Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Putriku Bukan Anak Pembawa Sial

Putriku Bukan Anak Pembawa Sial

putri rahmania

5.0
Komentar
860
Penayangan
20
Bab

Namaku Rani aku adalah ibu sekaligus ayah untuk putri tunggalku yang bernama Luna. Luna tidak seperti anak pada umumnya. Dia memiliki gangguan pada pendengarannya sejak bayi. Semua itu terjadi karena aku sedang depresi karena perilaku kasar suamiku. Hingga membuatku nekat melakukan aborsi kepada anak yang aku kandung. Namun, Allah berkehendak lain janin yang ada di dalam kandunganku selamat dan kini menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Mas Niko suamiku yang kasar itu meninggalkanku entah kemana. Sejak Luna lahir kedunia dia tidak pernah melihat sosok ayahnya. Kini setelah Mas Niko pergi aku harus berjuang untuk kehidupanku dan Luna di masa depan. Karena aku tidak ingin apa yang aku alami saat ini dirasakan juga oleh putri kecilku.

Bab 1 Satu

"Luna!" teriakku pada putri kecilku yang berumur 5 tahun.

Luna adalah putri pertama ku, sejak lahir Luna memiliki cacat pada telinga sebelah kanannya. Itulah yang membuat pendengaran Luna terganggu. Semua itu karena kesalahanku, saat itu aku yang sedang mengandung Luna berusaha untuk menggugurkannya menggunakan obat-obatan, jamu bahkan memijatnya. Semua itu kulakukan karena aku depresi akan sikap kasar suamiku.

"Luna!" aku kembali berteriak sambil berjalan ke arah Luna yang sedang bermain di halaman depan.

"Eh. Ibu," ucap Luna polos sambil tersenyum ke arahku yang sedang berdiri di hadapannya.

"Mainnya sudah dulu ya. Nak, sekarang Luna tidur siang dulu!"perintahku sambil duduk di hadapan Luna.

"Apa. Bu," tanya Luna sambil mendekatkan telinganya.

"Sekarang waktunya tidur siang, mainnya dilanjutkan nanti sore ya," jawabku sambil berteriak.

"Iya. Bu," jawab Luna sambil tersenyum.

Saat Luna tertidur pulas di kamarnya aku diam-diam masuk dan duduk di sampingnya. Siang itu kupandangi wajah polos putriku yang masih berusia 5 tahun ini. Kini hanya penyesalan yang selalu aku rasakan setiap melihat wajah putri kecilku.

"Maafkan Ibu. Nak, seandainya dulu Ibu tidak berusaha untuk menggugurkan mu ini semua tidak akan terjadi," batinku sambil meneteskan air mata.

Namaku Rani, aku adalah Ibu sekaligus ayah untuk Luna putri semata wayangku. 5 tahun yang lalu tepat saat aku melahirkan Luna suamiku meninggalkanku entah kemana. Bahkan sampai saat ini hubungan kami seolah menggantung tanpa kejelasan.

Sekilas aku mengingat kejadian 5 tahun lalu saat itu aku baru saja melahirkan Luna. Mas Niko yang harusnya bisa menjadi ayah dan suami yang baik untuk kami justru meninggalkan kami tanpa alasan yang jelas. Hatiku saat itu benar-benar hancur, kelahiran seorang anak yang seharusnya menjadi kebahagiaan justru menjadi sebuah duka.

"Kamu mau kemana. Mas," tanyaku kepada Mas Niko yang sedang mengemasi pakaiannya.

"Aku mau pergi dari sini, aku capek hidup dengan perempuan miskin dan pembawa sial sepertimu," jawab Niko sambil terus memasukkan pakaiannya ke dalam tas koper.

"Lalu bagaimana dengan aku dan Luna. Mas," tanyaku penasaran.

"Aku tidak peduli, kamu dan anak cacat itu hanya bisa membuat ku malu saja!" bentak Mas Niko sambil menoleh ke arahku.

"Aku tahu ini semua salahku, tapi aku mohon jangan tinggalkan kami. Mas," jawabku sambil memegang tangan suamiku yang berjalan ke arah pintu.

"Ah!" teriak suamiku sambil menarik paksa tangannya hingga aku terjatuh di lantai.

Sejak malam itu aku tidak pernah melihat ataupun mendengar kabar dari Mas Niko. Aku yang memang seorang anak yatim piatu berusaha merawat merawat Luna seorang diri. Semua aku lakukan demi menyambung hidup kami berdua, Luna yang saat itu masih berusia satu bulan sudah harus aku bawa bekerja sebagai seorang buruh cuci dari rumah ke rumah.

"Ibu menangis?" tanya Luna sambil mengusap air mataku hingga mengejutkanku.

"Tidak. Nak," jawab ku sambil menggelengkan kepala agar Luna mengerti walau tidak mendengar.

"Ibu, aku lapar," ucap Luna sambil memegangi perutnya.

"Kamu mandi dulu ya," jawabku sambil menggandeng tangannya menuju ke kamar mandi.

Setelah selesai memandikan Luna akupun langsung berjalan ke dapur. Luna yang saat itu sudah rapi berjalan keluar rumah untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Tidak berapa lama aku pun menghampirinya sambil membawa sepiring nasi dan telur dadar untuk Luna.

"Luna!" teriakku sambil duduk di lantai yang tidak jauh dari Luna.

"Luna suka telur dadar ya, hampir tiap hari makannya telur dadar terus," ucap salah satu ibu-ibu yang ada disitu.

"Iya. Bu, alhamdulillah Luna tidak pernah pilih-pilih makanan selama ini," jawabku sambil menyuapi Luna.

Gajiku sebagai seorang tukang cuci rumahan memang tidak besar, jadi hanya cukup untuk membeli makanan untuk hari itu dan besok. Untungnya Luna tidak pernah mengeluh ataupun protes dengan apa yang aku berikan setiap harinya. Buat kami yang penting bisa makan saja itu sudah cukup.

"Eh. Mbak Rani, kabar Mas Niko gimana sudah 5 tahun pergi tapi kok gak pulang-pulang, apa nggak kangen sama Luna," tiba-tiba seorang wanita menanyakan Mas Niko hingga membuatku terkejut.

"Luna kita makan di dalam ya. Nak, tadi Ibu lupa belum matikan kompor, kami permisi dulu. Bu," jawabku sambil menggandeng Luna masuk ke dalam rumah.

Aku menghindari pertanyaan mereka bukan karena aku sakit hati ataupun tersinggung kepada mereka. Namun, aku hanya tidak mau Luna bertanya tentang ayahnya. Karena pertanyaan itu yang akan membuatku terluka nantinya.

"Ibu kenapa kita masuk ke dalam rumah, Luna masih ingin main sama teman-teman," tanya Luna yang ternyata dia tidak mendengar ucapanku tadi.

"Luna main di dalam rumah sama Ibu saja ya. Nak," jawabku sambil mendekat ke telinganya.

Luna hanya mengangguk tanda setuju, aku bersyukur Luna tidak mendengar ucapan ibu-ibu tadi. Di kampung itu aku termasuk orang lama, karena sejak menikah dengan Mas Niko aku memutuskan untuk menempati rumah peninggalan almarhum orang tuaku. Jadi disaat Mas Niko tidak memberi nafkah pun aku tidak terlalu bingung dengan sewa rumah.

***

Hingga suatu pagi setelah Luna selesai mandi dan akupun mulai bersiap berangkat ke rumah salah satu tetangga untuk bekerja. Luna tiba-tiba menolak untuk ikut dengan alasan hari ini dia ingin bermain dengan salah satu temannya yang ada di samping rumah. Karena hari itu pekerjaanku tidak terlalu banyak dan jaraknya juga tidak terlalu jauh aku pun mengizinkannya dan mengantar Luna ke tetangga samping rumah sekalian menitipkannya.

"Permisi, Bu saya mau mengantar Luna sekalian mau menitipkannya disini sebentar,katanya dia mau main sama Siska dan yang lain," ucapku kepada sang pemilik rumah.

"Oh iya. Mbak Rani, Luna masuk sini. Nak," jawab sang pemilik rumah dengan sabar.

"Luna tidak boleh nakal ya, jangan bertengkar dan tunggu Ibu disini sampai Ibu pulang kerja," ucapku sambil sedikit berteriak di telinga Luna.

Setelah mengantar Luna aku pun langsung berangkat ke tempat kerjaku hari ini. Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan hari ini aku pun bergegas pulang. Namun, alangkah terkejutnya aku saat sang pemilik rumah mengatakan jika Luna sudah pulang ke rumah sejak tadi.

"Luna," ucapku saat melihatnya duduk sambil menangis di depan pintu.

"Ibu!" teriak Luna sambil berlari memelukku.

"Kamu kenapa menangis disini, bukannya tadi Luna main sama teman-teman," tanyaku penasaran.

"Ibu kenapa mereka jahat kepada Luna, apa karena Luna tidak punya Ayah," tanyanya sambil menangis.

"Ya allah, apa yang terjadi dengan Luna, kenapa dia bisa berpikiran seperti itu," batinku sambil memeluknya dengan erat.

"Ibu apa benar Luna adalah anak haram, anak haram itu apa sih. Bu?" tanya Luna sambil terus menangis di pelukanku.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh putri rahmania

Selebihnya
Tumbal Rumah Bersalin

Tumbal Rumah Bersalin

Horor

5.0

Warni adalah seorang bidan yang terkenal baik dan ramah di Desa Tlogo Ungu. Akibat keramahannya itu banyak wanita hamil yang merasa nyaman memeriksakan kehamilannya di rumah bersalin yang dibuka Warni 2 tahun yang lalu. Namun, siapa sangka di balik keramahan dan kebaikan yang diberikan Warni tersimpan sebuah rahasia yang tidak diketahui orang lain. Warni yang dulunya hanya putri seorang petani miskin di desa Tlogo Ungu kerap mendapat hinaan dari warga desa. Bahkan sampai dia berhasil menjadi seorang bidan pun warga desa masih tetap menganggapnya rendah, serta menolak memeriksakan kehamilannya kepada Warni. Mereka rela berjalan jauh ke kota demi memeriksakan kandungannya, bahkan tak jarang Warga desa menghadang pasien dari luar desa yang ingin ke tempat prakteknya. Warni yang sakit hati, serta khawatir jika usaha yang di bangunnya bangkrut memutuskan untuk melakukan pesugihan siluman ular putih dengan bantuan temannya yang bernama Romlah. Siluman ular putih yang kerap dipanggil Nyai Sukma bersedia membantu Warni dalam mendapatkan pundi-pundi kekayaan. Namun, Nyi Sukma meminta Warni untuk menyiapkan satu wanita yang melahirkan pada kamis malam jumat kliwon, serta untuk tumbal pertama Warni harus bersedia menyerahkan bayi yang baru saja dilahirkannya kepada Nyai Sukma sebagai pembukaan. Bersediakah Warni menyerahkan anak pertamanya sebagai tumbal, lalu apa saja yang dialami Warni setelah menyetujui perjanjiannya dengan Siluman ular putih tersebut?

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku