ini dengan tega
besar gunung jua akanku hantam jua bila itu menghadang di
ka pintu almari kamarku. Meniup debu sedikit yang menem
uku. Bersanding dengan seorang lelaki gagah bergaya bak roma irama masa muda dengan baju kemeja rapi di
menanti anak pertamanya terlahir dialah bapakku saat masih muda begitu rupawan. Kisah Si