/0/31289/coverbig.jpg?v=6439699dde3ef1a60e36d5eeb48bea4f&imageMogr2/format/webp)
Bagi Xavier, Clara adalah luka lama yang ia harap tidak pernah terbuka kembali. Perpisahan mereka lima tahun lalu meninggalkan jejak kebencian yang nyaris merusak hidup Xavier. Namun, ketika sebuah krisis keluarga menempatkan Clara di bawah perlindungan Xavier, pria itu tidak punya pilihan selain membiarkannya masuk kembali ke dunianya. Di tengah situasi yang berbahaya dan penuh tekanan, batas antara rasa benci dan obsesi menjadi kabur, membuat mereka justru semakin terikat satu sama lain.
Gelas kristal di tangan Xavier berdenting pelan saat ia menyesap wiski mahalnya. Matanya yang tajam seperti elang tidak berhenti menyisir setiap sudut ballroom hotel bintang lima itu. Baginya, acara gala seperti ini hanyalah ajang pamer kemunafikan. Ia bosan, sampai akhirnya pintu besar di ujung ruangan terbuka dan sosok itu muncul.
Valerie.
Nama itu menghantam dada Xavier seperti peluru yang tertahan selama lima tahun. Wanita itu berdiri di sana, mengenakan gaun satin berwarna gading yang tampak sedikit pudar jika dilihat dari dekat-sangat kontras dengan kemewahan yang dulu selalu melekat padanya. Wajahnya lebih tirus, matanya yang dulu selalu berbinar kini terlihat lelah, tapi masih memiliki sisa-sisa keanggunan yang dulu sempat membuat Xavier bertekuk lutut.
Xavier merasakan rahangnya mengeras. Amarah yang selama ini ia kunci rapat di dasar hatinya mendidih seketika. Lima tahun. Lima tahun ia mencoba mengubur bayangan pengkhianatan wanita itu, dan sekarang Valerie muncul begitu saja di depan matanya dengan wajah tanpa dosa.
"Lihat siapa yang datang," gumam rekan bisnis di sebelah Xavier, sambil terkekeh sinis. "Bukankah itu putri dari keluarga yang hampir bangkrut itu? Berani sekali dia menampakkan diri di sini."
Xavier tidak menjawab. Ia meletakkan gelasnya dengan dentuman keras di meja kayu mahoni hingga beberapa orang menoleh. Dengan langkah tegap dan aura yang mendominasi ruangan, ia berjalan menghampiri Valerie.
Valerie menyadari kehadiran Xavier saat bayangan pria itu menutupi cahaya lampu di depannya. Ia mendongak, dan seketika tubuhnya membeku. Napasnya tercekat. Ia sudah membayangkan pertemuan ini ribuan kali dalam mimpinya, tapi tidak ada yang bisa menyiapkannya untuk tatapan sedingin es milik Xavier.
"Lima tahun, Valerie," suara Xavier rendah, bergetar karena emosi yang tertahan. "Dan kamu masih punya muka untuk datang ke tempat di mana orang-orang seperti kamu sudah tidak punya harga lagi."
Valerie berusaha menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. "Xavier... aku butuh bicara."
Xavier tertawa, tawa pendek yang terdengar sangat menyakitkan. "Bicara? Setelah apa yang kamu lakukan? Kamu pikir aku masih mau mendengar omong kosongmu?"
Beberapa tamu mulai berbisik, membentuk lingkaran kecil di sekitar mereka. Valerie merasa wajahnya memanas. Ia tahu ia menjadi tontonan, tapi ia tidak punya pilihan lain. Perusahaan ayahnya di ambang kehancuran, dan satu-satunya orang yang bisa menghentikan eksekusi aset mereka adalah pria yang sekarang menatapnya dengan kebencian murni ini.
"Tolong, Xavier. Ini soal perusahaan ayah. Aku tahu kamu yang memegang surat utangnya sekarang. Aku cuma minta waktu sepuluh menit," pinta Valerie, suaranya hampir berbisik, memohon.
Xavier maju satu langkah, memperkecil jarak di antara mereka hingga Valerie bisa mencium aroma parfum maskulin yang dulu sangat ia cintai. Tapi sekarang, aroma itu hanya membawa rasa takut.
"Kamu datang ke sini, di depan semua orang ini, hanya untuk mengemis?" Xavier melirik gaun Valerie dengan hina. "Berapa harga harga dirimu sekarang, Val? Apa sudah semurah gaun bekas yang kamu pakai itu?"
Kata-kata itu menghujam jantung Valerie. Ia ingin sekali berteriak, menjelaskan bahwa semua tidak seperti yang Xavier kira. Tapi kenyataannya, ia memang sedang mengemis. Ia sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali keberanian yang tersisa sedikit.
"Aku akan melakukan apa saja, Xavier. Tolong, jangan hancurkan sisa hidup ayahku," ucap Valerie, matanya mulai berkaca-kaca.
Xavier menatap air mata itu tanpa belas kasihan. Dulu, satu tetes air mata Valerie bisa membuatnya memberikan dunia. Sekarang, itu hanya terlihat seperti akting murahan baginya. Ia ingat bagaimana wanita ini membuangnya saat ia berada di titik terendah, dan sekarang roda berputar.
"Apa saja?" Xavier mengulang kalimat itu dengan nada mengejek. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Valerie, memastikan hanya wanita itu yang mendengar kalimat penghancurnya. "Kalau begitu, sujudlah. Minta maaf di depan semua orang ini atas apa yang kamu lakukan dulu, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk tidak membuang ayahmu ke jalanan besok pagi."
Valerie tersentak. Ia menatap mata Xavier, mencari sisa-sisa pria hangat yang dulu ia kenal. Tapi ia tidak menemukan apa-apa selain kegelapan.
"Kenapa kamu jadi sejahat ini, Xavier?" bisik Valerie lirih.
"Aku belajar dari ahlinya," jawab Xavier dingin. Ia menegakkan tubuhnya kembali, lalu berbicara dengan suara yang cukup keras agar orang-orang di sekitar mereka mendengar. "Maaf, Nona Valerie. Aku tidak punya waktu untuk mengurusi orang-orang yang hanya bisa menjual air mata demi menutupi kesalahan masa lalu. Silakan keluar sebelum aku memanggil keamanan untuk menyeretmu."
Dunia seolah runtuh bagi Valerie. Ia berdiri mematung di tengah ruangan, sementara Xavier berbalik meninggalkannya tanpa menoleh sedikit pun. Tawa lirih dan bisikan menghina dari para tamu mulai terdengar jelas di telinganya.
Xavier berjalan kembali ke bar, jantungnya berdegup kencang. Ia mengira melihat Valerie menderita akan membuatnya merasa puas, tapi ada rasa sesak yang aneh di dadanya. Ia menuang wiski lagi, tangannya sedikit gemetar. Ia membenci dirinya sendiri karena masih merasakan sesuatu saat melihat wajah itu.
Dari kejauhan, ia melihat Valerie berjalan keluar dengan punggung tegak, meski ia tahu wanita itu sedang hancur. Xavier mengepalkan tinjunya. Permainan ini baru saja dimulai. Ia tidak akan membiarkan Valerie pergi semudah itu. Kebencian ini adalah satu-satunya hal yang menyatukan mereka sekarang, dan ia akan memastikan Valerie merasakan setiap inci rasa sakit yang ia rasakan selama lima tahun terakhir.
Di luar gedung, udara malam yang dingin menusuk kulit Valerie. Ia bersandar di pilar besar hotel, air matanya akhirnya luruh. Ia tahu perjalanannya akan berat, tapi ia tidak menyangka Xavier akan menjadi monster sesadis ini. Namun, demi ayahnya, ia tidak boleh menyerah. Jika ia harus masuk ke dalam neraka yang diciptakan Xavier, maka ia akan melakukannya.
Xavier mengamati dari balik jendela kaca besar di lantai atas. Ia melihat sosok mungil itu berdiri di bawah lampu jalan yang remang.
"Kamu pikir ini sudah berakhir, Val?" gumamnya pada gelas di tangannya.
Bab 1 ballroom hotel
25/12/2025
Bab 2 Xavier sedang sibuk
25/12/2025
Bab 3 aromanya terlalu hambar dan suhunya tidak tepat
25/12/2025
Bab 4 Apartemen Xavier
25/12/2025
Bab 5 menyakitkan
25/12/2025
Bab 6 Kabar tentang kembalinya Valerie
25/12/2025
Bab 7 berangkat ke lokasi
25/12/2025
Bab 8 gubuk yang mulai lapuk
25/12/2025
Bab 9 Sepanjang jalan dari Sukabumi
25/12/2025
Bab 10 perubahan ini justru terasa mencekik
25/12/2025
Bab 11 penjara yang dilapisi sutra
25/12/2025
Bab 12 sudah berangkat ke kantor sejak subuh
25/12/2025
Bab 13 pintu utama terbuka dengan kasar
25/12/2025
Bab 14 suasana terasa semakin mencekam
25/12/2025
Bab 15 keributan besar
25/12/2025
Bab 16 menunggu sampai Xavier benar-benar terlelap
25/12/2025
Bab 17 kabar Ayah gimana
25/12/2025
Bab 18 hari penentuan
25/12/2025
Bab 19 Enam bulan setelah keributan
25/12/2025
Bab 20 baunya semerbak
25/12/2025
Bab 21 Perutku makin buncit
25/12/2025
Bab 22 suara ocehan bayi
25/12/2025
Bab 23 Hari peresmian sekolah
25/12/2025
Bab 24 Pesawat mendarat
25/12/2025
Bab 25 motongin buah semangka
25/12/2025
Bab 26 tanam sendiri
25/12/2025
Bab 27 soal skandal
25/12/2025
Buku lain oleh Dasmiati
Selebihnya