Anna selalu percaya bahwa cinta sejati mampu mengatasi segalanya. Namun, ketika putranya terlahir buta, keyakinannya diuji. Brian, suami yang dia cintai dan dukung, berubah menjadi pria yang ambisius dan tak peduli, tega berselingkuh demi ambisi kariernya. Di tengah pengkhianatan dan kesedihan, Anna bertemu Saga, seorang pewaris muda yang dingin, yang menemukan kehangatan dan makna baru dalam hidupnya setelah mengenal Anna dan putranya. Saat cinta, ambisi, dan pengkhianatan saling bertarung, Anna harus memilih: mempertahankan cinta yang semakin merapuh, atau berani mengejar kebahagiaan baru yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Di sebuah rumah mewah di kawasan elit. Malam hari, suasana rumah terasa dingin dan sepi meskipun penuh dengan kemewahan. Lampu-lampu yang mewah menyala, namun cahaya hangatnya tak mampu mengusir kesunyian yang meliputi rumah itu.
Anna duduk di tepi ranjang, memandang putranya yang sedang tidur dengan damai. Kaffa, dengan mata tertutup rapat, mendengkur pelan. Tangannya yang kecil masih menggenggam erat boneka favoritnya, seolah-olah itu adalah satu-satunya pegangan yang dia miliki di dunia yang gelap.
Anna merasakan hatinya mencubit setiap kali melihat putranya seperti ini-begitu polos, begitu tak berdaya. Dia menghela napas panjang, menghapus air mata yang hampir jatuh. Setiap malamnya berakhir dengan perasaan yang sama, perasaan sepi yang semakin hari semakin dalam.
Dia bangkit pelan, berhati-hati agar tidak membangunkan Kaffa. Pintu kamar ditutupnya dengan lembut, dan dia berjalan ke kamar utama. Ketika dia membuka pintu, pemandangan yang sama menyambutnya-tempat tidur besar itu kosong, tak ada tanda-tanda kehadiran Brian.
Anna menatap jam di dinding. Sudah lewat tengah malam. Brian belum pulang, lagi. Ponselnya di atas meja tak menunjukkan pesan atau panggilan yang terlewat, seakan-akan dia tak perlu tahu di mana suaminya berada.
Anna menghela napas lagi, kali ini lebih berat. Dia merasakan hatinya semakin rapuh, seolah-olah dia mencoba memegang pasir yang terus merosot di antara jari-jarinya. Cinta yang dia rasakan untuk Brian dulu begitu kuat, begitu murni, namun sekarang mulai pudar, tergerus oleh ketidakpedulian dan kesedihan.
Dengan langkah berat, dia menuju dapur, berpikir untuk membuat teh hangat untuk menenangkan pikirannya. Namun, sebelum tangannya mencapai pegangan cangkir, suara pintu depan yang terbuka menghentikannya. Anna berbalik, menatap ke arah ruang tamu dengan harapan yang samar.
Brian muncul, wajahnya tampak lelah namun tidak ada rasa bersalah sedikit pun di matanya. Anna mengamati suaminya dengan cermat, mencoba menemukan jejak cinta yang dulu begitu jelas terlihat di sana, tapi yang dia lihat hanyalah bayangan seorang pria yang semakin asing.
"Brian," panggilnya pelan, suaranya bergetar. "Kamu dari mana saja?"
Brian menatap Anna sekilas sebelum menjawab dengan nada datar, "Ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
Jawaban itu, meskipun terdengar sederhana, menyakitkan hati Anna. Dia tahu lebih baik daripada menerima alasan itu begitu saja, tapi dia tidak punya kekuatan untuk berdebat. Bukan lagi.
Anna menunduk, menggenggam erat pinggiran meja dapur. Dia ingin bertanya lebih jauh, ingin tahu apakah ada wanita lain di balik alasan-alasan yang terlontar itu. Namun, keberaniannya menghilang bersama rasa percaya yang dulu ada.
Tanpa sepatah kata lagi, Brian berbalik dan naik ke lantai atas, meninggalkan Anna sendirian di dapur. Kembali ke keheningan yang mencekam, Anna memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang.
Di lantai atas, Brian memasuki kamar tanpa menghiraukan Anna yang masih di bawah. Dia tahu betapa besar rasa sakit yang mungkin dirasakan Anna, tapi itu tidak lagi menjadi prioritasnya. Pikirannya dipenuhi oleh sosok lain-Rea.
Saat merebahkan diri di tempat tidur, pikirannya berputar tentang ambisi, kekuasaan, dan keinginan yang tak terucapkan. Ia tahu bahwa keputusannya untuk mendekati Rea bukan hanya soal cinta, tapi tentang mencapai puncak kekuasaan yang selalu ia impikan.
Namun, di balik semua itu, bayangan Kaffa sesekali muncul dalam pikirannya, membuatnya gelisah. Brian menghela napas berat, merasa beban yang ia ciptakan sendiri mulai menekannya dari segala arah. Tapi dia terus meyakinkan dirinya sendiri, bahwa semua ini demi masa depan yang lebih baik-untuk dirinya sendiri.
Sementara itu, di bawah, Anna akhirnya duduk di meja makan, menatap secangkir teh yang mulai dingin. Dalam keheningan malam, dia merasakan hatinya semakin hancur. Anna tahu, bahwa cinta yang ia berikan pada Brian mungkin tidak cukup untuk menyelamatkan mereka. Tapi di dalam hatinya, dia tetap berharap, meski hanya secercah, bahwa cinta itu masih bisa menyala kembali.
---
Anna menghabiskan beberapa jam di dapur, menikmati secangkir teh dalam keheningan. Pikiran-pikirannya berputar, mencoba memahami perubahan drastis yang terjadi dalam pernikahannya. Setiap tegukan teh seolah memberinya kekuatan untuk menerima kenyataan yang semakin menyakitkan.
Setelah menenangkan diri, Anna akhirnya bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Tangannya gemetar saat memegang gagang pintu, dan saat ia membukanya, pemandangan yang menyambutnya membuat hatinya semakin teriris.
Brian sedang duduk di tepi ranjang, wajahnya diterangi oleh cahaya layar ponselnya. Namun yang membuat dada Anna sesak adalah senyum lebar yang terlukis di wajah suaminya. Senyum yang sudah lama tidak ia lihat, namun kini ditujukan bukan untuknya.
Anna mendekat dan duduk di sisi ranjang, berharap mendapatkan perhatian dari Brian. Namun, suaminya bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel. Hatinya semakin hancur melihat bagaimana Brian sepenuhnya mengabaikan kehadirannya.
Dengan suara yang berusaha tetap tenang, Anna bertanya, "Siapa yang menghubungimu malam-malam begini, Brian?"
Brian akhirnya mengangkat wajahnya, namun bukan dengan tatapan lembut yang pernah ia kenal. Mata Brian memancarkan ketus, seolah pertanyaan Anna adalah gangguan yang tak diinginkan.
"Urusan pekerjaan," jawabnya singkat, nadanya dingin dan tajam, sebelum kembali fokus pada ponselnya.
Kata-kata itu, sederhana namun menyakitkan, membuat Anna terdiam. Dia tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa "urusan pekerjaan" itu hanyalah alasan. Namun, ia tak lagi memiliki energi untuk berdebat atau menuntut penjelasan lebih lanjut.
Anna hanya bisa menatap suaminya yang semakin hari semakin jauh, sambil merasakan cintanya perlahan-lahan pudar. Di tengah keheningan malam, ia menyadari bahwa senyum di wajah Brian bukan lagi miliknya, dan mungkin tak akan pernah kembali.
Anna bertanya dengan ragu. "Brian, kita perlu bicara."
Brian masih menatap layar ponselnya, tak segera menanggapi. Anna menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan.
"Aku... aku nggak bisa terus begini. Kamu hampir nggak pernah ada di rumah. Dan saat kamu di sini, rasanya seperti kamu bukan orang yang sama lagi."
Brian menghela napas, meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur. Dia menatap Anna sekilas, tatapan yang dingin dan tak bersahabat.
Brian dengan malas, menjawab pertanyaan Anna. "Aku sudah bilang, ini semua karena pekerjaan. Banyak tanggung jawab yang harus aku pikul. Kamu seharusnya ngerti."
Anna melanjutkan protesnya, kapan lagi? ia memiliki kesempatan untuk bicara dengan suaminya. "Ini bukan hanya soal pekerjaan, Brian. Kamu berubah. Sikap kamu terhadap aku, terhadap Kaffa... Anak kita butuh kamu. Tapi kamu malah-"
Brian memotong kalimatnya dengan suara yang lebih tegas, hampir menyerang.
"Kaffa nggak butuh aku. Dia butuh perhatian lebih dari kamu, bukan aku. Dan mungkin... mungkin ini semua adalah sesuatu yang harus kita terima. Kita nggak bisa terus-terusan mengasihani diri sendiri."
Anna terdiam sejenak, hatinya terasa semakin berat. Suara Brian yang dulu selalu menenangkan, kini terdengar dingin dan jauh. "Apa kamu benar-benar berpikir begitu? Bahwa Kaffa adalah sesuatu yang harus kita terima begitu saja? Dia anak kita, Brian. Darah daging kita. Apa kamu sudah lupa?"
Brian mengalihkan pandangannya, seolah tidak ingin menatap Anna langsung. Ada ketegangan di rahangnya, namun dia tetap diam.
"Kaffa butuh kita berdua. Dia butuh rasa cinta dan perhatian dari ayahnya. Kenapa kamu jadi seperti ini? Kenapa kamu berubah, terutama terhadap dia?"
Brian membuka mulut, seolah ingin menjawab, tetapi kata-kata itu tak keluar. Dia menutup matanya sejenak, mengambil napas dalam-dalam, kemudian berbalik dan mengambil ponselnya kembali.
"Sudahlah, Anna. Aku lelah. Jangan bahas ini lagi, ya?"
Anna merasa ada yang patah di dalam dirinya saat mendengar jawaban itu. Dia ingin melanjutkan, ingin memaksa Brian untuk berbicara, tapi tahu bahwa percakapan ini hanya akan berakhir dengan kesia-siaan.
"Brian... tolong, jangan lari dari ini. Kita nggak bisa terus berpura-pura seperti ini."
Brian terdiam lagi, tapi tidak berusaha menjawab. Dalam keheningan itu, Anna merasakan jarak di antara mereka semakin lebar, seolah ada jurang yang semakin tak bisa dijangkau. Akhirnya, Anna menghela napas pelan, menyadari bahwa apapun yang dia katakan malam ini tak akan mengubah apapun.
Anna bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju pintu tanpa menoleh kembali. Sebelum keluar, dia mengucapkan kalimat terakhir.
"Kaffa nggak salah apa-apa, Brian. Dia anak kita... dan dia butuh ayahnya."
Pintu tertutup pelan, meninggalkan Brian sendirian di kamar, dengan bayangan Anna yang masih membekas di pikirannya.
Buku lain oleh Reinz JR
Selebihnya