Aku lumpuh selama sepuluh tahun demi menyelamatkan tunanganku, Gunawan. Namun, yang kudapatkan sebagai balasannya adalah pengkhianatan paling menyakitkan. Aku memergoki Gunawan berselingkuh dengan asisten pribadinya, Vivian, di ranjang kami. Lebih parahnya lagi, adik kandungku sendiri, Keenan, yang selama ini kubiayai hidupnya, ternyata mengetahui segalanya. Dia menutupi perselingkuhan itu demi uang. Aku adalah satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa, orang bodoh yang dibutakan oleh cinta dan kepercayaan. Mereka pikir aku masih lumpuh dan tak berdaya, tak akan pernah tahu rahasia busuk mereka. Tapi mereka salah. Aku sudah bisa berjalan. Dan aku melihat semuanya. Tujuh tahun kemudian, aku kembali dari "kematian" dengan identitas baru sebagai Alena Kusuma, seorang investor kaya raya yang siap menghancurkan mereka semua.
Aku lumpuh selama sepuluh tahun demi menyelamatkan tunanganku, Gunawan. Namun, yang kudapatkan sebagai balasannya adalah pengkhianatan paling menyakitkan.
Aku memergoki Gunawan berselingkuh dengan asisten pribadinya, Vivian, di ranjang kami.
Lebih parahnya lagi, adik kandungku sendiri, Keenan, yang selama ini kubiayai hidupnya, ternyata mengetahui segalanya. Dia menutupi perselingkuhan itu demi uang.
Aku adalah satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa, orang bodoh yang dibutakan oleh cinta dan kepercayaan.
Mereka pikir aku masih lumpuh dan tak berdaya, tak akan pernah tahu rahasia busuk mereka.
Tapi mereka salah. Aku sudah bisa berjalan. Dan aku melihat semuanya.
Tujuh tahun kemudian, aku kembali dari "kematian" dengan identitas baru sebagai Alena Kusuma, seorang investor kaya raya yang siap menghancurkan mereka semua.
Bab 1
"Aku butuh kau membantuku lenyap, Vic."
Suara itu keluar dari bibirku, hampa, nyaris tak bersuara, namun beratnya menekan seluruh jiwaku. Di seberang telepon, keheningan menyelimuti sejenak, membuat telingaku berdenging. Aku tahu kata-kataku mengejutkan Victoria. Aku bisa merasakan dia terkesiap, seolah napasnya tertahan di ujung sana. Pertanyaan itu menggantung di udara, pertanyaan yang tak terucap namun begitu jelas. 'Kenapa?'
Napas Victoria terdengar berat, seperti dia baru saja berlari maraton. "Apa maksudmu, Kinan? Lenyap? Kau sedang bicara apa?" Suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus, dan itu adalah satu-satunya hal yang terasa nyata dalam kekacauan di hatiku ini. Dia adalah satu-satunya jangkar yang tersisa.
Aku memejamkan mata, merasakan sakit di dadaku seperti serpihan kaca yang tak terhitung jumlahnya mengoyak-ngoyak dagingku. Rasanya seperti ada tangan dingin yang meremas jantungku hingga tak berbentuk. Setiap detak adalah siksaan. Kekecewaan itu, rasa sakit itu, jauh lebih buruk dari semua rasa sakit fisik yang pernah kualami selama sepuluh tahun ini. Itu adalah jenis rasa sakit yang membakar jiwaku sampai hangus, meninggalkan abu. Gunawan, orang yang kucintai lebih dari segalanya. Keenan, adikku sendiri, darah dagingku. Mereka berdua. Mereka menghancurkanku.
"Aku melihatnya, Vic," bisikku, suaraku tercekat. "Aku melihat Gunawan dengan Vivian. Di apartemen kami. Di tempat tidur kami." Setiap kata adalah tusukan baru. "Dan kau tahu apa yang paling menyakitkan? Keenan tahu. Dia tahu semuanya. Dia menutupi ini dariku." Bibirku bergetar. Aku bisa merasakan air mataku mendidih di balik kelopak mata, tapi aku menolak membiarkannya jatuh. Tidak lagi. Aku tidak akan menangis untuk mereka.
Keheningan kembali menyergap, kali ini lebih panjang. Aku tahu Victoria sedang memproses informasi ini. Aku tahu dia marah. Aku tahu dia juga terluka untukku. Dia selalu menjadi perisai bagiku.
"Kinan... astaga," kata Victoria akhirnya, suaranya sarat kemarahan dan kesedihan. "Bagaimana bisa? Bajingan itu! Dan Keenan... aku tidak percaya dia bisa melakukan ini padamu."
Aku menarik napas dalam, bau pengkhianatan memenuhi setiap sudut paru-paruku. "Aku ingin menghilang, Vic. Aku ingin mati. Tapi tidak sungguh-sungguh mati. Aku ingin mereka berpikir aku sudah mati. Aku ingin mereka merasakannya. Aku ingin mereka hancur. Aku ingin balas dendam." Suaraku berubah menjadi dingin, seperti es. Emosi yang membara kini mengeras menjadi tekad yang tajam.
Victoria tidak ragu sama sekali. "Baiklah. Kalau itu yang kau inginkan, kita akan melakukannya. Aku akan membantumu. Aku akan membuat mereka semua membayar. Katakan padaku apa yang harus kulakukan." Kesetiaannya adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan ini. Aku tahu dia akan melakukan apa saja untukku.
"Aku ingin kecelakaan," kataku, mataku menatap kosong ke dinding putih di depanku. "Kecelakaan yang meyakinkan. Yang membuat mereka berpikir aku bunuh diri. Tapi aku tidak akan mati."
"Oke," kata Victoria tegas. "Aku punya beberapa ide. Kakakku, Benny, dia punya banyak koneksi di luar negeri. Dia bisa membantumu memulai hidup baru. Tapi ini harus direncanakan dengan sangat hati-hati. Kau harus menghilang tanpa jejak."
Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki mendekat di koridor. Jantungku berdebar kencang. Itu suara langkah Gunawan. Aku sudah mengenalnya selama hampir dua belas tahun. Aku tahu setiap langkahnya.
"Vic, aku harus pergi," bisikku panik. "Dia datang."
"Oke, aku akan segera menghubungimu lagi. Jangan lakukan apa-apa sendirian," kata Victoria dengan nada mendesak. "Aku mencintaimu, Kinan."
"Aku juga mencintaimu," kataku, lalu segera memutus panggilan. Aku buru-buru menyembunyikan ponselku di bawah bantal tepat saat pintu kamarku terbuka.
Gunawan Purwadji berdiri di ambang pintu, senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang kini terasa seperti topeng. Dia mendekatiku, aroma parfumnya yang mahal bercampur dengan sesuatu yang asing, sesuatu yang Vivian. Jantungku berdesir jijik. Dia membungkuk, mencium keningku dengan lembut, sebuah sentuhan yang dulu membuatku merasa aman, kini hanya memicu rasa mual.
"Sayang, maafkan aku," katanya, suaranya lembut, penuh penyesalan palsu. "Aku tahu aku tidak seharusnya pergi saat kau baru saja pulih. Tapi pekerjaan. Kau tahu sendiri."
Aku mengangguk, menjaga ekspresiku tetap datar. Aku tidak bisa membiarkannya melihat apa-apa. Senyumku terasa seperti menarik otot-otot wajahku hingga sobek. "Tidak apa-apa, Gunawan. Aku mengerti."
"Bagaimana perasaanmu hari ini? Sudah mencoba berjalan lagi?" Dia bertanya, membelai pipiku. Tangannya terasa hangat, tapi aku hanya merasakan dinginnya pengkhianatan. Aku mendapati diriku memutar otak, mengingat semua yang terjadi.
Sepuluh tahun yang lalu, aku, Kinan Faisal, seorang desainer interior yang penuh semangat dan ambisi, kehilangan segalanya dalam sekejap. Kobaran api di proyek konstruksi Gunawan, tunanganku. Aku berlari masuk tanpa berpikir dua kali, hanya untuk menyelamatkannya. Aku berhasil. Tapi api itu merenggut kakiku, merenggut kemampuanku untuk berjalan.
Dia berjanji akan merawatku seumur hidup. Dia membangun pusat rehabilitasi tercanggih. Dia tampak seperti pahlawan, pria paling setia di dunia. Masyarakat memujinya. Aku mencintainya tanpa syarat.
Rehabilitasi itu adalah neraka yang panjang. Sepuluh tahun. Sepuluh tahun aku hidup dengan kursi roda, dengan rasa sakit yang tak berkesudahan, dengan harapan yang kadang pudar. Ada saat-saat aku ingin menyerah, ingin mengakhiri semuanya. Tapi Gunawan memegang tanganku. "Kau harus kuat, sayang. Aku bersamamu. Kita akan melewati ini bersama. Untuk masa depan kita. Untuk Keenan."
Keenan. Adikku. Aku membiayai sekolahnya, hidupnya. Dia adalah alasan lain aku bertahan. Aku ingin melihatnya sukses, melihatnya bahagia. Aku ingin dia bangga padaku.
Dan akhirnya, setelah satu dekade penderitaan, keajaiban itu datang. Aku bisa berjalan lagi. Langkah pertamaku adalah air mata kebahagiaan. Aku ingin memberinya kejutan. Aku ingin menunjukkan padanya bahwa semua pengorbanannya tidak sia-sia. Aku berjalan ke apartemen kami, dengan senyum lebar di wajahku, memegang buket bunga yang baru kubeli.
