"Aku menikahimu hanya karena dorongan sesaat, bukan cinta. Kehadiranmu seperti rantai yang mengikat kebebasanku. Aku ingin fokus pada karirku, bukan drama rumah tangga ini. Pergi dan jangan kembali!" Kalimat itu menghancurkan hidup Asha. Pernikahannya yang berusia tiga tahun dengan Raka, seorang model papan atas, berakhir begitu saja. Raka menganggap Asha sebagai penghalangnya yang sedang menanjak. Dengan hati yang hancur, Asha memulai hidup baru sambil terus bertahan untuk dirinya sendiri. Namun, di tengah kegelapan, muncul sosok Rafael Adiwangsa, seorang duda kaya raya yang juga ayah dari murid taman kanak-kanak Asha. Kehadiran Rafael perlahan-lahan mengubah pandangan Asha tentang kehidupan. Tapi, bagaimana mungkin seorang wanita yang telah kehilangan segalanya kembali membuka hati untuk cinta? Dan bagaimana saat cinta itu datang dari pria yang begitu berbeda dari masa lalunya?
Hujan deras mengguyur kota, membungkusnya dalam suasana sendu yang menggema hingga ke dalam hati Asha. Di dalam apartemen kecilnya yang baru saja disewa, Asha duduk memandangi kertas gugatan cerai yang tergeletak di atas meja. Tinta hitam di atas kertas putih itu terasa seperti luka yang baru saja ditorehkan di hatinya, menganga dan pedih.
Tiga tahun... Hanya tiga tahun, dan segalanya hancur begitu saja.
Bayangan wajah Raka, pria yang pernah ia cintai dengan segenap hatinya, terus membayangi pikirannya. Kata-kata terakhirnya sebelum meninggalkan Asha terngiang-ngiang, menembus lebih tajam daripada hujan yang menampar kaca jendela.
"Aku menikahimu hanya karena dorongan sesaat, bukan karena cinta. Aku bosan dengan semua ini, Asha. Kamu hanya menghalangiku. Kehadiranmu di hidupku seperti rantai yang menahan kebebasanku. Pergi dari hidupku, dan jangan kembali."
Suaranya yang dingin, seperti pisau, terus-menerus mengiris hatinya. Kata-kata itu bukan hanya menghancurkan hatinya, tetapi juga meluluhlantakkan rasa percaya diri yang telah ia bangun dengan susah payah. Asha menelan ludah, mencoba mengusir perasaan sakit itu, tapi semakin ia melawan, kenangan tentang Raka semakin menyeruak.
Ia mengingat bagaimana awalnya Raka datang ke dalam hidupnya, dengan senyum yang penuh pesona dan janji-janji manis yang seolah menggantungkan bintang di langit. Asha, yang saat itu hanyalah seorang guru taman kanak-kanak sederhana, merasa seperti gadis paling beruntung di dunia ketika seorang pria tampan sekaligus model terkenal seperti Raka jatuh cinta padanya.
"Raka, apa kamu yakin mau menikah dengan aku?" tanya Asha dengan ragu di malam ketika Raka melamarnya.
Raka tersenyum, menggenggam tangannya dengan lembut. "Asha, aku nggak pernah seteguh ini mencintai seseorang. Kamu adalah rumah yang aku cari selama ini."
Dan Asha percaya. Ia percaya pada setiap kata yang keluar dari mulut Raka, percaya pada tatapan hangatnya, percaya pada pelukannya yang membuatnya merasa aman. Tapi ternyata, semua itu hanyalah ilusi. Pernikahan mereka ternyata hanyalah perangkap, di mana Asha menjadi pion kecil dalam ambisi besar Raka.
Hari-hari setelah menikah adalah hari-hari penuh perjuangan bagi Asha. Raka, yang sibuk mengejar mimpinya sebagai model papan atas, jarang pulang. Jika pun ia pulang, mereka hanya berbicara sebentar sebelum Raka tenggelam dalam dunianya sendiri.
"Asha, tolong jangan ganggu aku, ya. Aku capek," katanya setiap kali Asha mencoba berbicara tentang harapan atau impiannya untuk masa depan mereka.
Asha diam, menelan kekecewaannya. Ia pikir, jika ia sabar dan terus mendukung Raka, semuanya akan berubah. Tapi ternyata ia salah. Kesenjangan di antara mereka semakin melebar, dan cinta yang dulu ia pikir nyata kini terasa seperti bayangan yang samar.
Puncaknya adalah malam itu, ketika Raka pulang dengan wajah dingin, membawa koper besar.
"Asha, aku ingin kita bercerai," katanya tanpa basa-basi.
Asha menatapnya tak percaya. "Apa maksudmu, Raka? Kenapa tiba-tiba?"
"Bukan tiba-tiba, Asha. Aku sudah memikirkannya sejak lama. Aku hanya... Aku nggak bisa lagi. Kamu bukan orang yang aku butuhkan. Kehadiranmu cuma jadi penghalang untuk karierku. Aku nggak mau hidupku terjebak dalam rutinitas rumah tangga ini."
Asha menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai mengalir. "Penghalang? Aku selalu mendukungmu, Raka. Aku selalu ada untukmu, bahkan saat kamu sibuk dan mengabaikanku. Kenapa kamu tega bilang aku penghalang?"
Raka mendengus, tatapannya penuh kejengkelan. "Karena itu kenyataannya. Aku nggak pernah mencintaimu, Asha. Aku menikahimu hanya karena dorongan sesaat. Dan sekarang aku sadar, aku nggak butuh kamu."
Kalimat itu seperti pukulan telak yang menghantam dada Asha. Napasnya tersengal-sengal, tapi ia menahan diri untuk tidak terjatuh di depan Raka. "Kalau memang itu yang kamu mau..." katanya akhirnya, suaranya bergetar. "Aku akan pergi."
Malam itu, Asha mengemasi barang-barangnya, meninggalkan rumah yang pernah ia huni bersama Raka. Ia tidak menoleh ke belakang, meskipun hatinya terasa seperti hancur berkeping-keping.
Kini, duduk di apartemennya yang kecil, Asha berusaha mengumpulkan kembali serpihan-serpihan hidupnya. Tapi luka itu masih terlalu baru, terlalu menyakitkan. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. Apa aku benar-benar tidak layak dicintai? tanyanya dalam hati.
Hujan di luar semakin deras, seolah turut menangisi kesedihannya. Asha memejamkan mata, membiarkan air mata itu mengalir tanpa henti. Ia tidak tahu bagaimana caranya bangkit, bagaimana caranya melanjutkan hidup. Tapi ia tahu satu hal: ia tidak bisa terus seperti ini.
Di saat itulah, tanpa ia sadari, hidupnya akan berubah. Dan perubahan itu akan datang dari seseorang yang sama sekali tidak ia duga.**Bab 1: Perpisahan yang Membekas**
Hujan deras mengguyur kota, membungkusnya dalam suasana sendu yang menggema hingga ke dalam hati Asha. Di dalam apartemen kecilnya yang baru saja disewa, Asha duduk memandangi kertas gugatan cerai yang tergeletak di atas meja. Tinta hitam di atas kertas putih itu terasa seperti luka yang baru saja ditorehkan di hatinya, menganga dan pedih.
*Tiga tahun... Hanya tiga tahun, dan segalanya hancur begitu saja.*
Bayangan wajah Raka, pria yang pernah ia cintai dengan segenap hatinya, terus membayangi pikirannya. Kata-kata terakhirnya sebelum meninggalkan Asha terngiang-ngiang, menembus lebih tajam daripada hujan yang menampar kaca jendela.
"Aku menikahimu hanya karena dorongan sesaat, bukan karena cinta. Aku bosan dengan semua ini, Asha. Kamu hanya menghalangiku. Kehadiranmu di hidupku seperti rantai yang menahan kebebasanku. Pergi dari hidupku, dan jangan kembali."
Suaranya yang dingin, seperti pisau, terus-menerus mengiris hatinya. Kata-kata itu bukan hanya menghancurkan hatinya, tetapi juga meluluhlantakkan rasa percaya diri yang telah ia bangun dengan susah payah. Asha menelan ludah, mencoba mengusir perasaan sakit itu, tapi semakin ia melawan, kenangan tentang Raka semakin menyeruak.
Ia mengingat bagaimana awalnya Raka datang ke dalam hidupnya, dengan senyum yang penuh pesona dan janji-janji manis yang seolah menggantungkan bintang di langit. Asha, yang saat itu hanyalah seorang guru taman kanak-kanak sederhana, merasa seperti gadis paling beruntung di dunia ketika seorang pria tampan sekaligus model terkenal seperti Raka jatuh cinta padanya.
"Raka, apa kamu yakin mau menikah dengan aku?" tanya Asha dengan ragu di malam ketika Raka melamarnya.
Raka tersenyum, menggenggam tangannya dengan lembut. "Asha, aku nggak pernah seteguh ini mencintai seseorang. Kamu adalah rumah yang aku cari selama ini."
Dan Asha percaya. Ia percaya pada setiap kata yang keluar dari mulut Raka, percaya pada tatapan hangatnya, percaya pada pelukannya yang membuatnya merasa aman. Tapi ternyata, semua itu hanyalah ilusi. Pernikahan mereka ternyata hanyalah perangkap, di mana Asha menjadi pion kecil dalam ambisi besar Raka.
Hari-hari setelah menikah adalah hari-hari penuh perjuangan bagi Asha. Raka, yang sibuk mengejar mimpinya sebagai model papan atas, jarang pulang. Jika pun ia pulang, mereka hanya berbicara sebentar sebelum Raka tenggelam dalam dunianya sendiri.
"Asha, tolong jangan ganggu aku, ya. Aku capek," katanya setiap kali Asha mencoba berbicara tentang harapan atau impiannya untuk masa depan mereka.
Asha diam, menelan kekecewaannya. Ia pikir, jika ia sabar dan terus mendukung Raka, semuanya akan berubah. Tapi ternyata ia salah. Kesenjangan di antara mereka semakin melebar, dan cinta yang dulu ia pikir nyata kini terasa seperti bayangan yang samar.
Puncaknya adalah malam itu, ketika Raka pulang dengan wajah dingin, membawa koper besar.
"Asha, aku ingin kita bercerai," katanya tanpa basa-basi.
Asha menatapnya tak percaya. "Apa maksudmu, Raka? Kenapa tiba-tiba?"
"Bukan tiba-tiba, Asha. Aku sudah memikirkannya sejak lama. Aku hanya... Aku nggak bisa lagi. Kamu bukan orang yang aku butuhkan. Kehadiranmu cuma jadi penghalang untuk karierku. Aku nggak mau hidupku terjebak dalam rutinitas rumah tangga ini."
Asha menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai mengalir. "Penghalang? Aku selalu mendukungmu, Raka. Aku selalu ada untukmu, bahkan saat kamu sibuk dan mengabaikanku. Kenapa kamu tega bilang aku penghalang?"
Raka mendengus, tatapannya penuh kejengkelan. "Karena itu kenyataannya. Aku nggak pernah mencintaimu, Asha. Aku menikahimu hanya karena dorongan sesaat. Dan sekarang aku sadar, aku nggak butuh kamu."
Kalimat itu seperti pukulan telak yang menghantam dada Asha. Napasnya tersengal-sengal, tapi ia menahan diri untuk tidak terjatuh di depan Raka. "Kalau memang itu yang kamu mau..." katanya akhirnya, suaranya bergetar. "Aku akan pergi."
Malam itu, Asha mengemasi barang-barangnya, meninggalkan rumah yang pernah ia huni bersama Raka. Ia tidak menoleh ke belakang, meskipun hatinya terasa seperti hancur berkeping-keping.
Kini, duduk di apartemennya yang kecil, Asha berusaha mengumpulkan kembali serpihan-serpihan hidupnya. Tapi luka itu masih terlalu baru, terlalu menyakitkan. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. *Apa aku benar-benar tidak layak dicintai?* tanyanya dalam hati.
Hujan di luar semakin deras, seolah turut menangisi kesedihannya. Asha memejamkan mata, membiarkan air mata itu mengalir tanpa henti. Ia tidak tahu bagaimana caranya bangkit, bagaimana caranya melanjutkan hidup. Tapi ia tahu satu hal: ia tidak bisa terus seperti ini.
Di saat itulah, tanpa ia sadari, hidupnya akan berubah. Dan perubahan itu akan datang dari seseorang yang sama sekali tidak ia duga.
Buku lain oleh Dedy Yudianto
Selebihnya