/0/22801/coverbig.jpg?v=0788e7ea128c3b22850764d608671c30&imageMogr2/format/webp)
"Yang pertama, kujelaskan di sini. Kita menikah adalah atas dasar kesukarelaan satu sama lain, bukan karena keterpaksaan. Aku tidak suka dianggap memaksa seseorang untuk kunikahi," katanya. Tanpa sadar aku mengangguk seolah aku paham apa yang dia maksud. Padahal jelas- jelas bagiku tetap saja ini keterpaksaan. "Yang kedua, ini bukan pernikahan kontrak seperti yang sering kau tonton pada drama- drama di televisi. Jadi dalam pernikahan ini, jangan harap akan ada perceraian. Jadi jika kau ingin terbebas dari pernikahan ini. Cuma ada dua kemungkinan. Salah satu dari kita mati. Atau jika pun memang harus ada perceraian, itu karena aku yang menginginkannya," katanya dengan nada yang tiba- tiba berubah mengintimidasi. Demi hutang, Lila terpaksa harus rela menjadi istri keempat seorang tuan tanah kaya raya yang dijuluki tuan Thakur. Mampukah dia menjalani pernikahan ini? Follow ig author @ema_ahman Visual gambar by pexels.com Edit Cover by PicsArt"Yang pertama, kujelaskan di sini. Kita menikah adalah atas dasar kesukarelaan satu sama lain, bukan karena keterpaksaan. Aku tidak suka dianggap memaksa seseorang untuk kunikahi," katanya. Tanpa sadar aku mengangguk seolah aku paham apa yang dia maksud. Padahal jelas- jelas bagiku tetap saja ini keterpaksaan. "Yang kedua, ini bukan pernikahan kontrak seperti yang sering kau tonton pada drama- drama di televisi. Jadi dalam pernikahan ini, jangan harap akan ada perceraian. Jadi jika kau ingin terbebas dari pernikahan ini. Cuma ada dua kemungkinan. Salah satu dari kita mati. Atau jika pun memang harus ada perceraian, itu karena aku yang menginginkannya," katanya dengan nada yang tiba- tiba berubah mengintimidasi. Demi hutang, Lila terpaksa harus rela menjadi istri keempat seorang tuan tanah kaya raya yang dijuluki tuan Thakur. Mampukah dia menjalani pernikahan ini?
"Maafkan Ibu, Nak. Ibu sebenarnya tak ingin memaksamu melakukan ini. Tapi waktu itu Ibu terpaksa berhutang pada Tuan Thakur agar bisa membayar biaya rumah sakit bapakmu," kata Ibu padaku.
Lila, begitu nama panggilanku menatap hampa pada barang- barang yang dihambur oleh anak buah Tuan Thakur itu. Mereka telah datang ke sini beberapa kali dan telah beberapa kali pula melakukan hal ini setiap kali mereka gagal dalam mengemban misi menagih hutang sebanyak Rp. 178.000.000 pada kami.
Keluarga kami bukan keluarga yang sugih nan kaya. Semenjak aku lahir, yang kuingat ya kami selalu hidup miskin. Terlahir bungsu dari tiga bersaudara, bisa tamat SMA saja adalah suatu keajaiban buatku. Sementara dua orang kakaku yakni Wina dan Aldi masing- masing telah berkeluarga dengan tingkat kesulitan ekonomi yang sama sulitnya dengan kami. Dan mereka takkan mungkin sanggup membantu membayar hutang itu.
"Tuan Thakur itu, belum terlalu tua kok, Nak. Ibu dengar dia adalah lelaki yang gagah dan tampan. Tak mengapa kalau kita mencoba menawarkan dirimu untuk jadi istrinya. Siapa tahu beliau berminat, kau mungkin bisa hidup senang tak kekurangan suatu apa pun," kata Ibu.