Tapi yang kudapatkan bukanlah kebahagiaan atau perayaan. Yang kudapatkan adalah neraka. Suara-suara desahan dari kamar tidur kami. Pintu yang sedikit terbuka. Dan kemudian, pemandangan yang menghancurkan. Gunawan, telanjang, di atas Vivian, asisten pribadinya. Di tempat tidur kami. Seluruh dunia yang kubangun runtuh dalam sekejap.
Pakaian berserakan di lantai, aroma manis yang memuakkan dari gairah mereka memenuhi udara. Mereka tidak tahu aku ada di sana. Vivian tertawa manja, memanggil Gunawan dengan panggilan sayang. Gunawan mencium lehernya, tangan posesif di pinggul Vivian. Aku melihat noda merah di leher Vivian yang bukan miliknya. Itu adalah noda lipstikku, yang aku pakai sebelumnya. Mereka telah melakukan ini berulang kali. Bukan sekali atau dua kali.
Seluruh tubuhku bergetar. Kakiku, yang baru saja pulih, terasa lemas. Aku ingin berteriak, ingin menghancurkan segalanya. Tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya keheningan yang mematikan. Aku mundur perlahan, jantungku hancur berkeping-keping. Aku menyesali setiap langkah yang telah kucoba. Aku menyesali kesembuhanku. Aku menyesali segalanya.
Aku tidak tahu bagaimana aku bisa kembali ke kamar. Kaki-kakiku terasa seperti jeli. Aku hanya ingin lari. Jauh sekali. Aku ingin menghilang.
Sejak hari itu, Vivian menjadi semakin berani. Dia sering datang ke apartemen, bahkan ketika Gunawan tidak ada. Dia dengan santainya menggunakan barang-barangku. Mengapa aku harus diam? Karena aku melihat Keenan, adikku, berbicara dengannya, tertawa dengannya. Dia tahu. Dia tahu perselingkuhan ini. Dia menerima uang dari Gunawan, dari Vivian, agar dia tetap tutup mulut.
Aku bahkan mendengar Keenan memanggil Vivian dengan sebutan 'Kakak ipar'. Sejak kapan? Aku adalah satu-satunya yang seharusnya dipanggil seperti itu. Aku adalah orang yang mengorbankan segalanya untuknya. Aku adalah kakaknya.
Aku adalah satu-satunya yang tidak tahu. Aku adalah orang bodoh yang buta, yang mempercayai semua orang.
Gunawan mendekat, tangannya masih di pipiku. Aku merasakan sentuhan Vivian pada bibirnya, sentuhannya di tubuhnya, sentuhan Vivian di mana-mana. Rasa mual itu kembali, lebih kuat. Aku menyingkirkan tangannya dengan jijik.
"Aku hanya... sedikit lelah," kataku, suaraku masih setenang mungkin. "Kurasa aku perlu istirahat."
Gunawan mengerutkan kening, sedikit kaget dengan penolakanku. Dia tidak pernah menyangka aku akan menolaknya. "Tentu, sayang. Kau harus istirahat. Aku akan pergi bekerja. Ada pertemuan penting malam ini. Mungkin aku akan pulang larut."
Dia mencium keningku lagi, tergesa-gesa. Kali ini aku menahan mualku. Aku menatap punggungnya saat dia berjalan keluar dari kamarku, senyum tipis di wajahnya. Senyum itu. Dulu itu adalah senyum yang paling kuinginkan di dunia. Sekarang, itu adalah senyum iblis yang mengejekku.
Semua kenangan indah kami, ciumannya, janjinya, semua itu kini terasa seperti kebohongan yang kejam. Aku dulu percaya pada cinta kami. Sekarang, aku tidak percaya pada apa pun.
Aku harus pergi. Aku harus menghilang. Dan ketika aku kembali, aku akan menghancurkan mereka semua. Satu per satu.
Bab 1
Hari ini15:01
Bab 2
Hari ini15:01
Bab 3
Hari ini15:01
Bab 4
Hari ini15:01
Bab 5
Hari ini15:01
Bab 6
Hari ini15:01
Bab 7
Hari ini15:01
Bab 8
Hari ini15:01
Bab 9
Hari ini15:01
Bab 10
Hari ini15:01
Bab 11
Hari ini15:01
Bab 12
Hari ini15:01
Bab 13
Hari ini15:01
Bab 14
Hari ini15:01
Bab 15
Hari ini15:01
Bab 16
Hari ini15:01
Bab 17
Hari ini15:01
Bab 18
Hari ini15:01
Bab 19
Hari ini15:01
Bab 20
Hari ini15:01
Bab 21
Hari ini15:01
Bab 22
Hari ini15:01
Bab 23
Hari ini15:01
Bab 24
Hari ini15:01
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya