Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Assalamu'alaikum, Mas CEO!

Assalamu'alaikum, Mas CEO!

Kiki Miki

5.0
Komentar
1
Penayangan
36
Bab

Apa yang terlintas di benak kalian saat mendengar kata CEO? Angkuh? Kejam? Arogan? Mohammad Hanif As-Siddiq berbeda! Menjadi seorang CEO di perusahaan besar seperti INANTA group tak lantas membuat dia menjadi tipikal CEO yang seperti itu. Dia agamis dan rajin beribadah. Pertemuan putrinya Aisyah dengan Ummi Aida, seorang office girl di tempat dimana dia bekerja, membuat pertunangannya dengan Soraya putri pemilik perusahaan terancam batal karena Aisyah menyukai Ummi yang mirip dengan almarhum ibunya. Dengan siapa hati Hanif akan berlabuh?

Bab 1 Ummi

Di sebuah meeting room perusahaan berskala international PT. Inanta Group, seorang pria berusia sekitar 30 tahunan berwajah serius sedang memimpin rapat akhir tahun. Dialah Mohammad Hanif As-Siddiq yang memegang jabatan sebagai Chief Excecutif Officer (CEO) di perusahaan yang bergerak di bidang agraria itu.

"Sampai saat ini perusahaan kita masih menjadi produsen lateks terbesar di indonesia. Meskipun kelapa sawit telah menyusul karet baru-baru ini dalam hal luas lahan, perusahaan tetap berkomitmen dalam segmen usaha karet dan melanjutkan pengembangan perkebunan karet melalui penanaman lahan baru," kata Hanif.

"Kapan kira-kira penanaman lahan itu akan dilaksanakan? Kita juga harus memperhitungkan waktunya agar pengalokasian dananya tidak saling bertabrakan dengan pengeluaran dana untuk maintenance (pemeliharaan) alat-alat dan fasilitas di perusahaan kita," sela salah satu peserta rapat.

"Perkebunan karet perusahaan saat ini dalam siklus penanaman ketiga. Penanaman kembali secara teratur akan dilakukan setelah pohon karet mencapai umur 25 tahun. Namun, perusahaan sedikit menunda penanaman kembali selama dua tahun belakangan untuk mengambil keuntungan dari tingginya harga karet yang berlaku. Dan hemat saya mengatakan sebaiknya kita mempercepat kembali program penanaman kembali pada awal Februari nanti karena pohon karet yang tua pasti akan berkurang produktifitas-nya," jawab Hanif.

"Jika penanaman kembali direncanakan awal Februari, bukankah itu terlalu cepat?"

"Terlalu cepat bagaimana? Dua bulan, apakah itu tidak cukup mempersiapkan segala sesuatunya?"

"Tapi ...."

"Abi!!!"

Jreeeeng!!!

Semua peserta rapat menoleh ke asal suara itu.

Seorang bocah perempuan berhijab berusia sekitar 4 tahunan memperlihatkan kepalanya dari balik pintu ruang rapat. Namun tatkala semua mata tertuju padanya, gadis kecil itu kembali bersembunyi.

Hanif berusaha mengabaikan bocah itu. Dan kembali melanjutkan rapat.

"Tapi apa tadi?" tanya Hanif lagi.

"Tapi kalau kita nekad melakukan penana ...."

"Abi!!!! Hihihi ...."

Suara mungil nan menggemaskan itu terdengar lagi. Kali ini dibarengi dengan tawa cekikikan. Kepalanya menyembul lagi dari balik pintu.

Hanif menghela napas dan bangkit dari duduknya.

"Tunggu sebentar!" pamitnya pada semua peserta rapat yang juga telah kehilangan fokus akibat ulah bocah kecil itu.

Hanif lantas keluar dari ruang rapat dan ingin menemui anak itu.

"Ah, Ais! Kamu mau apa? Abi lagi rapat nih!" tanya Hanif pada bocah itu.

Aisyah gadis perempuan cilik nan cantik lagi berhijap itu tertawa.

"Abi, pulang yuk! Ais bosyan di syini. Di syinni nda da eman," rengeknya.

Hanif menghela napas sambil mengelus kepala gadis itu.

"Sebentar lagi ya, Sayang. Abi selesaikan dulu rapatnya."

"Cebentalnya belapa banyak?" tanya Aisyah lagi.

Hanif pura-pura berpikir keras.

"Segini!" katanya sambil menunjukkan sepuluh jarinya.

"Haaa? Sephuluh? Itu lama syekali, Abi!"

"Hanya sepuluh menit. Bukan sepuluh jam, oke?"

Gadis kecil itu kembali berlagak seperti orang yang sedang berpikir keras. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di pelipisnya.

"Sepuluh menit, ya?" tanya Hanif lagi meminta persetujuan sang bocah.

"Hmmm, ote (oke)!" kata Aisyah pada akhirnya.

"Dian! tolong awasi Aisyah sebentar, ya! saya mau lanjutin rapat dulu. Paling hanya sepuluh menitan lagi," kata Hanif menyuruh salah seorang staf untuk mengawasi Aisyah.

"Oh iya, Pak!" jawab Dian. "Ais, ikut kakak yuk!"

"Tapi Abi janan boong, ya! Janan lama," kata si kecil Aisyah memperingatkan.

"He em. Nggak lama, kok!" jawab sang Abi.

Lalu Hanif pun kembali melanjutkan rapat.

Waktu 10 menit yang dijanjikan oleh Hanif ternyata tak dapat dia penuhi. Nyatanya rapat itu membutuhkan waktu yang lebih banyak dari yang dia perkirakan.

Aisyah mulai bosan.

"Akak, Ais lapaaal (lapar)," rengeknya.

Dian, staf yang disuruh menjaga Aisyah sedang fokus menginput data saat mendengar anak dari bosnya itu merengek.

"Bentar ya Ais. Kkak masih sibuk, nih. Kalau ini sudah selesai, nanti kita cari makanan, ya, ya, ya?" bujuk Dian sambil tangannya masing ketik-ketik di atas keyboard komputer.

***

Di sisi lain gedung Inanta Group, terdapat sebuah pantry. Seorang gadis berusia 21 tahun sedang sibuk membuatkan kopi untuk para karyawan perusahaan itu.

Tok!Tok!Tok!

Gadis itu menoleh. Seorang lelaki dengan kemeja biru sedang bersandar di pintu pantry.

"Ummi, antarin kopi ke ruang Pak Heru, ya!" kata lelaki itu.

"Satu ajakah, Mas?" tanya gadis bernama Ummi itu.

"He em. Kalau kamu nggak keberatan sih, bisa juga antar ke ruanganku sekalian," jawab Dirga.

Wanita yang ternyata bernama Ummi itu mengangguk sambil tersenyum.

"Baiklah, takarannya seperti biasa ya, Mas?" tanya gadis itu.

"Yoi!!! jangan lama-lama, ya!" kata pria itu seraya berlalu pergi dari pantry itu.

Usai menyiapkan kopi yang diminta oleh karyawan bernama Dirga tadi, Ummi pun mengantarkan kopi tersebut ke ruangan Pak Heru kemudian segera mengantar segelas kopi lagi ke meja kerja Dirga.

"Ini Mas kopinya!" kata Ummi sembari meletakkan kopi di atas meja.

"Kopi Pak Heru sudah?"tanyanya.

"Sudah," jawab Ummi.

"Kalau begitu, nanti tolong antarkan file ini ke ruangan pak Hanif," kata Dirga lagi.

"Pak Hanif siapa ya, mas? Di divisi apa?" tanya Ummi mengingat-ingat.

Dia baru tiga bulanan bekerja di perusahaan ini sebagai office girl, dan seingatnya dia tak kenal dengan seseorang bernama Hanif di sini.

"Pak Hanif CEO, di lantai 54," jawab Dirga seraya menyerahkan beberapa file ke tangan Ummi.

"Hah?"

Ummi termangu. Sekarang dia baru ingat kalau di sini ada seorang Hanif yang terkenal di lingkungan karyawati. Hanif CEO! Orang yang selalu jadi perbincangan karyawati wanita di kantor ini.

"Kenapa? Merasa dapat anugrah ya? hahaha ..." ledek Dirga.

Ummi tersentak dari ketermanguannya.

"Mas Dirga ini! Anugrah apanya? Saya kan cuma disuruh ngantarin ini, kan?" tanyanya.

"Hahaha, Ummi, Ummi! Kamu nggak tau aja sih ada berapa banyak cewek yang berharap aku nyuruh mereka ngantarin sesuatu ke Hanif kayak begini. Dan sekarang aku ngasih kamu kesempatan itu, terima kasih, donk!"

Ummi mengedip-ngedipkan matanya heran.

"Terima kasih buat apa, Mas?"

"Haisss, kamu itu susah nyambungnya, Mi! udah antarin gih sana!"

"Hmmm, oke deh."

Setelah mengantar nampannya ke pantry, Ummi pun langsung mengantar file itu menuju lantai 54 gedung itu. Setelah mencari-cari di mana ruang kerja CEO, akhirnya Ummi pun menemukannya.

"Mbak, saya mau ngantarin file untuk pak Hanif," kata Ummi sopan pada sekretarisnya Hanif yang meja kerjanya berada di luar ruangan CEO itu.

"Sini! Berikan sama saya aja. Pak Hanif lagi rapat," kata wanita itu.

Tak banyak yang bisa dilakukan disitu. Ummi sampai geleng-geleng kepala mengingat kata-kata Dirga yang menyuruh dia berterima kasih padanya. Terima kasih buat apa coba? Kan tenaganya yang keluar untuk mengantarkan file ini kesini? Ketemu orangnya aja dia tidak pernah, mau terima kasih bagaimana maksudnya?

Usai mengantarkan file itu, Ummi pun segera kembali ke bawah. Saat hendak masuk ke dalam lift, dia melihat seorang anak kecil berhijap bersama ibunya. Dalam hatinya merasa miris. Kenapa saat anaknya memakai hijap, ibunya malah berpakaian minim?

Tapi Ummi tidak ambil pusing, toh itu bukan urusannya. Ketika dia sampai di bawah, pekerjaannya telah menunggunya kembali.

"Ummi, kopi!!"

"Ummi, tolong ambilkan staples di depan!"

"Ummi, fotocopy!"

"Ummi ...!!!"

"Ummi ...."

Hingga menjelang sore, akhirnya pegawai yang menyuruh-nyuruhnya mulai berkurang satu persatu. Dan kini dia kembali ke pantry. Perutnya pun mulai lapar, dan Ummi baru ingat kalau dia lupa makan siang.

Tak sempat membeli makan siang lagi, akhirnya Ummi memutuskan untuk menyeduh mi instan dalam kemasan cup saja. Perutnya benar-benar lapar sekarang.

Tak menunggu lama mie instan itu terhidang, Ummi pun mulai menyuap mie instan itu ke dalam mulutnya.

"Ummi ...."

Dasar! Baru juga makan sesuap sudah ada saja yang memanggil-manggil dia.

"Hmmm ... ?"

Ummi buru-buru meraih air minum meneguknya dan .... tunggu dulu! Bukankah itu seperti suara anak kecil?

"Ummi ...."

Kini Ummi menoleh dan tak sempat dia berpikir jenih, seorang bocah kecil perempuan berhijap kini memeluknya.

****

Bersambung ....

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Kiki Miki

Selebihnya
Istri Keempat Sang Tuan Tanah

Istri Keempat Sang Tuan Tanah

Romantis

5.0

"Yang pertama, kujelaskan di sini. Kita menikah adalah atas dasar kesukarelaan satu sama lain, bukan karena keterpaksaan. Aku tidak suka dianggap memaksa seseorang untuk kunikahi," katanya. Tanpa sadar aku mengangguk seolah aku paham apa yang dia maksud. Padahal jelas- jelas bagiku tetap saja ini keterpaksaan. "Yang kedua, ini bukan pernikahan kontrak seperti yang sering kau tonton pada drama- drama di televisi. Jadi dalam pernikahan ini, jangan harap akan ada perceraian. Jadi jika kau ingin terbebas dari pernikahan ini. Cuma ada dua kemungkinan. Salah satu dari kita mati. Atau jika pun memang harus ada perceraian, itu karena aku yang menginginkannya," katanya dengan nada yang tiba- tiba berubah mengintimidasi. Demi hutang, Lila terpaksa harus rela menjadi istri keempat seorang tuan tanah kaya raya yang dijuluki tuan Thakur. Mampukah dia menjalani pernikahan ini? Follow ig author @ema_ahman Visual gambar by pexels.com Edit Cover by PicsArt"Yang pertama, kujelaskan di sini. Kita menikah adalah atas dasar kesukarelaan satu sama lain, bukan karena keterpaksaan. Aku tidak suka dianggap memaksa seseorang untuk kunikahi," katanya. Tanpa sadar aku mengangguk seolah aku paham apa yang dia maksud. Padahal jelas- jelas bagiku tetap saja ini keterpaksaan. "Yang kedua, ini bukan pernikahan kontrak seperti yang sering kau tonton pada drama- drama di televisi. Jadi dalam pernikahan ini, jangan harap akan ada perceraian. Jadi jika kau ingin terbebas dari pernikahan ini. Cuma ada dua kemungkinan. Salah satu dari kita mati. Atau jika pun memang harus ada perceraian, itu karena aku yang menginginkannya," katanya dengan nada yang tiba- tiba berubah mengintimidasi. Demi hutang, Lila terpaksa harus rela menjadi istri keempat seorang tuan tanah kaya raya yang dijuluki tuan Thakur. Mampukah dia menjalani pernikahan ini?

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku