An, seorang gadis yang melangkah pelan dalam riuh dunia, mencari sesuatu yang tak berbentuk-kesempurnaan. Ia merajut harinya dengan benang-benang harap, menata dirinya sedetail embun di pagi hari, dan mencoba menyempurnakan hidup orang-orang yang ia cintai, seolah dengan itu dunia bisa menjadi lebih utuh. Namun semakin ia berlari, semakin jauh garis akhir itu menjauh. Ia mulai bertanya dalam diam-apakah kesempurnaan memang benar ada? Ataukah justru dunia ini diciptakan dengan celah dan luka, agar manusia belajar mencintai yang retak, dan memahami bahwa keindahan tak selalu hadir dalam bentuk yang utuh?
Pagi itu langit menggantung kelabu. Bukan karena mendung, tapi karena rasanya memang tak ada warna yang benar-benar utuh dalam hidupku. Aku duduk di tepi jendela, menatap keluar seolah ada sesuatu di sana yang tengah menungguku-atau mungkin sedang menantangku.
Aku terbiasa hidup dalam garis yang rapi. Langkah-langkahku terukur, napasku mengikuti irama yang kuatur sendiri. Buku-buku di rak tersusun berdasarkan ukuran, catatan harian penuh daftar dan rencana, dan segala sesuatu dalam hidupku harus... pas. Seolah dengan kerapihan itu, luka-luka dalam diriku bisa lebih mudah kusangkal.
Aku ingin menjadi sempurna. Atau setidaknya terlihat seperti itu. Rambutku selalu kuikat rapi, kata-kataku kupilih dengan cermat, dan senyumku kutata agar tak membuat siapa pun merasa tak nyaman. Aku menjaga diriku seolah ada mata yang selalu mengawasi, meski seringnya, mata itu adalah milikku sendiri.
Setiap pagi, aku berdiri di depan cermin dan berkata,
"Hari ini, harus lebih baik."
Tapi di balik kata-kata itu, aku selalu bertanya dalam diam: lebih baik... untuk siapa?
Aku tak hanya berusaha memperbaiki diriku. Aku juga ingin memperbaiki dunia di sekitarku. Orang-orang yang kucintai, mereka yang menempati ruang-ruang dalam hidupku, ingin kubuat merasa cukup. Merasa dicintai. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa mereka andalkan, seseorang yang membuat dunia terasa sedikit lebih mudah dijalani.
Tapi, semakin aku berusaha, semakin sering aku dihantui satu pertanyaan:
Benarkah manusia bisa sempurna?
Dan jika dunia ini memang diciptakan dengan celah dan cacatnya, mengapa aku begitu keras kepala mencoba melawannya?
Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, aku kembali menyusun hidupku. Tapi untuk pertama kalinya, aku menyadari ada sesuatu yang mulai retak-bukan di luar sana, tapi di dalam diriku sendiri.
Dan mungkin... aku lelah menyembunyikannya.