Karma Manis untuk Tuan yang Sombong

Karma Manis untuk Tuan yang Sombong

Darmini

5.0
Komentar
Penayangan
21
Bab

Arunika Kinanti tidak pernah membayangkan nasibnya akan berakhir setragis ini. Menjadi gadis yatim piatu yang menumpang di kediaman megah keluarga Adiwangsa seharusnya menjadi jalan baginya untuk meraih pendidikan yang lebih baik. Namun, satu malam yang kelam menghancurkan segalanya. Ia terjebak dalam sebuah skandal panas dengan Arjuna Adiwangsa, putra mahkota keluarga tersebut sekaligus pria yang sudah ia anggap sebagai pelindung. Kejadian itu kian menyakitkan karena disaksikan langsung oleh Valerie, tunangan Arjuna, di saat Arjuna baru saja bersiap meresmikan ikatan cinta mereka ke jenjang pernikahan. Setelah malam itu, dunia berubah. Arjuna yang dulu hangat kini menatap Kinanti dengan sorot kebencian yang mendalam. Kinanti sempat melarikan diri, mencoba menghapus jejak dan memulai hidup baru di pinggiran kota. Namun, takdir berkata lain saat mereka bertemu kembali enam bulan kemudian dalam kondisi Kinanti yang tengah mengandung. Nasi telah menjadi bubur. Demi menjaga nama baik keluarga besar, Arjuna dipaksa menikahi Kinanti. Namun, pernikahan itu bukanlah pelabuhan yang damai, melainkan neraka dingin bagi Kinanti. Arjuna melampiaskan seluruh amarah dan kegagalan cintanya kepada Kinanti setiap hari. Tepat setelah janji suci diucapkan, Arjuna memberikan sebuah perjanjian tertulis yang kejam: "Aku menikahimu hanya karena janin itu. Begitu bayi itu lahir, aku akan menceraikanmu. Kau pergi dari hidupku selamanya, dan anak itu akan menjadi milik keluarga Adiwangsa sepenuhnya." Kini, Kinanti harus berjuang melewati masa kehamilannya di bawah atap yang sama dengan pria yang mencintainya dengan amarah, sembari menghitung hari menuju perpisahan dengan darah dagingnya sendiri.

Bab 1 mengumpulkan kesadarannya

Suara detak jam dinding di kamar itu terasa seperti hantaman palu yang memukul kepala Kinanti. Bau parfum pria yang mahal bercampur dengan aroma alkohol yang menyengat menusuk hidungnya. Kinanti mengerjap, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang terasa tercecer di lantai. Kepalanya berat sekali, seolah ada bongkahan batu yang menekan saraf-saraf di pelipisnya.

Perlahan, ia merasakan sesuatu yang asing. Tekstur seprai sutra yang halus di bawah telapak tangannya, dan kehangatan kulit seseorang yang bersentuhan dengan lengannya. Kinanti menoleh dengan kaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat melihat sosok di sampingnya.

Arjuna Adiwangsa.

Pria itu masih terlelap, napasnya teratur namun berat. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan menutupi dahi. Namun yang membuat dunia Kinanti runtuh bukan sekadar melihat Arjuna di sana, melainkan fakta bahwa mereka berdua berada di balik selimut yang sama, tanpa sehelai benang pun yang menempel di tubuh masing-masing.

"Nggak... nggak mungkin," bisik Kinanti. Suaranya serak, nyaris hilang.

Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Ia ingat Arjuna pulang dalam keadaan mabuk berat setelah merayakan proyek barunya. Sebagai orang yang menumpang di rumah itu dan merasa berutang budi, Kinanti hanya berniat membantunya sampai ke kamar. Ia membawakan segelas air lemon hangat, lalu... sisanya gelap. Semuanya tertutup kabut hitam yang pekat.

Kinanti menyambar pakaiannya yang berserakan di lantai dengan tangan gemetar. Ia ingin segera lari. Ia ingin menghilang sebelum matahari benar-benar naik. Namun, sebelum ia sempat turun dari ranjang, pintu kamar itu terbuka dengan dentuman keras.

"Surprise! Happy birth-"

Kalimat itu terputus di udara. Di ambang pintu, Valerie berdiri mematung. Kotak kue di tangannya merosot, jatuh ke lantai hingga isinya hancur berantakan. Di belakangnya, beberapa teman Arjuna dan asisten rumah tangga ikut terpaku.

Suasana seketika membeku. Oksigen seolah tersedot keluar dari ruangan itu.

Arjuna tersentak bangun karena suara gaduh itu. Ia duduk dengan kasar, matanya yang merah karena sisa alkohol menatap nanar ke arah pintu, lalu beralih ke sampingnya-ke arah Kinanti yang sedang berusaha menutupi tubuhnya dengan seprai sambil menangis sesenggukan.

"Valerie?" suara Arjuna parau, penuh kebingungan.

Valerie tidak menjawab. Wajah cantiknya pucat pasi, air mata mulai mengalir deras menghapus riasan wajahnya yang sempurna. Ia menatap Kinanti dengan tatapan yang sangat menghina, seolah melihat kotoran yang paling menjijikkan di muka bumi.

"Jadi ini kelakuan kamu, Jun? Sama dia? Sama pembantu ini?" suara Valerie melengking, pecah oleh rasa sakit yang luar biasa.

"Val, ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku... aku nggak tahu," Arjuna mencoba turun dari ranjang, tidak peduli dengan kondisinya sendiri, tapi Valerie sudah lebih dulu berbalik dan lari meninggalkan ruangan itu.

Arjuna menggeram frustrasi. Ia menjambak rambutnya sendiri, lalu tatapannya beralih pada Kinanti. Tidak ada lagi kehangatan atau rasa kasihan di matanya. Yang ada hanyalah kilatan kemarahan yang bisa membakar siapa saja.

"Apa yang kamu lakuin, Kinanti?!" bentak Arjuna. Suaranya menggelegar di kamar yang luas itu.

"Aku... aku nggak tahu, Mas. Aku bener-bener nggak tahu," Kinanti tergugu. Tubuhnya gemetar hebat sampai giginya bergemeletuk.

Arjuna merangsek maju, mencengkeram rahang Kinanti dengan kuat hingga gadis itu memekik kesakitan. "Nggak tahu? Kamu pikir aku bodoh? Kamu sengaja, kan? Kamu kasih apa di minuman aku semalam?"

"Nggak, Mas! Sumpah, aku cuma bawain air lemon..."

"Bohong!" Arjuna mendorong Kinanti hingga kepalanya terbentur sandaran ranjang yang keras. "Kamu itu cuma parasit di rumah ini. Orang tua aku kasih kamu tempat tinggal, kasih kamu makan, kasih kamu sekolah, tapi ini cara kamu balas budi? Kamu mau jebak aku supaya bisa jadi nyonya di rumah ini, iya?!"

Kinanti menggeleng kuat-kuat. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang memerah. "Aku nggak pernah punya niat kayak gitu, Mas. Demi Tuhan..."

"Jangan bawa-bawa Tuhan dengan mulut kotor kamu itu!" Arjuna berdiri, menyambar jubah mandinya dan memakainya dengan kasar. "Lihat apa yang kamu buat. Kamu hancurin rencana aku sama Valerie. Hari ini seharusnya aku melamar dia secara resmi di depan keluarga besar!"

Kinanti hanya bisa meringkuk, memeluk lututnya di atas ranjang yang kini terasa seperti tempat eksekusi. Ia merasa sangat kecil, sangat rendah. Statusnya sebagai "gadis kampung" yang ditolong keluarga Adiwangsa kini benar-benar menjadi senjata untuk menghakiminya. Di mata semua orang di rumah ini, ia hanyalah orang asing yang tahu diri, dan sekarang ia dianggap sebagai pengkhianat yang menusuk dari belakang.

Arjuna berjalan ke arah jendela, menatap ke luar dengan napas memburu. "Keluar," ucapnya dingin.

Kinanti mendongak kaget. "Mas..."

"Keluar dari kamar aku! Dan jangan pernah muncul di depan muka aku sampai aku tahu gimana cara bersihin kekacauan yang kamu buat ini!"

Kinanti segera memunguti pakaiannya dan lari menuju kamar mandi di dalam kamar itu untuk berganti pakaian secepat kilat. Setiap detik yang ia habiskan di sana terasa seperti siksaan. Saat ia keluar, Arjuna masih berdiri membelakanginya, bahunya naik turun menahan amarah yang meledak-ledak.

Begitu Kinanti keluar dari kamar Arjuna, ia disambut oleh tatapan-tatapan tajam dari para pelayan yang berkumpul di lorong. Mereka berbisik-bisik, suara mereka cukup keras untuk didengar oleh telinga Kinanti.

"Nggak nyangka ya, kelihatannya aja polos, ternyata licik banget."

"Iya, dasar nggak tahu diri. Sudah ditampung malah mau nyolong anak majikan."

Kinanti terus berlari menuju kamarnya yang kecil di bagian belakang rumah. Ia mengunci pintu, lalu luruh ke lantai. Dadanya sesak, rasanya seperti ada tangan raksasa yang meremas jantungnya sampai hancur. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, berusaha agar isak tangisnya tidak terdengar keluar.

Ia teringat almarhum ibunya. Pesan terakhir ibunya adalah agar ia selalu menjaga kehormatannya, karena itu satu-satunya harta yang ia miliki sebagai orang miskin. Dan sekarang, dalam satu malam, harta itu hilang. Hilang oleh pria yang selama ini diam-diam ia kagumi, pria yang kini justru menjadi orang yang paling membencinya di dunia.

Pikiran Kinanti melayang pada Valerie. Valerie adalah wanita yang sempurna. Cantik, kaya, dan sangat mencintai Arjuna. Kinanti tahu betapa hancurnya perasaan wanita itu. Tapi siapa yang akan peduli pada kehancuran perasaan Kinanti? Siapa yang akan bertanya apakah ia juga merasa tersiksa?

Di rumah ini, ia hanyalah bayangan. Dan bayangan tidak punya hak untuk merasa sakit.

Pukul sepuluh pagi, ketukan keras di pintunya membuat Kinanti tersentak. Itu adalah suara Bik Sumi, kepala pelayan di sana.

"Kinanti, keluar! Tuan Besar manggil kamu di ruang tengah."

Kinanti mengusap wajahnya yang sembap. Ia merapikan pakaiannya yang kusut, mencoba terlihat setegar mungkin meski kakinya terasa seperti jeli. Ia berjalan menyusuri lorong yang biasanya terasa hangat, namun kini terasa begitu dingin dan mencekam.

Di ruang tengah, seluruh keluarga sudah berkumpul. Tuan Adiwangsa duduk di kursi kebesarannya dengan wajah yang sangat gelap. Di sampingnya, Nyonya Adiwangsa menangis pelan sambil memegang tisu. Dan Arjuna... pria itu berdiri di sudut ruangan, menatap lurus ke arah dinding, sama sekali tidak mau melirik ke arah Kinanti.

"Duduk," perintah Tuan Adiwangsa singkat. Suaranya berat dan penuh wibawa, jenis suara yang tidak menerima bantahan.

Kinanti duduk di kursi kayu paling pinggir, menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Saya nggak mau bertele-tele," Tuan Adiwangsa memulai. "Apa yang terjadi semalam adalah aib terbesar keluarga ini. Kamu, Kinanti, saya sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Saya biayai kuliah kamu, saya kasih kamu tempat tinggal yang layak. Kenapa kamu tega melakukan ini pada Arjuna?"

"Saya nggak melakukannya, Tuan... saya..."

"Cukup!" bentak Tuan Adiwangsa. "Bukti sudah jelas. Kamu ada di ranjangnya. Dan Arjuna bilang dia nggak sadar sama sekali. Itu artinya kamu yang mengambil kesempatan dalam kesempitan."

Kinanti ingin menjerit. Ia ingin membela diri, mengatakan bahwa ia juga tidak sadar, bahwa ia juga merasa ada yang aneh dengan kepalanya semalam. Tapi siapa yang akan percaya? Dia hanya gadis miskin dari kampung, sementara Arjuna adalah putra mahkota kebanggaan mereka.

"Ayah, aku nggak mau nikah sama dia," Arjuna tiba-tiba bersuara. Suaranya tajam seperti pisau. "Aku mau cari Valerie. Aku mau jelasin ke dia. Aku nggak sudi bertanggung jawab buat sesuatu yang nggak aku inginkan."

Nyonya Adiwangsa mendongak. "Tapi Jun, kalau sampai dia hamil gimana? Nama keluarga kita taruhannya."

"Hamil?" Arjuna tertawa sinis, tawa yang membuat bulu kuduk Kinanti berdiri. "Gampang. Suruh dia gugurkan atau buang saja. Aku nggak peduli. Dia yang mau ini terjadi, kan? Jadi dia yang harus tanggung risikonya sendiri."

Kata-kata itu menghujam jantung Kinanti lebih dalam dari apa pun. Ia menatap Arjuna dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak menyangka pria yang biasanya bersikap sopan dan lembut itu bisa mengucapkan kata-kata sekejam itu.

"Arjuna! Jaga bicara kamu!" tegur Tuan Adiwangsa. "Kita bukan keluarga biadab. Tapi saya juga setuju, pernikahan bukan solusi sekarang. Kinanti, untuk sementara, kamu jangan keluar dari rumah ini. Saya akan kirim kamu ke rumah peristirahatan di puncak sampai situasi tenang. Saya nggak mau ada media atau orang luar yang tahu soal ini."

"Tapi Tuan, kuliah saya..."

"Lupakan soal kuliah kamu untuk sekarang!" suara Tuan Adiwangsa meninggi. "Kamu sudah bikin malu keluarga ini, masih berani mikirin kuliah? Kamu harusnya bersyukur saya nggak lempar kamu ke jalanan detik ini juga!"

Kinanti terdiam. Ia meremas ujung bajunya sampai kukunya memutih. Di ruangan itu, ia merasa seperti terdakwa yang sudah divonis bersalah bahkan sebelum persidangan dimulai.

Arjuna berjalan mendekat ke arah Kinanti. Ia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke telinga Kinanti sehingga gadis itu bisa mencium aroma kemarahannya.

"Kamu pikir kamu menang, Kinanti?" bisik Arjuna, sangat pelan namun penuh penekanan. "Kamu salah. Kamu baru saja memulai neraka kamu sendiri. Aku nggak akan pernah maafin kamu. Selamanya."

Setelah mengatakan itu, Arjuna pergi begitu saja, menyambar kunci mobilnya dan keluar dari rumah dengan kecepatan tinggi. Bunyi derit ban mobilnya terdengar sampai ke dalam rumah, menandakan betapa kalutnya perasaan pria itu.

Kinanti ditinggal sendirian di tengah ruangan, di bawah tatapan kecewa Tuan dan Nyonya Adiwangsa. Ia merasa dunianya sudah runtuh. Tidak ada jalan kembali. Nama baiknya, masa depannya, dan harga dirinya sudah hancur berkeping-keping.

Malam itu, Kinanti duduk di pinggir ranjang kamarnya yang sempit. Ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya ke dalam tas ransel tua miliknya. Ia tidak akan menunggu sampai besok untuk dikirim ke rumah puncak. Ia tidak mau menjadi tawanan di bawah rasa bersalah yang tidak ia lakukan.

Ia menatap cermin kecil di depannya. Wajahnya terlihat sangat kusam, matanya bengkak. Ia meraba perutnya yang masih rata. Sebuah ketakutan baru muncul di benaknya. Bagaimana jika perkataan Nyonya Adiwangsa benar? Bagaimana jika benih Arjuna benar-benar tertanam di sana?

"Nggak, Tuhan... tolong jangan sekarang," isaknya.

Ia teringat betapa baiknya Arjuna padanya selama dua tahun terakhir. Bagaimana pria itu sering membawakannya buku-buku kuliah, atau sekadar menanyakan apakah ia sudah makan. Kebaikan-kebaikan kecil itu yang membuat Kinanti menyimpan rasa secara diam-diam. Tapi sekarang, kebaikan itu telah menguap, digantikan oleh kebencian yang murni.

Kinanti berdiri, menyandang tasnya. Ia membuka jendela kamarnya yang tidak berteralis. Ini adalah lantai satu, cukup rendah untuk ia lompati. Ia tidak punya tujuan, tidak punya banyak uang di dompetnya. Tapi tinggal di sini hanya akan membuatnya semakin gila.

Ia melompat keluar, mendarat di atas rumput yang basah karena embun malam. Dengan langkah terburu-buru, ia melewati gerbang samping yang biasanya tidak terkunci rapat. Ia berlari menjauh dari rumah megah itu, menjauh dari kehidupan yang sempat ia impikan, tanpa tahu bahwa takdir sedang menyiapkan kejutan yang jauh lebih besar di depan sana.

Kinanti terus berlari sampai napasnya tersengal-sengal. Ia sampai di sebuah halte bus yang sepi. Di bawah lampu jalan yang temaram, ia duduk memeluk tasnya. Hujan mulai turun rintik-rintik, seolah ikut menangisi nasibnya.

Ia tidak tahu bahwa di saat yang sama, Arjuna sedang mabuk-mabukan di sebuah bar, mencoba menghapus bayangan wajah Kinanti yang menangis dari ingatannya. Ia tidak tahu bahwa Valerie sedang mengemasi barang-barangnya untuk pergi ke luar negeri, meninggalkan luka yang tak terobati. Dan yang paling penting, ia tidak tahu bahwa di dalam dirinya, sebuah kehidupan baru sedang mulai terbentuk-sebuah kehidupan yang nantinya akan mengikatnya kembali pada Arjuna dalam ikatan yang jauh lebih menyakitkan daripada sekadar kebencian.

Nasi sudah menjadi bubur. Dan Kinanti harus belajar menelan bubur yang pahit itu sendirian, di tengah dinginnya malam dan ketidakpastian masa depan. Ia hanyalah gadis kampung yang malang, yang terjebak dalam permainan takdir yang terlalu besar untuknya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Darmini

Selebihnya
Mencintai Monster yang Kupanggil Suami

Mencintai Monster yang Kupanggil Suami

Romantis

5.0

Sejak kecil, bagi Elara, dunia hanya berputar pada satu poros: Julian. Terobsesi untuk memiliki pria yang menjadi cinta pertamanya itu, Elara menggunakan pengaruh besar keluarganya yang konglomerat untuk memutus hubungan Julian dengan kekasih masa mudanya. Dengan licin dan tanpa ampun, Elara "membeli" restu keluarga Julian, memaksa pria itu masuk ke dalam sangkar emas pernikahan. Elara adalah wanita yang tinggi hati dan terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Baginya, penolakan Julian hanyalah sebuah tantangan, bukan tanda untuk berhenti. Namun, ia meremehkan satu hal: kebencian seorang pria yang merasa terampas kebebasannya. Selama tiga tahun, rumah megah mereka hanyalah sebuah makam bagi kebahagiaan. Julian memperlakukan Elara dengan dingin yang membekukan, bahkan terang-terangan menunjukkan rasa muak setiap kali mereka berada di ruangan yang sama. Elara yang keras kepala akhirnya mulai hancur; ia menyadari bahwa meski ia memiliki tubuh Julian, ia tak akan pernah bisa menyentuh jiwanya. Berada di titik nadir dan menyadari bahwa cintanya telah menjadi racun bagi dirinya sendiri, Elara akhirnya melakukan hal yang tak pernah dibayangkan siapa pun: ia mengibarkan bendera putih. Elara memutuskan untuk melepaskan segalanya dan menghilang dari hidup Julian. Kini, saat Elara benar-benar pergi dan tak lagi mengejarnya, akankah Julian merasakan kebebasan yang ia dambakan, atau justru baru menyadari bahwa benci dan cinta hanya terpisah sekat yang sangat tipis? Mampukah sisa-sisa perasaan Elara meluluhkan dinding kebencian Julian sebelum semuanya terlambat?

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku