/0/25602/coverorgin.jpg?v=f78608e96138309796e790df68c40154&imageMogr2/format/webp)
Hujan turun sejak pagi.
Bukan hujan deras yang mengamuk, tapi hujan diam- diam- rintik pelan yang mengiringi langit kelabu dan suara gemeretak jarum jam tua di dinding.
Aldian duduk di pojok kamarnya, berhadapan dengan tumpukan kardus yang belum sempat ia buka sejak pemakaman tiga minggu lalu.
Salah satu buku, buku harian itu kini tergeletak di lantai. Lembarnya terbuka sendiri oleh hembusan angin dari jendela yang tidak sempat Aldian tutup. Namun matanya tak lagi mampu membaca. Tidak lagi. Sudah cukup.
Ia terduduk di pojok kamar, tepat di antara kardus- kardus kenangan dan sisa masa lalu yang tak akan pernah kembali.
Kedua tangannya menutup wajah.
Lalu ia menangis.
Bukan tangisan pelan yang bisa disembunyikan. Tapi tangisan pecah- suara yang keluar dari kedalaman dada, seperti jeritan yang terlalu lama ditahan.
"Maaf... maaf, Nuna..."
Kalimat itu berulang, patah- patah.
Keluar seperti desakan napas yang pecah oleh sesak.
Suara yang bahkan tak terdengar oleh siapa pun, kecuali dinding- dinding kosong kamarnya.
Ia memeluk lututnya sendiri.
Dada terasa seperti diremas dari dalam. Nafasnya pendek- pendek, seolah udara di ruangan itu menghilang bersama kepergian satu- satunya orang yang masih memanggilnya "Kakak"
"Aku gagal..."
"Aku satu- satunya yang kamu punya... tapi aku malah sibuk jadi kuat."
"Sibuk jadi laki- laki dewasa."
"Sibuk bertahan, sampai lupa kalau kamu juga sedang menahan kerasnya dunia ini ..."
Air matanya jatuh membasahi lantai kayu. Basah. Hening. Luka.
Ia teringat malam- malam ketika Aruna masuk ke kamarnya hanya untuk duduk diam. Tak bicara. Hanya duduk. Kadang tertidur di kursi tanpa alasan.
Ia pikir saat itu, Aruna hanya sedang lelah belajar. Ia pikir, Aruna sudah cukup dewasa untuk tahu cara menjaga diri sendiri.
Ternyata tidak.
Ternyata, adiknya hanya ingin ditemani.
Ditemani dirinya.
Dan ia... terlalu buta untuk melihat itu.
Amanah itu jelas sekali teringat dalam otaknya.
Pesan terakhir dari ayah di rumah sakit
"Jagain adikmu, Di. Dia satu- satunya yang kamu punya sekarang."
Ia mengangguk waktu itu dengan mantap. Berjanji dalam hati.
Tapi apa arti janji jika pada akhirnya ia hanya tinggal sendiri.
Aldian menunduk. Menyeka wajahnya. Tapi air mata tidak bisa berhenti.
Karena ini bukan tentang kehilangan.
Ini tentang kegagalan.
Gagal menjaga.
Gagal mendengar.
Gagal memahami isyarat yang tidak pernah dikatakan dengan kata.
Dan di balik hujan yang mulai reda di luar sana, di dalam kamar itu... Aldian hancur untuk pertama kalinya, bukan karena kehilangan orang lain.
Tapi karena ia kehilangan dirinya sendiri.
Kardus- kardus di hadapannya penuh barang-barang milik adiknya, Aruna- atau biasa ia panggil "Nuna" saat kecil dulu, panggilan manja yang perlahan hilang seiring usia dan kehidupan yang memaksa mereka tumbuh lebih cepat.
Hari ini, ia memutuskan untuk mulai membereskan semuanya.
Tangannya bergerak perlahan, membongkar satu per satu barang yang dibungkus rapi seragam putih-abu yang masih wangi deterjen, album foto kecil, boneka kelinci yang salah satu telinganya robek... dan kemudian, di dasar kardus paling bawah, ada sesuatu yang membuat jantungnya berhenti sepersekian detik.
Sebuah buku kecil bersampul kain abu-abu, dengan benang jahit sedikit terkelupas di pinggirnya.
Bukan buku pelajaran. Bukan agenda sekolah.
Ini... buku harian.
Ia menatap benda itu lama.
Jari- jarinya ragu untuk menyentuh, seolah khawatir akan merusak sesuatu yang rapuh.
Namun rasa ingin tahu, dan dorongan dari luka yang belum mengering, lebih kuat daripada rasa takutnya.
Dengan napas tertahan, ia membuka halaman pertama.
Tanggal 10 Januari
"Aku tidak tahu harus cerita ke siapa. Rasanya aku tenggelam, tapi tetap harus tersenyum agar tak membuat orang lain khawatir. Kalau aku mengeluh, nanti dianggap manja. Kalau aku menangis, nanti dikira lemah. Jadi aku diam. Karena diam lebih aman daripada dipertanyakan."
Lembaran kedua.
Tanggal 17 Januari
"Aku ingin cerita padanya... tapi dia sudah cukup lelah. Dia sudah kehilangan lebih dulu. Aku tak ingin menjadi beban kedua. Biarlah aku simpan semuanya sendiri."
/0/27031/coverorgin.jpg?v=4e298f275dec6303d13105278c295c08&imageMogr2/format/webp)
/0/3467/coverorgin.jpg?v=526864a4342f26f6a9b70352d999bf13&imageMogr2/format/webp)
/0/20602/coverorgin.jpg?v=d75af516ce6fb953d1ae24f7069b49dd&imageMogr2/format/webp)
/0/10727/coverorgin.jpg?v=4eb24ffd02e72b0564aca571fd2e35f1&imageMogr2/format/webp)
/0/27626/coverorgin.jpg?v=c16d6becab58d3bd04c34b5bb7c29c3d&imageMogr2/format/webp)
/0/26864/coverorgin.jpg?v=a9a6971efe5b936b2c7adbf456993ce9&imageMogr2/format/webp)
/0/27430/coverorgin.jpg?v=20251106165336&imageMogr2/format/webp)
/0/19375/coverorgin.jpg?v=bf25a176b00c418376355bc8252f0915&imageMogr2/format/webp)
/0/19514/coverorgin.jpg?v=8129e08c5be673a953fc32d0071ef17d&imageMogr2/format/webp)
/0/6103/coverorgin.jpg?v=1ef3314fd99a3a1b8b32990b9a885025&imageMogr2/format/webp)
/0/20082/coverorgin.jpg?v=5d2809df48ebf1920c3bf5ca6292bba0&imageMogr2/format/webp)
/0/26866/coverorgin.jpg?v=61d48a61e59f46241004869e31b436c0&imageMogr2/format/webp)
/0/20056/coverorgin.jpg?v=2756edc4f12942a260feff6696126824&imageMogr2/format/webp)
/0/18648/coverorgin.jpg?v=f31a92930e18c8e7fa3786c20bae9d2f&imageMogr2/format/webp)
/0/20079/coverorgin.jpg?v=bf2c6d1a33f67ca837dd91dd9c25cda5&imageMogr2/format/webp)
/0/8337/coverorgin.jpg?v=502381ba3eb3a2d44a7b59972f01a83c&imageMogr2/format/webp)
/0/28595/coverorgin.jpg?v=cc370ef253bdb5c2636bd21d34393e13&imageMogr2/format/webp)
/0/21121/coverorgin.jpg?v=bee36f504864146c898793df8909b8a0&imageMogr2/format/webp)