"Siapa bilang, Tuan Thakur itu tidak tua? Waktu Lila masih kecil aja dia di ingatan Lila adalah orang dewasa, Bu! Apalagi sekarang, dia pasti sudah tua. Mana yang Lila dengar dia itu tukang kawin, dan ibuuu ... Ibu kok sampai hati mau menikahkan Lila dengan orang itu? Jadi istri keempat pula. Teganya Ibu ..." ratapku.
Kata- kata menawarkan itu terasa menyakiti harga diriku.
"Kita tak punya pilihan lain, Nak. Andai ibu punya pilihan lain, mana mungkin ibu tega menikahkan kamu dengan Tuan Takur? Meski kita sekeluarga banting tulang, tetap tak akan bisa membayar hutang- hutang itu kecuali kita sudah tak keluar biaya hidup lagi," keluh wanita tua bergelar ibu itu.
***
"Lila, bagaimana atuh urusan keluargamu dengan Tuan Thakur?" tanya Yenni, sahabatku.
Siang ini kami sama- sama berjanji mencuci pakaian di sungai. Ini kegiatan mengasyikkan anak gadis di perkampungan seperti kampung kami ini. Sambil mencuci baju, kami bisa juga sambil merumpi.
Aku menggeleng sedih.
"Aku tak tahu, Yen. Hutang ibuku banyak. Mustahil bagi kami bisa membayarnya. Dan masa ibu nawarin ke Tuan Thakur untuk menjadikan aku sebagai pembayar hutang? Ya Allah, Yen, tolong aku. Udah dijadikan pembayar hutang, ibu pula yang nawarin. Bayangkan! Untuk jadi istri keempat pula. Bayangkan sesial apa hidupku coba?" keluhku meluapkan segala uneg- unegku sambil aku membanting baju yang telah kusikat ke bebatuan.
"Ya Tuhan, memangnya istri keempat Tuan Thakur meninggal lagi?" celutuk Yenno.
Itu membuatku kaget.
"Meninggal gimana maksudnya?" tanyaku.
Aku sampai menghentikan kegiatanku mencuci untuk mendapat informasi dari Yenni.
Yenni meletakkan sikat bajunya dan turun dari batu besar tempatnya mencuci. Dia berjalan di air yang tidak terlalu deras itu dan mendekatiku.
"Hati- hati, Lil. Yang aku dengar posisi istri keempat Tuan Thakur itu terkutuk!"
"Apaaaaa?" teriakku kencang. Sadar suaraku terlalu kencang, aku pun langsung menutup mulutku.
"Terkutuk gimana?" tanyaku penasaran.
"Aku pernah mendengar, keluarganya Tuan Thakur itu sangat mementingkan anak laki- laki sebagai penerus keturunan. Tetapi keturunan Tuan Thakur terakhir laki- laki kayaknya hanya akan berhenti di Tuan Thakur ke VI, Tuan Thakur yang berjaya saat ini, calon suamimu," kata Yenni.
Oh my God! Bahkan gela mereka saja ada angka romawinya, batinku.
"Tolong ya, dia bukan calon suamiku," bantahku.
"Ketika itu yang kudengar bapaknya Tuan Thakur yang sekarang, membeli lahan pemakaman di kota sebelah. Lalu di sana dibangun mall, dan kau tahu banyak dari keluarga pemilik kuburan itu nggak terima. Salah satu dari mereka ada yang sampai bersiteru dan terjadilah pertumpahan darah yang menyebabkan ada yang meninggal. Dan aku dengar- dengar, keluarga mereka nggak terima dan bersumpah kalau di keluarga Tuan Thakur itu tidak akan pernah terlahir lagi anak laki- laki," kata Yenni.
"Ya ampun, seram banget ...." kataku. "Tapi hubungannya sama istri keempat apaan?" tanyaku lagi.
"Nah, kan. Habis Tuan Thakur ke VI menikah terbukti dia tak memiliki anak laki- laki. Dari bapaknya dia disuruh menikah lagi. Istri yang kedua malah tak punya keturunan alias mandul. Nah istri ke tiga pernah melahirkan anak laki- laki, tapi masih bayi berapa bulan udah meninggal. Nah istri yang keempat sudah dua kali setelah habis 100 hari pernikahan pasti akan meninggal," bisik Yenni.
"Apaaaa???!!!" teriakku lagi.
"Karena itu aku memperingatkanmu, Lil. Hati- hati," kata Yenni lirih.
Hingga kami pulang dari cucian, kata- kata Yenni selalu menghantuiku. Beberapa kali aku mengatakan pada Ibu untuk membatalkan keinginannya itu. Tapi Ibu tidak menghiraukan. Hingga di suatu malam, ibu datang ke kamarku. Masih menggenggam telepon genggam model lama yang ada senter di atasnya, sang Ibu membangunkanku yang hampir terlelap.
"Lil, Tuan Thakur bersedia membebaskan kita dari hutang. Sebagaimana tawaran ibu semua hutang kita akan lunas kalau kau menikah dengannya."
***
"Jadi kamu Delilah? Dengan panggilan apa biasanya kamu dipanggil?" tanya pria itu.
Aku menatapnya sedikit takut- takut. Pria yang dijuluki Tuan Thakur itu kini ada di hadapanku. Dia sebenarnya tidak setua yang ada di pikiranku. Meskipun memang dia tak semuda sosok pria yang pernah kuingat saat aku masih anak- anak.
"Lila, aku biasa dipanggil Lila, Pak!" jawabku sesopan yang aku bisa.
Tuan Thakur itu sedikit mengernyitkan keningnya mendengar aku memanggilnya dengan panggilan "Pak". Namun dia juga tidak protes.
"Umurmu 19 tahun?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk.
Terlihat dia menghela napas berat.
"Sebenarnya kau masih terlalu muda untuk kunikahi, tapi istri pertamaku menyukaimu," katanya lagi.
Kali ini aku yang mengernyitkan kening.
Hahaha ... apa ini? Jadi sekarang seolah- olah dia yang terpaksa menikahiku. Dengan alasan istri pertamanya menyukaiku. Alasan tidak masuk akal apa itu? Mana ada seorang istri yang menyukai calon istri baru suaminya?
"Jadi, Lila ...." Tuan Thakur menyebut namaku. "Ibumu menawarkan padaku dirimu sebagai pelunas hutang- hutang yang pernah dia pinjam pada kami. Di sini, aku tidak mau menjadi orang jahat. Kau cukup beri tahu aku apakah kau bersedia atau tidak menikah denganku."
Aku terdiam. Kalau ditanya jujur pada hati nuraniku yang paling dalam tentu saja aku tidak bersedia. Hanya orang gila harta saja yang dengan sukarela menikahi seseorang yang memiliki banyak istri.
Aku menatapnya. Entah mengapa aku kali ini ingin menilainya secara pribadi dalam hatiku. Mencari kelayakan apa yang pantas jika ditukar dengan kebersediaanku sebagai istrinya.
Pria yang tidak kutahu siapa nama aslinya itu sepertinya berusia sekitar 40 tahunan, atau mungkin lebih muda sedikit dari itu? Sekilas yang kunilai dia adalah pria kharismatik, tampan, manly, rapi dan dia tidak seperti dibayanganku sebelumnya. Dalam raut wajahnya tidak ada sedikitpun ekspresi genit atau pun nakal seperti halnya pria yang suka gonta- ganti istri.
"Jadi setelah memperhatikanku secara seksama begitu, sudahkah kau memutuskan?" tanyanya membuyarkan semua perhatianku yang terpusat padanya.
Aku merasa wajahku memerah mendapat teguran seperti itu. Astaga, ini memalukan! Apakah aku sedang tersipu?
"Ehmmm!" dehemnya.
Entah apa aku yang salah lihat, aku sepertinya melihat dia sedang berusaha menahan senyumnya melihat kecanggunganku.
"Baiklah, Lila. Mari kita persingkat ini. Kau belum menjawab pertanyaanku. Tapi sebelumnya akan menjelaskan padamu point- point penting tentang pernikahan kita. Jadi dengarkan aku baik- baik, hmmm?"
Aku tanpa sadar mengangguk.
Dia memberiku sejenak jeda sebelum akhirnya dia mulai menjelaskan padaku, point- point apa yang dimaksudnya. Dengan menautkan tangannya di meja, dia menatapku.
"Yang pertama, kujelaskan di sini. Kita menikah adalah atas dasar kesukarelaan satu sama lain, bukan karena keterpaksaan. Aku tidak suka dianggap memaksa seseorang untuk kunikahi," katanya.
Tanpa sadar aku mengangguk seolah aku paham apa yang dia maksud. Padahal jelas- jelas bagiku tetap saja ini keterpaksaan.
"Yang kedua, ini bukan pernikahan kontrak seperti yang sering kau tonton pada drama- drama di televisi. Jadi dalam pernikahan ini, jangan harap akan ada perceraian. Jadi jika kau ingin terbebas dari pernikahan ini. Cuma ada dua kemungkinan. Salah satu dari kita mati. Atau jika pun memang harus ada perceraian, itu karena aku yang menginginkannya," katanya dengan nada yang tiba- tiba berubah mengintimidasi.
Mataku seketika berkunang-kunang mendengarnya.Tidak ada perceraian, tidak ada perceraian. Kata-kata itu menggema di dalam gendang telingaku berulang-ulang.
*bersambung*
Bab 1 Gadis Penebus Hutang
21/02/2025
Bab 2 Pembatalan Kesepakatan
21/02/2025
Bab 3 Memohon
21/02/2025
Bab 4 Hilangnya Akal Sehat
21/02/2025
Bab 5 Hari Pernikahan
21/02/2025
Bab 6 Sisi Lain Dirinya
21/02/2025
Bab 7 Pelampiasan Amarah
21/02/2025
Bab 8 SMS
21/02/2025
Bab 9 Posesif
21/02/2025
Bab 10 Kecurigaan Mas Salman
21/02/2025
Bab 11 Kamar Anita
21/02/2025
Bab 12 Rencana Kuliah
21/02/2025
Bab 13 Harga
21/02/2025
Bab 14 Ospek
21/02/2025
Bab 15 Tebak-tebak Buah Manggis
21/02/2025
Bab 16 Sahabat Baru
21/02/2025
Bab 17 Keterlambatan
21/02/2025
Bab 18 Minta Jatah
21/02/2025
Bab 19 Surat Cinta
21/02/2025
Bab 20 Jatuh Cinta Padamu
21/02/2025
Bab 21 Hutang
08/03/2025
Bab 22 Menguping
08/03/2025
Bab 23 Sayang, Terimakasih ...
09/03/2025
Bab 24 Perlakuan Yang Berbeda
10/03/2025
Bab 25 Bagaimana Kalau Aku Mencintainya
10/03/2025
Bab 26 Panggilan Telepon
11/03/2025
Bab 27 Mandi Bersama
11/03/2025
Bab 28 Mbak Lastri Sakit Apa
12/03/2025
Bab 29 Hamil
12/03/2025
Bab 30 Restoran Seafood
13/03/2025
Bab 31 Apa Mungkin Itu Anakku
13/03/2025
Bab 32 Emosi
14/03/2025
Bab 33 Bukan Anak Biasa
14/03/2025
Bab 34 Awal Mula Beristri Empat
15/03/2025
Bab 35 Kencan Denganku Sekali Saja
15/03/2025
Bab 36 Pelecehan
16/03/2025
Bab 37 Untuk Pertama Kalinya
16/03/2025
Bab 38 Kau Istimewa Bagiku
17/03/2025
Bab 39 Dia Istri Keempat Tuan Thakur
17/03/2025
Bab 40 Ketua Yayasan Ingin Bertemu
18/03/2025
Buku lain oleh Kiki Miki
Selebihnya