Mendarat di Hatimu yang Retak

Mendarat di Hatimu yang Retak

Dasmiati

5.0
Komentar
Penayangan
25
Bab

Bagi Liora Anindya, langit adalah rumah. Namun bagi Arlo Dirgantara, langit adalah pengingat akan pengkhianatan yang menghancurkan hidupnya. Sepuluh tahun tidak bertemu, takdir mempertemukan kembali dua teman masa kecil ini dalam situasi yang canggung. Arlo bukan lagi anak laki-laki yang dulu melindungi Liora. Ia kini adalah pria dingin yang membangun "tembok" tinggi di sekeliling hatinya. Luka itu ditinggalkan oleh mantan tunangannya-seorang pramugari yang meninggalkannya demi kemewahan saat Arlo berada di titik terendah. Sejak saat itu, Arlo bersumpah tidak akan pernah memercayai siapapun yang mengenakan seragam kebanggaan tersebut. Ketika Liora hadir kembali membawa kehangatan masa kecil mereka, Arlo terjebak dalam dilema. Di satu sisi, kehadiran Liora adalah satu-satunya pelipur lara yang ia miliki, namun di sisi lain, seragam yang dikenakan Liora adalah pemicu trauma (PTSD) yang terus menghantuinya. Akankah Liora mampu membuktikan bahwa tidak semua "penghuni langit" memiliki hati yang terbang berpindah-pindah? Ataukah luka Arlo terlalu dalam hingga ia memilih untuk meruntuhkan jembatan yang coba dibangun oleh Liora?

Bab 1 Suara bising Bandara

Suara bising Bandara Soekarno-Hatta selalu punya cara sendiri untuk membuat kepala Liora Anindya terasa berdenyut. Aroma avtur, deru mesin turbin di kejauhan, dan langkah kaki ribuan orang yang terburu-buru adalah musik harian bagi perempuan itu. Sebagai pramugari senior, Liora sudah hafal mati setiap sudut terminal ini. Hari ini, jadwal terbangnya ke Denpasar baru saja mendarat, dan dia sedang berjalan menuju pintu keluar dengan seragam kebaya biru langitnya yang masih tampak licin tanpa kerutan sedikit pun.

Liora menarik koper kecilnya dengan anggun. Rambutnya disanggul rapi-"french twist" yang sempurna-dan senyum tipis masih terpatri di wajahnya, meski sebenarnya kakinya sudah mulai protes karena terlalu lama bertumpu di atas high heels lima sentimeter.

"Liora! Tunggu!"

Liora menoleh, melihat temannya, Siska, berlari kecil menyusul. "Kenapa, Sis? Ketinggalan sesuatu di galey?"

"Bukan, itu... ada titipan dari kru darat buat kamu. Berkas mutasi jadwal bulan depan," ucap Siska sambil menyodorkan map plastik. "Eh, tapi kamu nggak langsung pulang, kan? Makan dulu yuk di lounge depan."

Liora melihat jam tangan di pergelangan kirinya. "Aduh, kayaknya nggak bisa deh. Aku janji mau mampir ke toko buku bentar, ada titipan adikku. Duluan ya, Sis!"

Liora melambaikan tangan dan melanjutkan langkahnya. Dia melewati area kedatangan internasional yang padat. Saat itulah, segalanya seolah melambat. Di antara kerumunan orang yang menunggu jemputan, mata Liora menangkap sosok pria yang berdiri mematung di dekat pilar besar.

Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Jam tangan peraknya berkilau terkena lampu bandara. Wajahnya tegas, namun ada raut lelah yang dalam di sana. Liora mengerutkan kening. Rasanya akrab. Sangat akrab.

"Arlo?" gumam Liora pelan, hampir tak percaya.

Arlo Dirgantara. Teman masa kecilnya yang dulu sering memanjat pohon mangga bersamanya. Pria yang menghilang tanpa kabar setelah keluarganya pindah ke luar kota sepuluh tahun lalu. Liora mempercepat langkahnya, rasa antusias mengalahkan rasa lelahnya.

"Arlo! Arlo Dirgantara, ya?" seru Liora saat jarak mereka tinggal beberapa meter.

Pria itu menoleh. Awalnya matanya menyipit, mencoba mengenali siapa yang memanggilnya. Namun, begitu pandangannya jatuh pada Liora-atau lebih tepatnya, pada seragam pramugari yang dikenakan Liora-ekspresinya berubah drastis.

Bukan senyum hangat yang didapat Liora, melainkan sorot mata penuh ketakutan sekaligus kebencian.

Arlo tersentak mundur satu langkah. Napasnya tiba-tiba menjadi pendek dan berat. Tangannya yang memegang ponsel mulai gemetar hebat. Di matanya, sosok Liora yang cantik berseragam biru itu mendadak menjadi bayangan kabur yang menyeramkan. Memorinya terseret paksa ke sebuah malam beberapa tahun lalu, saat seorang perempuan dengan seragam serupa mencampakkannya dengan kata-kata paling kejam tepat di hari mereka seharusnya membicarakan pernikahan.

"Arlo? Kamu kenapa? Ini aku, Liora," ucap Liora panik melihat perubahan drastis pada pria itu. Liora mencoba mendekat, tangannya terulur ingin menyentuh lengan Arlo untuk menenangkannya.

"Jangan... jangan mendekat!" suara Arlo tercekat, parau dan penuh tekanan.

Liora terpaku. "Arlo, kamu sakit? Aku cuma mau-"

"Aku bilang menjauh!" bentak Arlo lebih keras, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh. Wajah Arlo pucat pasi. Keringat dingin mulai muncul di keningnya. Dadanya sesak, seolah-olah oksigen di bandara itu mendadak habis.

Setiap detail pada diri Liora saat ini-syal yang melingkar di leher, pin sayap perak di dada kiri, hingga aroma parfum yang segar-adalah pemicu yang menghantam mental Arlo tanpa ampun. Baginya, Liora saat ini bukan teman masa kecil yang manis, melainkan simbol pengkhianatan yang paling nyata.

"Lo... lo pramugari?" tanya Arlo dengan nada jijik yang tak tertahankan, meski suaranya masih bergetar karena serangan panik yang menyerangnya.

Liora tertegun, tangannya yang menggantung di udara perlahan turun. "Iya, aku... aku baru kerja beberapa tahun ini. Arlo, kamu kenapa sih? Kita udah lama banget nggak ketemu, masa kamu malah begini?"

Arlo tidak menjawab. Dia memegang dadanya, berusaha mengatur napas yang kian tak beraturan. Matanya memerah. Tanpa sepatah kata pun lagi, Arlo berbalik dan setengah berlari meninggalkan area tersebut, menabrak beberapa orang di jalannya tanpa meminta maaf.

"Arlo! Tunggu!" Liora mencoba mengejar, namun langkahnya terhambat oleh koper beratnya dan kerumunan orang yang menghalangi jalan.

Dia hanya bisa berdiri mematung di tengah terminal, melihat punggung pria itu menghilang di balik pintu otomatis. Rasa senang yang tadi membuncah kini berganti menjadi rasa bingung dan sakit hati yang menyesak. Liora menunduk, menatap seragam yang sangat dia banggakan selama ini.

Kenapa Arlo menatapnya seolah-olah dia adalah monster? Apa yang terjadi pada pria itu selama sepuluh tahun ini?

Liora menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba mendesak ingin keluar. Dia adalah Liora yang profesional, dia tidak boleh menangis di tempat umum dengan seragam ini. Tapi jauh di dalam hatinya, pertemuan kembali yang dia bayangkan akan indah itu justru berubah menjadi luka pertama yang tak ia sangka-sangka.

Bandara yang tadi terasa seperti rumah, mendadak terasa begitu asing dan dingin bagi Liora. Dia menyeret kopernya perlahan, meninggalkan keramaian dengan seribu pertanyaan yang tak punya jawaban. Di luar sana, langit mulai menggelap, seolah ikut merasakan kebingungan yang berkecamuk di dalam dada sang pramugari.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Dasmiati

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku