Menikah dengan bahagia adalah impian semua gadis. Tidak terkecuali ARINI ALISTER. Dia menerima perjodohan dengan lelaki yang tidak pernah dilihatnya, dari orang tuanya, dengan harapan pernikahan yang bahagia. Namun, pernikahan dengan keluarga NERO yang dilaluinya tidak seperti impianya. Lelaki yang dijodohkan dengannya telah pergi entah ke mana, dan demi menutupi rasa malu, anak pertama keluarga NERO harus menggantikan adiknya untuk menikahi ARINI. Bagaimana ARINI Menjalani pernikahan yang tidak sesuai mimpinya? Akankah lelaki yang menggantikan calon suaminya akan mencintainya atau hanya menutupi rasa malu saja? Lantas siapa Marissa? Wanita yang seringkali lelaki penggantin pengganti itu menyebut namanya dalam tidur?
Seorang wanita berusia sekitar 46 tahun, tapi masih begitu cantik, dengan elegan dan anggun berjalan menuju kamar rias pengantin. Wanita itu membuka pintu dan masuk menghampiri seorang gadis cantik yang saat ini sudah menggunakan gaun kebaya pengantin. Gaun kebaya pengantin berwarna putih dengan payet bling-bling kristal membuat keanggunan gadis cantik itu semakin terpancar.
"Arini, apa kamu sudah siap, Nak?" tanya Laudia Alister kepada putrinya.
"Arini sudah siap, Bunda."
"Nak, maafkan Bunda. Seharusnya Bunda tidak melakukan ini padamu. Namun, semua ini sudah diatur oleh kakekmu semenjak kau masih kecil," kata wanita itu sambil mengelus pipi anaknya.
Sebenarnya Laudia sangat tidak menghendaki pernikahan itu. Hanya saja, pernikahan itu sudah diatur oleh keluarga mereka dengan keluarga Nero. Kakek Arini berpesan kepada anaknya sesaat sebelum meninggal bahwa ketika Arini sudah berusia sembilan belas tahun, dia harus menikah dengan salah satu putra dari keluarga Nero.
"Bunda, apa yang Bunda pikirkan?" tanya Arini yang melihat ibunya melamun sesaat.
"Ah ... tidak apa-apa, Bunda hanya berpikir, apakah kamu bahagia dengan pernikahan ini?"
"Bunda," jawab Arini menghela napas. "Jujur saja, meskipun Arini tidak pernah tahu dengan siapa akan dinikahkan, Arini sungguh bahagia. Sebab, Arini akan melaksanakan pesan terahir dari almarhum kakek."
Melihat anaknya bahagia, segala kerisauan hati Laudia menghilang. Terlebih lagi, putri satu-satunya itu tidak menolak perjodohan, walau Arini tidak pernah melihat wajah calon suaminya.
Tak lama kemudian, tiba-tiba pintu ruang rias pengantin yang dipenuhi kebahagian antara ibu dan anak itu kembali terbuka. Tampak seorang lelaki paruh baya menghampiri keduanya yang sedikit terkejut.
"Kamu sudah siap, Arini?"
"Arini sudah siap, Ayah."
"Baiklah, mari ayah antar kamu ke tempat ijab kabul." Adrian mulai melangkah bersama Arini keluar dari ruang rias. Semua mata yang melihat kecantikan Arini tampak kagum dan terpesona dengan keanggunan gadis berusia sembilan belas tahun itu.
"Wah ... menantu keluarga Nero begitu cantik, ya? Tidak salah kalau Marvin Nero memilihnya," ucap salah satu orang yang hadir di acara itu
Adrian Alister menuntun putrinya hingga sampai ke hadapan penghulu dan meminta Arini duduk sambil menunggu mempelai pria. Perasaan Arini jadi tak menentu saat ia menanti pasangan yang akan menjadi teman hidupnya kelak.
Beberapa saat telah berlalu, tapi mempelai pria tidak kunjung datang. Lina Nero lalu mendekati suami dan anak pertamanya.
"Abah, Dave, bagaimana ini? Ini sudah hampir satu jam, tapi kenapa Marvin belum datang juga?"
"Sebentar, Umi. Dave akan coba hubungi Marvin dulu," kata Dave mengeluarkan ponselnya, lalu mencoba menghubungi Marvin. Namun, tidak ada jawaban. Marvin bahkan mematikan ponselnya.
"Bagaimana, Dave? Ada kabar tentang Marvin?" tanya Aldebarn Nero kepada anak pertamanya.
"Belum."
Lama menunggu, penghulu mulai jenuh. "Bagaimana Pak Aldebarn? Apakah pernikahan ini akan dilanjutkan atau bagaimana? Sudah hampir sejam kita menunggu," keluh pak penghulu itu mendengkus. "Tampaknya mempelai pria tidak akan datang. Masih ada pasangan lain yang harus saya nikahkan di tempat lain."
"Maaf, Pak. Apa bisa kita menunggu sebentar lagi? Kami sedang berusaha menghubungi Marvin," sergah Dave saat sang ayah seperti sulit menjawab pertanyaan dari penghulu.
Arini seketika merasa gelisah. Kenapa calon suaminya belum juga muncul? Padahal ini sudah hampir sejam mereka menunggu. Dalam keresahan hati Arini, tiba-tiba mbok Ijah pembantu rumah tangga di keluarga Nero muncul sambil berlari menghampiri Aldebarn dan istrinya dengan tergesa-gesa. Raut wajah wanita paruh baya terlihat begitu panik.
"Ada apa, Bi?" tanya wanita itu seraya meletakkan tangan di pundak mbok Ijah.
"Ah, anu, anu, Nyonya. Ini ... bibi menemukan ini di kamar Den Marvin."
Mbok Ijah lalu memberikan selembar kertas kepada majikanya itu. Dave meraih kertas tersebut dari tangan mbok Ijah dan membacanya.
Abah, Umi, dan Abang, maafkan Marvin. Bukanya Marvin ingin menjadi anak durhaka karena telah melanggar amanah kakek, tapi Marvin tidak ingin menikah dengan Arini. Marvin tidak mencintainya. Marvin juga tidak mengenalnya. Marvin hanya ingin menikahi orang yang Marvin cintai, yaitu Dailyn Arabella kekasih Marvin. Sekali lagi maafkan Marvin. Marvin pergi untuk mengejar Dailyn ke New York. Maaf.
Setelah membaca surat itu, kedua mata Lina terbuka lebar. Dia bahkan hampir saja terjatuh karena tidak kuasa menahan kakinya yang gemetar. Untung saja suaminya segera menahan tubuhnya. Suasana di acara itu pun seketika diselimuti ketegangan. Semua yang menghadiri ijab kabul merasa heran saat melihat keadaan Lina. Mereka dapat membaca jika ada sesuatu yang tidak baik hingga kedua orang tua Arini datang menghampiri mereka.
Lain dengan pak penghulu yang sudah jenuh. Dia kembali berkata, "Bagaimana? Kenapa pengantin prianya belum juga muncul?"
"Maaf, Pak. Namun, pengantin prianya tidak akan muncul. Dia sudah pergi ke New York pagi tadi," sahut Dave, membuat semua yang ada di ruangan itu sontak terkejut. Tentu saja tidak ada yang menyangka jika pernikahan mewah itu akan jadi seperti sekarang, ditinggal oleh sang mempelai pria.
Sementara itu, Arini merasa begitu hancur saat mendengar apa yang dikatakan Dave. Pernikahan yang dia nantikan dengan bahagia ternyata malah berakhir menyedihkan. Seluruh tubuhnya diserang rasa yang tidak menentu. Bibirnya yang mungil hendak mengeluarkan kata. Namun, dia tak kuasa untuk bicara. Hanya butiran bening yang jatuh mengalir ke pipinya.
Melihat putrinya sudah berlinang air mata, Adrian Alister bertanya kepada Aldebarn dan Lina, "Apa yang terjadi? Kenapa Marvin belum muncul juga?"
"Maafkan kami, Pak. Silakan Anda baca surat ini," ucap Dave sambil menyodorkan surat dari Marvin pada Adrian.
Semua yang hadir di acara pernikahan itu berdiri. Mereka tidak menyangka mempelai prianya tidak hadir.
"Lalu bagaimana ini, Pak Aldebarn? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Adrian setelah membaca surat dari Marvin.
"Kami juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya bisa menanggung rasa malu yang diberikan Marvin kepada kita. Kami sungguh-sungguh minta maaf," jawab Aldebarn Nero.
"Tidak bisa begitu. Kalian harus cari solusinya!" Dengan suara lantang yang terdengar keras, Adrian mengatakan itu. Tentu saja dia marah, apa lagi karena kejadian ini putrinya sampai menangis. Ayah mana di dunia ini yang bisa tinggal diam melihat putrinya harus menanggung malu di hari pernikahannya.
Di saat suasana dalam sekejap terasa hening, Laudia yang sejak tadi diam kini mulai bersuara, "Begini saja. Bagaimana kalau Dave saja yang menikahi Arini?"
Sontak saja Dave terkejut. Dia masih tidak menyangka harus menjadi tumbal menggantikan posisi adiknya yang tak bertanggung jawab.
"Ya, bukankah kakek mereka berpesan harus menikahkan Arini kepada salah satu anak dari keluarga Nero," sambung Lina yang membenarkan usulan dari calon besannya. Kemudian, wanita itu melihat suaminya yang berdiri tepat di sampingnya dengan wajah resah. "Gimana? Aku rasa ini adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nama baik keluarga kita?"
Setelah sempat berpikir, akhirnya Aldebarn tak punya pilihan lain. "Baiklah."
Mendengar jawaban dari suaminya, Lina pun langsung beralih menatap wajah putra pertamanya dengan penuh harap. "Bagaimana Dave? Apakah kamu bersedia menggantikan Marvin untuk menikahi Arini?"
Dave masih diam. Menatap dingin seolah ingin menolak.
"Dave, sudah waktunya kamu membalas budi kami yang telah membesarkanmu. Menyayangimu dengan tulus. Jadi, tolonglah Umi, Dave! Umi tidak mau keluarga kita menanggung malu akibat perbuatan adikmu! Mau ya, Dave," ucap wanita itu memohon.
"Kalau begitu saya akan meninggalkan tempat ini. Sebab, pernikahan telah dibatalkan," kata penghulu itu lagi yang tak ingin membuang waktunya.
Setelah hanya diam, Dave mulai melangkah ke hadapan penghulu. Pria itu berdiri di samping Arini yang sejak tadi hanya diam terpaku dan meneteskan air mata.
"Pernikahan akan tetap dilaksanakan," kata Dave datar sembari memakai songko hitam.
"Bagaimana mungkin, pengantin laki-lakinya saja tidak ada."
"Saya yang akan menjadi pengantin laki-lakinya menggantikan adik saya."
Arini pun terkejut. Air matanya jatuh semakin deras. "Jadi, aku akan menikah dengan dia ...." Di dalam hati, gadis itu menatap Dave ragu penuh tanda tanya. Jujur saja dia tidak menyangka jika pernikahannya harus jadi seperti sekarang ini.
Mendengar perkataan Dave, penghulu itu pun kembali duduk dan mulai akan melaksanakan ijab kabul yang sempat tertunda lama. Semua orang yang hadir juga kembali duduk di tempatnya masing-masing.
"Anda siap Dave?" Penghulu itu menjulurkan tangannya yang langsung diraih oleh Dave dengan sebuah jabatan.
"Saya siap," jawabnya tersenyum.
"Saya nikahkan dan kawinkan Anda, saudara Dave Nero bin Aldebarn Nero kepada Arini Azhara Alister binti Adrian Alister, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar, tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya, Arini Azhara Alister binti Adrian Alister dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai."
******