Suamiku memelukku erat di ruang tunggu rumah sakit, berjanji akan melindungiku dari hukum setelah aku memukul kepala ayahnya sendiri hingga koma. Malam itu, Tjahjo, ayah mertuaku yang bejat, menerobos masuk ke kamarku dan mencoba memperkosaku saat suamiku sedang "dinas luar kota". Dalam kepanikan dan upaya membela diri, aku menghantamnya dengan patung keramik berat. Rangga, suamiku, terus membisikkan kata-kata penenang, bersikap layaknya pahlawan yang siap menanggung segalanya demi istri tercinta. Namun, saat ia lengah, sebuah notifikasi pesan menyala di layar ponselnya yang tergeletak di sampingku. "Rencana B Berhasil." Darahku seketika membeku. Potongan teka-teki itu akhirnya menyatu: kepergiannya yang terlalu sering, desakannya agar ayahnya menginap di rumah kami, hingga senyum tipisnya saat dokter memvonis ayahnya mungkin takkan bangun lagi. Ternyata, aku hanyalah umpan. Dia sengaja menyerahkanku ke mulut singa, membiarkan ayahnya melecehkanku, hanya untuk meminjam tanganku menyingkirkan orang tua itu demi warisan asuransi. Air mataku kering seketika, digantikan oleh nyala api dendam yang dingin dan membara. Rangga Agustina, kamu pikir kamu menang? Aku akan merebut segalanya darimu, dan memastikan kamu yang akan membusuk di penjara, bukan aku.
Suamiku memelukku erat di ruang tunggu rumah sakit, berjanji akan melindungiku dari hukum setelah aku memukul kepala ayahnya sendiri hingga koma.
Malam itu, Tjahjo, ayah mertuaku yang bejat, menerobos masuk ke kamarku dan mencoba memperkosaku saat suamiku sedang "dinas luar kota".
Dalam kepanikan dan upaya membela diri, aku menghantamnya dengan patung keramik berat.
Rangga, suamiku, terus membisikkan kata-kata penenang, bersikap layaknya pahlawan yang siap menanggung segalanya demi istri tercinta.
Namun, saat ia lengah, sebuah notifikasi pesan menyala di layar ponselnya yang tergeletak di sampingku.
"Rencana B Berhasil."
Darahku seketika membeku.
Potongan teka-teki itu akhirnya menyatu: kepergiannya yang terlalu sering, desakannya agar ayahnya menginap di rumah kami, hingga senyum tipisnya saat dokter memvonis ayahnya mungkin takkan bangun lagi.
Ternyata, aku hanyalah umpan.
Dia sengaja menyerahkanku ke mulut singa, membiarkan ayahnya melecehkanku, hanya untuk meminjam tanganku menyingkirkan orang tua itu demi warisan asuransi.
Air mataku kering seketika, digantikan oleh nyala api dendam yang dingin dan membara.
Rangga Agustina, kamu pikir kamu menang?
Aku akan merebut segalanya darimu, dan memastikan kamu yang akan membusuk di penjara, bukan aku.
Bab 1
Salahkah jika aku menginginkan lebih? Lebih dari sekadar kesendirian membisu yang menjadi teman setiaku setiap malam?
Aku beringsut di atas tempat tidur bersprei sutra, jemariku menelusuri lekuk tubuhku sendiri. Dingin. Sepi. Ruangan ini terlalu besar untuk satu orang. Bahkan, untuk dua orang yang jarang berada di sini bersamaan.
Kakiku menyilang, merasakan gesekan kain tipis pada kulit. Sensasinya aneh, memuaskan sekaligus hampa. Ini bukan yang aku inginkan, bukan yang aku butuhkan.
Tubuhku mengingat sentuhan, desahan, dan kehangatan yang pernah ada. Sensasi itu, meskipun pudar, masih lebih nyata daripada apa pun yang bisa kuberikan pada diriku sendiri saat ini. Dulu, sentuhan Rangga bisa membakar, kini hanya membeku.
Aku tahu aku berbeda. Hasratku, kebutuhanku akan sentuhan, rasanya lebih besar dari perempuan lain. Itu bukan aib, itu adalah bagian dariku. Bagian yang sering membuatku merasa bersalah, tapi tak bisa kuingkari.
Gelombang hasrat ini datang secara teratur, seperti pasang surut air laut yang kuat. Setiap beberapa hari, atau bahkan setiap malam, aku merasakannya mendesak dari dalam, menuntut pemenuhan, menuntut pelepasan.
Aku butuh itu, sedikitnya tiga kali seminggu untuk merasa normal. Untuk bisa berpikir jernih, untuk tidur tanpa gelisah, untuk tidak merasa seperti ada sesuatu yang menggerogoti dari dalam.
Ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi, aku merasa lelah, mudah marah, dan kosong. Dunia terasa hambar, warnanya pudar. Aku seperti mesin yang kehabisan bahan bakar, tapi terus dipaksa berjalan.
Dulu, Rangga adalah pengisi bahan bakar itu. Dia adalah suamiku, pasanganku, belahan jiwaku. Sentuhannya adalah api yang menyalakan kembali diriku. Pelukannya adalah tempatku menemukan kedamaian.
Tapi sekarang, Rangga jarang ada. Bisnisnya, katanya. Proyek-proyek di luar kota yang tak berkesudahan. Minggu ini, ia sudah pergi lagi. Meninggalkan rumah besar ini, dan aku, dalam kesendirian.
Hasrat itu kembali lagi malam ini, lebih kuat dari biasanya. Aku mencoba mengabaikannya, mencoba mengalihkannya. Tapi hasratku tidak bisa ditipu. Dia terus membisikkan janji-janji manis tentang sentuhan yang hilang.
Bahkan di tempat kerja, konsentrasiku buyar. Angka-angka di laporan berputar-putar. Wajah-wajah kolega tampak kabur. Yang ada di benakku hanya satu: sentuhan.
Aku sudah mencoba berbagai cara untuk menenangkan diriku, untuk memadamkan api yang membara. Tapi tak ada yang berhasil. Sentuhan jariku sendiri terasa kosong, dingin, dan tidak berarti. Itu bukan solusi.
Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah kehadiran seorang pria. Pria mana saja, asalkan dia bisa memberiku apa yang Rangga tak lagi berikan. Aku membenci diriku karena pikiran ini. Aku membenci diriku karena merasa seperti ini.
Aku bahkan pernah mencoba pergi ke pusat perbelanjaan, berharap keramaian bisa mengalihkan pikiranku. Berharap hiruk pikuk bisa menenggelamkan bisikan-bisikan di kepalaku.
Ketika kaki melangkah masuk ke dalam mal, aku merasakan desakan orang-orang di sekitarku. Lift yang penuh sesak menjadi tempatku terjebak, tubuh-tubuh asing menempel terlalu dekat. Udara menipis, menyesakkan.
Kemudian, aku merasakannya. Sentuhan yang terlalu lama, terlalu sengaja. Jemari yang menelusuri punggung bawahku, naik perlahan ke pinggul. Aku ingin berteriak, ingin menepis. Tapi tubuhku, yang selama ini lapar, seolah membeku. Ada rasa jijik, tapi juga... kejutan.
Aku tahu ini salah. Tentu saja salah. Sentuhan tak senonoh di tempat umum. Tapi tubuhku, yang diabaikan terlalu lama, mengirimkan sinyal campuran. Ada kemarahan, tapi di bawahnya, ada getaran aneh yang sudah lama tak kurasakan.
Aku sering melihat ini di berita, di media sosial. Perempuan-perempuan yang dilecehkan di tempat umum, di transportasi umum. Aku selalu merasa kasihan pada mereka. Tapi, aku tidak pernah berpikir itu akan terjadi padaku. Dan aku tidak pernah berpikir, tubuhku akan bereaksi seperti ini.
Aku tahu aku rentan. Lebih rentan dari yang kukira. Dan itu menakutkan. Aku adalah mangsa yang sempurna, menunggu di tengah keramaian.
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya