Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
164
Penayangan
23
Bab

Serunya masa remaja. Ini hanyalah sekumpulan cerita kerandoman dari para remaja di zaman modern yang seringkali bertingkah diluar nalar dan logika. Penasaran? Yuk ikuti ceritanya.

Bab 1 Calista si pembuat pusing

"Kamu harus menjadi mitraku!" Seorang gadis imut bersikeras untuk menjadikan pria di depannya sebagai mitra.

"Maaf?" Pria itu mengerutkan alis.

Gadis imut itu berkacak pinggang seperti bos besar yang tengah mengintimidasi bawahannya. "Huh! Pokoknya ini sudah final. Kamu harus menjadi mitraku!"

" .... "

"Okay. Ini sudah siap kalau begitu." Karena tidak mendapat respon dari pihak lain, sang putri pun dengan seenaknya memutuskan.

Pria itu akhirnya memprotes, "Putri, ini tidak benar."

"Huh! Apa? Kamu mau melawan perintahku?"

" ... saya tidak."

"Nah, ini sudah beres. Saat perayaan ulang tahun ke delapan belas ku nanti, hubungan kita akan diumumkan."

"Putri ...."

"Cukup! Kamu hanya harus mengikuti semua perintahku dan dilarang untuk menolak ataupun menawar! Kalau kau berani ... hehehe." Gadis itu memberikan ancaman kosong sembari terkikik di akhir kata.

"Putri, mohon maafkan saya yang rendah ini. Tetapi hal seperti yang anda inginkan tadi tidak akan pernah terjadi. Anda adalah putri yang agung dan saya adalah knight yang menjaga anda, selamanya akan seperti itu hubungan kita." Pria itu mencoba menjelaskan.

Sang putri kesal mendengar penolakan dari pihak lain, menginjak kakinya beberapa kali, dia pun turun dari meja tempatnya berdiri sejak tadi (karena ingin mensejajarkan tinggi badan keduanya) kemudian berlari keluar ruangan dan menuju bagian belakang istana.

Sang knight dengan cermat mengikuti langkah gadis itu, senyum simpul menghiasi sudut bibirnya. Dia kira-kira mengetahui apa yang akan dilakukan gadis itu selanjutnya, yaitu meminta bantuan pada ibu pemimpin. Hanya saja dia tidak merasa terlalu khawatir, toh, ini bukan pertama kalinya.

Di area belakang istana adalah seluruh taman bunga dengan berbagai jenis dan warna yang berbeda. Taman ini ekslusif untuk ibu pemimpin dan di sanalah 'beliau' menghabiskan hari-hari senjanya.

Gadis imut itu terus berlarian di jalan marmer yang melintasi berbagai petak bunga, sebelum berhenti di pusat taman di mana terletak sebuah pondok kayu.

Menundukkan kepala dan menurunkan tubuh bagian atas sebagai salam resmi, gadis imut menyapa sang ibu pemimpin yang kini tengah fokus melukis. "Abel menyapa Oma, semoga Oma selalu sehat dan panjang umur!"

"Hmm, duduklah sebentar, nak. Dan nikmati teh nya." jawab ibu pemimpin dengan suara tenang tak berfluktuasi.

Sang putri imut bernama Abel, segera meluruskan badannya, menaiki pondok dan duduk dengan postur yang anggun. Ada ekspresi lembut di wajahnya. Sangat berbeda dengan sikap beberapa saat yang lalu, mencoba untuk mengintimidasi ksatria nya.

Seorang pelayan pribadi yang menemani ibu pemimpin segera melayani Abel, menuangkan teh beraroma bunga ke dalam cangkir khusus dengan gerakan cekatan, lalu kembali ke posisi semula. Suasana kembali tenang dengan hanya suara desau angin meniup tanaman dan suara goresan kuas yang menari di permukaan kertas kanvas.

Beberapa waktu berlalu.

Abel telah menghabiskan secangkir teh bunga dengan tenang sembari ikut fokus mengamati hasil karya ibu pemimpin.

"Jadi, apa yang membuat cucu kesayanganku ini datang ke sini, hmm?" tanya ibu pemimpin setelah menyelesaikan pekerjaannya, membasuh tangan dan duduk di hadapan Abel sembari meminum teh nya.

"Itu Oma ...." Abel ingin segera mengadu, tetapi berhenti ketika oma nya memberi isyarat untuknya diam.

"Yang rendah ini menyapa Ibu pemimpin. Semoga anda sehat selalu." ucap knight yang sedari tadi mengikuti Abel, memberikan penghormatan seorang ksatria.

"Bangunlah Xai, kemari." Ibu pemimpin memberi isyarat agar Xai bangun dan duduk di pondok bersama mereka.

"Terima kasih Ibu pemimpin." Xai meluruskan postur tubuhnya dan berdiri di belakang Abel, menolak untuk duduk bersama mereka. Dia menganggap perilaku itu tidak pantas dan menyalahi aturan hirarki.

Abel mendengus dan mulai mengeluh pada oma nya. "Oma, lihat dia, benar-benar berani tidak mematuhi perintahku sekarang dan bahkan berani membantah dan berargumen denganku! Oma, beri dia pelajaran."

"Hmm? Apalagi sekarang?" Sang oma hanya menanggapi dengan sembarang, dia memahami betul temperamen gadis nakal itu dan tidak akan dengan mudah mempercayai omong kosongnya. Apalagi jika hal itu menyangkut knight pelindungnya.

"Oma, dia ... dia menolak untuk menjadi mitraku." Abel akhirnya tidak berani berbohong setelah mendapatkan tatapan tegas dari sang oma. Menjawab dengan sedikit terbata dan menundukkan kepala di akhir kata.

Ibu pemimpin menatap geli atas perilaku cucu nya itu, mengulurkan tangan untuk mengetuk dahi Abel, ibu pemimpin pun memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan.

"Abel, tiba-tiba oma ingat suatu kisah, apakah kamu mau mendengarnya?"

Abel awalnya cemberut karena mendapat ketukan di dahi, tetapi tatapannya segera bersinar terang ketika mendengar bahwa sang oma hendak menceritakan kisah baru untuknya. Itu adalah hal favorit Abel ketika bersama oma, yaitu mendengar berbagai kisah sehingga memperluas pengetahuannya.

Dia mengusap dahinya sembari mengangguk semangat dan menjawab, "Ya, Oma. Ayo bercerita dan abel akan siap mendengarnya!"

"Ehhem, baiklah. Kisah ini bermula ketika ...."

***

Sepasang kaki jenjang berbalut skinny jeans serta sepatu kets warna putih sebagai alas, tengah terayun menyusuri jalanan yang kebetulan tengah lengang di pagi hari ini.

Tangannya sesekali bergerak meliuk seolah tengah melakukan sebuah tarian, diiringi rambut panjangnya yang terkuncir satu terombang-ambing sesuai gerakannya itu. Menambah kesan enerjik penuh vitalitas dan juga trendy yang memanjakan mata bagi siapapun yang melihatnya.

Ada sepasang earphone di telinganya yang mengeluarkan suara, yah, ada lagu yang terdengar dari sana.

"Sambala, bala balado sambalado, terasa huh hah, terasa pedaaas!" teriak gadis itu dengan nada agak tinggi. Kelihatannya itu seperti sebuah lirik lagu, tetapi tidak tau pasti itu lagu milik siapa dan apa judul lagunya, seandainya si pemilik lagu mendengarnya bernyanyi barusan, mungkin gadis itu akan dilempari komentar pedas hingga membuatnya menangis.

Nyanyiannya terus berlanjut hingga beberapa saat, dia sama sekali tidak menyadari bahwa segala tingkahnya itu tengah menjadi sorotan publik di area jalanan sekitar. Banyak orang memandang aneh ke arahnya.

"Calista!" teriak seseorang dari arah belakangnya. Yang mungkin adalah temannya? Entahlah.

Yah, gadis itu adalah Calista. Seorang remaja yang baru saja menginjak usia enam belas tahun, tepat satu minggu yang lalu. Dia memiliki paras yang imut lengkap dengan mata bulat layaknya bola ping-pong, hidungnya yang tidak terlalu mancung tetapi juga tidak pesek, menjadi pelengkap tersendiri pada wajah itu.

Bibir tipis berwarna pink alami yang selalu tidak pernah berhenti mengunyah makanan, tetapi herannya dia tidak memiliki berat badan berlebih. Justru bisa dibilang bahwa tubuhnya tergolong kurus, entah kemana perginya semua asupan makanan yang selalu dia konsumsi selama ini.

Calista adalah seorang gadis yang memiliki hobi membaca, melamun, menghayal yang iya-iya, masa bodoh dengan sekitar, memiliki jiwa kekepoan yang tinggi, dan juga selalu senang membuat orang di sekitarnya naik darah. Tetapi ada satu kelebihan yang juga termasuk kelemahannya yaitu dia adalah type orang yang terlalu berhati lembut.

Contohnya saat ini.

"Calista! Tunggu woi ... hah-hah, habis napas gue!" gerutu seorang remaja laki-laki sembari mencekal lengan Calista erat. Napasnya tersengal dan pakaiannya telah basah akibat peluh dan kecapaian berlari sedari tadi.

Calista menoleh ke arahnya ketika merasakan cekalan di lengannya, lalu menatap remaja itu dengan tatapan muram, serta melontarkan sebuah pertanyaan simbolis, "Kamu ngapain di sini, Diaz?"

Remaja laki-laki bernama Diaz itu, seketika mendelik tajam dan menjawab dengan ketus, "Mau nyari keong sama bintang laut!"

"Oh, begitu? Apakah sudah dapat keong sama bintang lautnya?" tanya Calista dengan tampang polosnya.

Diaz menggeram kesal dan pada akhirnya menepuk dahinya sendiri, sembari mengumpat dan mengeluh, "Haduh, bodoh! Ngapain sih kamu ngomong sama ini cewek, Diaz. Mana nyambung dia diajak ngobrol."

"Kamu lagi sakit ya?" Calista kembali bertanya sembari menatap penuh iba kepada temannya itu. Tanpa sebab pasti tatapannya mulai mengganggu Diaz.

Diaz mendengus dan menyugar rambut depannya, berlagak sok keren dia menjawab, "Huh! Sakit apaan? Nggak kok aku sehat-sehat saja."

"Oh, baguslah kalau begitu. Soalnya, aku pernah ngedenger omongannya Mamang tukang cilok waktu itu, kalau ada orang yang ngomong sendiri, berarti orang itu sakit." Calista mengangguk-anggukan kepalanya.

Lalu menggeleng dengan cepat seolah tengah menolak mempercayai sesuatu, sembari berucap, "Ternyata Mamang itu bicaranya hoax semua. Nyatanya kamu nggak sakit dan sehat-sehat saja. Hmm, besok aku harus kembali mengkonfirmasi kepadanya dan Mencegah agar berita hoax itu tidak tersebar."

"Hah?" Diaz melongo. Mulai bertanya-tanya pada diri sendiri, 'apa maksudnya? Siapa yang ngomong sendiri? Bukannya sedari tadi dia berbicara dengannya?

Calista mengabaikan temannya itu yang melongo di tempat, lalu berjalan meninggalkannya untuk menghampiri salah satu penjual mie lidi yang tidak jauh dari tempatnya berhenti tadi.

"Bang mie nya lima ribu," ucap Calista sembari menyodorkan uang sepuluh ribuan satu lembar.

"Siap mbak, mau rasa pedes apa asin?" tanya penjualnya sembari memasukkan mie lidi ke bungkus plastik.

"Hmm, aku maunya mie lidi, Pak. Nggak bumbunya," jawab Calista dengan mengerutkan alis. Yah, dia selalu seperti itu.

Penjual itu tersenyum dan kembali bertanya dengan sabar. "Iya, ini mie nya mau dikasih rasa apa, Mbak nya?"

"Yang dikasih bumbu itu mie nya, Pak. Bukan akunya." Calista berucap sewot, dan menghentakkan kaki kesal.

Pak penjual itupun menggaruk kepalanya dan meringis agak bingung. Bertanya-tanya apakah dia salah bicara atau apa? Saat situasi mencapai jalan buntu, akhirnya ada seseorang yang datang menyelamatkannya?

"Heh! Saklar konslet. Main ninggalin gue aja lo! Capek tau gue ngejarnya!" gerutu Diaz sedikit berteriak kesal.

"Diaz apaan sih? Mana ada di sini saklar konslet? Bisa bahaya tau menyebabkan kebakaran dan juga hmm ... menyebabkan apalagi ya? Ck, aku lupa." Calista mengetuk dagunya beberapa kali lalu menggeleng.

"Masya ALLAH. Tabahkanlah hatiku ini dalam menghadapi saklar konslet ini," ujar Diaz.

"Aamiin." Bapak penjual dan bahkan Calista mengaminkan doa itu bersamaan.

Diaz mengelus dadanya sembari beristighfar, mencoba untuk terus bersabar.

Meskipun sudah terbiasa dengan adanya mis-comunication di antara mereka, dia merasa tetap jengkel di dalam hati. Tetapi anehnya, dia tidak pernah membenci untuk bergaul bersama Calista.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku