Kembali Bangkit Hancurkan Para Pengkhianat
/0/30874/coverbig.jpg?v=7f0e1b340e4bd7f7f19a0bef01c82087&imageMogr2/format/webp)
tunanganku, Gunawan. Namun, yang kudapatkan sebagai
ingkuh dengan asisten pribad
yang selama ini kubiayai hidupnya, ternyata mengetahu
idak tahu apa-apa, orang bodoh yang
dan tak berdaya, tak akan pe
sudah bisa berjalan. Da
ngan identitas baru sebagai Alena Kusuma, seorang in
a
u membantuku
menyelimuti sejenak, membuat telingaku berdenging. Aku tahu kata-kataku mengejutkan Victoria. Aku bisa merasakan dia terkesiap, se
p? Kau sedang bicara apa?" Suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus, dan itu adalah satu-satunya
tak berbentuk. Setiap detak adalah siksaan. Kekecewaan itu, rasa sakit itu, jauh lebih buruk dari semua rasa sakit fisik yang pernah kualami selama sepuluh tahun ini. Itu adalah jenis rasa
lah tusukan baru. "Dan kau tahu apa yang paling menyakitkan? Keenan tahu. Dia tahu semuanya. Dia menutupi ini dariku." Bibirku bergetar. Aku bi
ictoria sedang memproses informasi ini. Aku tahu dia marah. Aku
emarahan dan kesedihan. "Bagaimana bisa? Bajingan itu! Dan
tidak sungguh-sungguh mati. Aku ingin mereka berpikir aku sudah mati. Aku ingin mereka merasakannya. Aku ingin mereka hancur.
kan membantumu. Aku akan membuat mereka semua membayar. Katakan padaku apa yang harus kulakukan." Kes
ing putih di depanku. "Kecelakaan yang meyakinkan. Yang membu
banyak koneksi di luar negeri. Dia bisa membantumu memulai hidup baru. Tapi ini
antungku berdebar kencang. Itu suara langkah Gunawan. Aku sudah me
ergi," bisikku pa
an lakukan apa-apa sendirian," kata Victoria d
s panggilan. Aku buru-buru menyembunyikan ponselku
dekatiku, aroma parfumnya yang mahal bercampur dengan sesuatu yang asing, sesuatu yang Vivian. Jantungku berdesir jijik. Di
enyesalan palsu. "Aku tahu aku tidak seharusnya pergi sa
mbiarkannya melihat apa-apa. Senyumku terasa seperti menarik otot
embelai pipiku. Tangannya terasa hangat, tapi aku hanya merasakan dinginnya p
galanya dalam sekejap. Kobaran api di proyek konstruksi Gunawan, tunanganku. Aku berlari masuk tanpa berpikir dua k
abilitasi tercanggih. Dia tampak seperti pahlawan, pria paling se
tak berkesudahan, dengan harapan yang kadang pudar. Ada saat-saat aku ingin menyerah, ingin mengakhiri semuanya. Tapi Gunawan
adalah alasan lain aku bertahan. Aku ingin melihatnya
lah air mata kebahagiaan. Aku ingin memberinya kejutan. Aku ingin menunjukkan padanya bahwa semua pengorbanannya t
ri kamar tidur kami. Pintu yang sedikit terbuka. Dan kemudian, pemandangan yang menghancurkan. Gunawan, telanj
ja, memanggil Gunawan dengan panggilan sayang. Gunawan mencium lehernya, tangan posesif di pinggul Vivian. Aku melihat noda merah di leher Vivian
lanya. Tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya keheningan yang mematikan. Aku mundur perlahan, jantungku hancur ber
mar. Kaki-kakiku terasa seperti jeli. Aku hanya
antainya menggunakan barang-barangku. Mengapa aku harus diam? Karena aku melihat Keenan, adikku, berbicara dengannya, tertaw
ejak kapan? Aku adalah satu-satunya yang seharusnya dipanggil seperti itu.
tahu. Aku adalah orang bodoh yang
n pada bibirnya, sentuhannya di tubuhnya, sentuhan Vivian di mana-mana. R
aku, suaraku masih setenang mungk
menyangka aku akan menolaknya. "Tentu, sayang. Kau harus istirahat. Aku akan
a saat dia berjalan keluar dari kamarku, senyum tipis di wajahnya. Senyum itu. Dulu itu adal
kini terasa seperti kebohongan yang kejam. Aku dulu percay
Dan ketika aku kembali, aku akan meng