Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ibu, Di mana, Ayah

Ibu, Di mana, Ayah

Winter_Blue

5.0
Komentar
20
Penayangan
2
Bab

Menjadi ibu tunggal untuk putranya bernama Rion Alexander, yang berusia 6 tahun bukanlah hal yang mudah bagi Edelaine Mariana. Dia menjadi seorang ibu saat usianya baru 18 tahun karena sebuah kecelakaan. Dia mengandung bayi dari teman kekasihnya, hingga menimbulkan kesalah pahaman, yang membuat Darren-kekasihnya-pergi, dan tak pernah terdengar kabarnya kembali. Kabar buruknya, setelah kejadian naas itu, lelaki yang menghamili Eldelaine dibawa paksa keluarganya pindah ke luar negeri, dan Edelaine harus menanggung aib itu seorang diri. Tujuh tahun berlalu, dan Rion selalu bertanya siapa ayahnya. Di dibenci oleh keluarganya sendiri, setelah ayahnya meninggal, Edelaine diusir oleh tantenya karena baginya Edelaine membawa sial, hingga wanita itu memutuskan untuk pergi ke kota mencari pekerjaan. Namuan siapa sangka takdir mengobrak-abrik hidupnya.

Bab 1 Diusir

"Mom."

Wanita yang tengah sibuk di dapur itu menoleh ke ambang pintu. Penampakan putranya dengan tas ransel lusuh menggantung di bahu, dan kepala menunduk adalah hal rutin yang akan dia lihat setiap Sean Alexander, putrinya kembali dari sekolah.

"Ada apa? Seseorang menghinamu lagi?" Jane bertanya tanpa menoleh. Wanita itu sibuk mencuci piring-piring kotor setumpuk di bak cuci piring.

"Aku bukan anak haram, kan?"

Aktivitas Jane terhenti. Wanita itu diam dengan tangan menggantung di udara. Sesekali ia menghela napas, sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya.

"Mommy sudah bilang, jangan dengarkan mereka."

"Tapi Daddy tak pernah pulang."

"Daddymu bekerja sangat jauh."

Sean mendongak, selalu wajah menyedihkan itu yang dia perlihatkan. Untungnya, Jane tak melihat ke belakang atau dia akan menangis sendirian di dalam kamar.

"Kapan Daddy pulang? Ibu guru selalu bertanya, kenapa hanya Mommy yang datang di setiap pertemuan orang tua. Daddy tidak pernah ada, teman-temanku selalu bersama ayahnya, dan aku ... Aku hanya bisa bermimpi bisa membawa Daddy ke sekolah."

Tangan Jane nyaris licin, dan membuat piring-piring itu pecah. Dia berusaha menjaga tubuhnya agar tak merosot. Rasa sakit yang selalu dia pendam, selalu mencuat jika Sean menanyakan di mana ayahnya.

Jane tidak tahu di mana ayah Sean berada. Kejadian pahit di masa lalu, sungguh mengubah hidup Jane. Ayahnya meninggal karena serangan jantung saat mendengar dirinya hamil, dan laki-laki yang menghamilinya menghilang entah ke mana.

Kekasihnya yang dicintainya juga lenyap seperti ditelan bumi. Setelah kejadian dia tertangkap basah tidur dengan sahabat kekasihnya sendiri.

Jane tidak tahu, dia tidak paham bagaimana bisa berakhir tidur dengan lelaki itu. Yang Jane ingat adalah, selepas pesta ulang tahun temannya di senior highschool.Jane merasakan sakit kepala hebat, dan terbangun dalam dekapan sahabat sang pacar dengan keadaan tanpa busana.

"Pergilah makan, Mommy memasak makanan kesukaanmu." Selalu, jawaban itu yang akan Jane katakan pada sang putra.

"Aku hanya ingin Daddy pulang, agar mereka tidak mengataiku anak buangan."

"Kamu bukan anak buangan, kamu anak Mommy. Jangan dengarkan apa kaya mereka. Apa tidak cukup hanya Mommy yang berada di sisimu?"

Jane meratap dalam diam, air matanya tak mampu keluar. Berpuluh tahun dia hidup dalam hinaan, telinganya sudah cukup dia tulikan selama ini dari hujatan orang-orang.

"Maaf, Mom."

"Pergilah makan."

Sean diam, matanya berkaca-kaca. Dia hanyalah anak berusia 10 tahun yang merindukan sosok ayahnya. Sejak kecil, Sean tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah.

"Baik, Mom."

Sean melangkah pelan ke arah kamar, Jane melirik punggung putranya yang menghilang di balik pintu. Dia hanya bisa menunduk lemah.

"Maafkan Mommy, Sean."

***

"Kau akan berangkat ke Chun An?"

Seorang pria tampan, yang tengah memasang dasi di depan cermin, hanya menjawab dengan anggukan pertanyaan sang istri yang duduk di repi ranjang.

"Untuk apa kau ke sana?"

Pertanyaan itu membuat aktivitas lelaki bernama Daniel Wu itu terpaksa berhenti, dan mengalihkan atensinya ke arah wanita cantik bernama Anne Lin.

"Bukankah aku sudah bilang akan menandatangi kontrak pembelian dengan pemilik flat di daerah itu."

"Kenapa di sana? Apa kau ingat mantan kekasihmu?"

Kedua tangan Daniel menggantung di udara, Anne terlalu mengingatkan dia akan masa lalunya yang membuatnya menjadi manusia paling berdosa di muka bumi.

"Hanya sebuah pekerjaan, tidak ada hubungannya."

"Apa kau yakin? Cintamu padanya, apa kau bisa membunuhnya, Niel? Lima tahun kita menikah, dan sampai hari ini kau bahkan tidak mau menyentuhku sama sekali!"

Daniel memilih diam, meladeni Anne hanya akan menimbulkan pertengakaran. Meskipun dia tahu Anne wanita yang baik. Hidup dengannya selama lima tahun, hanyalah sebuah status di atas kertas. Nyatanya mereka tidur di kamar masing-masing, tanpa ada kontak fisik sekalipun, dan selama ini Anne selalu bungkam.

"Pergilah, aku tahu itu menyangkut pekerjaan."

"Maafkan aku, Anne."

Ingin menangis, namun air mata Anne seolah sudah kering. Tak mampu lagi keluar, menjadi boneka yang hanya bisa tersenyum di depan semua orang, tanpa tahu hatinya telah rusak parah.

"Untuk apa? Jika minta maaf berguna. Tidak perlu ada takdir kejam di dunia ini, Niel"

Anne berangsur berdiri, dia berjalan ke arah pintu keluar kamar sang suami. Hatinya cukup sakit merasakan pernikahannya yang tak pernah baik-baik saja. Mereka hanya bersikap mesra di depan orangtua maupun publik.

Meskipun Anne tahu, pernikahan mereka hanya sebatas pernikahan bisnis, seharusnya dia tahu diri. Apalagi tak ada perasaan di hati Daniel untuknya, hati lelaki itu masih tersangkut pada wanita di masa lalunya.

***

Siang itu pintu flat kecil yang Jane tinggali diketuk dengan brutal dari luar.

Jane yang baru pulang berjualan makanan dari pasar, berlari tergopoh membuka pintu flat yang ia sewa.

"Nyonya Jang, ada apa? Aku sudah membayar sewa uang flatku sampai bulan depan, kan?"

"Kemasi barang-barangmu, flat ini sudah bukan milikku."

Jane merasa bingung, dia sudah membayar uang sewanya, bahkan hingga bulan depannya lagi. Namun, seenaknya saja pemiliknya mengusir dirinya dari sini.

"Tapi bagaimana bisa?"

"Tentu bisa, aku menjualnya dengan pengusaha dari kota. Mereka ingin membelinya untuk membangun sebuah mall besar di sini. Lagipula, harga yang mereka tawarkan begitu tinggi. Bagaimana aku bisa menolak. Lagipula, tetap menampungmu di sini, hanya akan mendatangkan kesialan bagiku."

"Apa maksud Anda, Nyonya?"

Wanita itu mendecih sini, menatap penampilan Jane dari atas sampai bawah. "Kau masih bertanya? Kenapa kau tidak berpikir, kau memiliki anak, tapi di mana suamimu? Ya, aku yakin itu hanya anak dari pria tidak jelas, hasil kau menjual tubuhmu selama ini."

Jane meradang, ini tidak sesusai perjanjian, lagipula wanita ini tidak berhak mengungkit hidupnya. Lantas dia akan tinggal di mana setelah ini? Hanya ini flat yang bisa dia sewa dengan harga murah, dan lumayan dekat dengan sekolah Sean.

"Aku bukan wanita murahan seperti yang Anda tuduhkan."

"Omong kosong macam apa ini, cepatlah kemasi barang-barangmu, aku tidak mau tahu."

"Apa tidak bisa dipikirkan lagi, Nyonya?" Jane mengiba.

"Tidak bisa, waktumu hanya sampai besok siang saja, kemari barang-barangmu." Setelah mengatakan itu, pemilik flat dengan tubuh gemuk tersebut berbalik, dan meninggalkan Jane yang masih berdiri di ambang pintu.

Tak lama setelah si nyonya pemilik flat pergi, Sean berlari kecil menghampiri ibunya yang masih di depan pintu. Tatapannya kosong ke depan, bahkan saat Sean memanggilnya, Jane sama sekali tak merespon.

"Mom, Mommy!" Baru setelah Sean sedikit mengeraskan nadanya, Jane baru tersadar dari acara melamunnya.

"Ah, kau sudah pulang?"

"Mom, di luar sana banyak orang memakai baju bagus. Sepertinya orang kaya. Ada apa mereka berada di tempat ini?"

"Pasti orang-orang itu yang membeli flat ini." Jane bermonolog, nadanya kecil hingga nyaris tak terdengar.

"Ayo masuk."

Sean mengangguk, Jane menggeser sedikit tubuhnya dari pintu. Memberi akses putranya untuk masuk ke dalam flat kecil mereka.

"Sean," panggilnya.

Anak itu berhenti melangkah, dan menoleh pada sosok ibunya yang baru saja menutup pintu.

"Ya, Mom."

"Besok kita urus surat kepindahanmu dari sekolah."

Sean mengeryitkan dahinya, dia tidak tahu kenapa ibunya tiba-tiba mengajaknya pindah kembali. Ya, memang tidak sekali ini Sean berpindah sekolah ini sekolah keduanya setelah 2 tahun lalu ibunya mengajaknya pindah. Tidak tahu alasannya apa, otaknya terlalu kecil untuk mengetahui hal-hal berurusan dengan orang dewasa.

Akan tetapi, orang-orang itu mengatakan, jika ibunya kerap diganggu oleh pria hidung belang, dan dimusuhi oleh tetangganya.

"Kenapa harus pindah, Mom?"

"Mommy akan mencari pekerjaan di kota, saudara Mommy ada di sana, semoga mereka mau menampung kita. Kau tidak apa-apa?"

Sean bukanlah anak nakal, dia hanya bisa menurut ke manapun ibunya mengajaknya pergi.

***

Siang itu, setelah mengurus segala surat kepindahan sekolah Sean. Jane berjalan dari flatnya membawa satu koper berisi pakaian miliknya, dan juga anaknya.

Tidak banyak yang dia punya. Hanya baju-baju, dan beberapa alat dapur yang ia jual dengan harga murah untuk pergi ke kota.

Saat keluar, di halaman flat sudah banyak orang-orang berdasi yang berdiri di sana.

Jane sempat menatap kerumunan itu dengan helaan napas berat.

"Betapa kejam mereka, kami hanya orang kecil, kenapa tidak membeli lahan kosong saja, dan membuat kami terusir dari sini," ujarnya.

Jane menggandeng tangan Sean sembari menyeret kopernya berjalan menjauh, sebelum ada sebuah mobil mewah berjalan di sisinya dengan lambat. Seseorang dalam mobil sempat menoleh ke jendela, karena posisi jendela mobilnya terbuka.

Orang itu adalah Daniel, dia sempat melonggokkan kepalanya. Ketika Jane, dan Sean melintas di sisinya.

"Siapa dia? Kenapa tidak asing."

"Ada apa, Presdir?" Alex Liu, asisten Daniel bertanya.

"Tidak, bukan apa-apa," ujarnya.

Di lain pihak, Jane sempat melirik mobil itu, namun tak menyadari seseorang yang tengah berada di dalam sana. Pandangannya lurus ke depan dengan tangan menggandeng Sean.

"Mom, apa kita akan bertemu Daddy?" Sean mendongak, menatap wajah lelah sang ibu.

Apa yang bisa Jane janjikan, dia tak mampu berjanji apa pun saat ini. Hanya bertemu, lantas jika memang pria itu ada di sana, dia ingin apa?

Siapa yang akan percaya dengannya.

"Ya, kita akan bertemu, Daddy." Hanya itu kalimat yang bisa Jane berikan. Hanya saja, meskipun itu hanyalah sebuah dusta, namun mampu mengembangkan senyum di bibir Sean.

"Sungguh?"

Jane terpaksa mengangguk. Langkahnya berhenti hanya untuk berjongkok di depan putranya.

Dia menggenggam lengan putranya. "Sean, apa pun yang terjadi, tetaplah bersama Mommy, meskipun seluruh dunia membenci kita."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Winter_Blue

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku