Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Suamiku Konglomerat Bangkrut

Suamiku Konglomerat Bangkrut

Essievan

5.0
Komentar
1K
Penayangan
11
Bab

Suami yang kunikahi karena dia anak kesayangan konglomerat kini sudah bangkrut! Keluarga Wicaksono bangkrut setelah 1 tahun Ayu dan Jovan menikah. Ayu dielu-elukan sebagai wanita beruntung yang menikahi anak konglomerat kini meratapi nasibnya karena jatuh miskin. Ayu yang gaya hidupnya glamor semenjak menikah dengan Jovan harus berbohong pada teman-temannya dan menyembunyikan fakta pahit untuk memenuhi gengsi semata. Hinaan dari keluarga Wicaksono terhadap Ayu yang hanya seorang guru honorer membuat Ayu tidak tahan. Pertengkaran kerap terjadi dalam rumah tangganya, tabungan yang kian menipis karena gaya hidup mereka, dan Jovan yang tidak kunjung bekerja. Semua masalah bertumpuk menjadi satu, dan membuatnya stress. Di tengah masalah itu, seorang lelaki datang menawarkannya untuk menjadi kekasih gelap?!

Bab 1 Hinaan Keluarga Suamiku

"Ayu! Kamu cepat dong siap-siapnya! Kita mau terlambat nih," seru Suamiku yang sudah siap di teras rumah menungguku yang sedang mematikan seluruh lampu dan peralatan elektronik yang masih menyala.

Keuangan kami yang pas-pasan dan cenderung kurang membuatku tidak bisa bertahan di gaya hidup sebelumnya. Semasa Suamiku masih menjadi anak konglomerat. Tagihan listrik membludak jika aku tidak berusaha untuk hemat.

"Aku sudah mematikan semuanya. Ayo kita berangkat!" ucapku.

"Haduh, lagian ngapain sih matiin listrik? Kan kita pergi nggak nyampe seharian juga," kata Jovan dengan santainya.

Aku mendesah dengan lelah, Jovan masih terbiasa dengan kehidupan glamornya. Kemiskinan yang kita alami tidak membuatnya sadar jika sekarang roda tengah berputar.

"Kita harus hemat, Mas! Kamu mana tahu berapa pengeluaran yang aku keluarkan untuk tagihan rumah ini. Tolonglah, kamu membantu sedikit dengan tidak menghambur-hamburkan uang dan berhemat menggunakan listrik. Setidaknya jika kamu belum mendapatkan pekerjaan, tolong untuk menghemat pengeluaran," kataku mengeluaran unek-unek yang akhirnya aku utarakan.

Air muka Jovan mengeras mendengar itu, dia menyilangkan tangannya di dada dan menatap dengan rendah diriku. Aku tahu, setiap aku membahas masalah finansial dengan suamiku ini dia dengan mudah tersulut emosi. Padahal apa yang aku maksud itu baik demi keberlangsungan rumah tangga kita.

"Ayu! Berani-beraninya sekarang kamu ngomong seperti itu? Kamu pikir uang siapa yang kamu pakai untuk membayar tagihan dan biaya kehidupan kita sehari-hari? Lagian sejak menikah kamulah pelaku yang menghabiskan seluruh hartaku. Kini ketika keluargaku sudah bangkrut kamu sok-sokan menjadi penanggung jawab rumah tangga kita?! Kamu benar-benar nggak tahu malu, ya?" bentak Jovan

Aku terdiam tidak bisa membantah apa yang Suamiku katakan, memang benar aku adalah pelakunya. Semua barang-barang yang pernah aku beli sejak masa kejayaan keluarga Wicaksono masih tersimpan dengan rapih di kamar koleksiku. Aku enggan untuk menjualnya, apa yang akan teman-temanku katakan jika aku menjual koleksi yang aku banggakan dulu?

"Hatiku sakit mendengar hinaan dari Suamiku sendiri. Di mana Jovan penyayang yang aku temui dulu?" bisikku dalam hati.

Melihatku terdiam, Jovan segera berlalu menuju mobil kami. Aku menyusulnya dengan perasaan yang campur aduk. Kami sama-sama terdiam sampai tiba di rumah keluarga Wicaksono yang sudah tidak semegah dulu. Rumahnya masih besar, tetapi dengan model seadanya, tidak seperti rumah klasik konglomerat yang aku puja-puja dulu.

Kami turun dari mobil, Jovan mendahuluiku dengan emosi yang masih memanas. Jovan adalah tipikal temperamental jika keinginannya diprotes atau tidak terpenuhi. Jujur saja sifat kekanak-kanakkan Jovan baru aku sadari setelah kami menikah dan jatuh miskin.

"Eh, udah datang anak kesayangan Mama!" seru Ibu mertuaku dengan lantang.

Jovan memeluk Ibunya dengan tampang datar, anak itu memang sering bertindak sesuka hatinya tanpa memedulikan sopan santun. Namun, karena Jovan adalah anak bungsu dan Jessica sangat menyayanginya sikap Jovan dimaklumi begitu saja.

Aku hanya menunduk sopan ketika memasuki ruang tamu yang dihias seadanya itu. Rutinitasku ketika diundang ke keluarga Wicaksono adalah menjadi pemeran figuran dan sosok yang menjadi topik utama ketika membahas aib Wicaksono. Aku sudah paham akan hal itu, walau harga diriku jatuh aku tidak bisa melakukan apa pun.

"Ayu sudah lama tidak bertemu, bagaimana kabar kamu sekarang?" tanya Angel, istri dari Kakak Jovan.

Angel satu-satunya kakak ipar yang periang dan baik menurutku. Dia tidak pernah mengejekku seperti anggota keluarga lain dan senantiasa mengajakku mengobrol.

"Ah, aku baik Kak Angel! Kabar kakak gimana?" tanyaku, aku memanggil Angel dengan sebutan kakak karena Angel adalah kakak tingkatku saat di kampus dulu.

"Kabarku Ba-"

"Angel! Sini sebentar, Sayang!" Jessica memanggil Angel dengan tiba-tiba. Sontak Angel pamit mengundurkan diri padaku.

Angel berjalan mendekati Jessica yang memandangku dengan tampilan jijik. Jovan dan para lelaki sedang bercengkrama satu sama yang lain. sementara yang Perempuan berkumpul di sekeliling Jessica, si Tuan rumah.

Tinggallah aku sendirian.

Rasanya aku ingin menangis dan berlari pulang merasakan pengasingan yang disengaja ini. apakah ini benar salahku yang dengan berani memasuki lingkungan keluarga elit dengan latar belakang keluarga miskin?

"Angel! Sudah berapa kali Mamah bilang, kamu jangan bercengkrama sama orang miskin itu! Semenjak Jovan menikah dengan Perempuan itu keluarga kita jadi bangkrut! Mamah nggak mau kehidupan kamu yang bagus terkontaminasi sama dia!" ucap Jessica dengan tatapan tajam menusuk jantungku dengan tepat.

Aku bisa mendengarnya, karena aku berdiri tidak jauh dari tempat mereka. Hatiku mencelos tak berdaya, ucapan Jessica bernada keras dan nyaring. Aku tahu Jovan mendengarnya, tetapi Jovan nampak tidak peduli dan asik dengan saudaranya.

Suami yang aku kagumi, aku percayai untuk menjadi tamengku justru berbalik menjadi peluru. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Menerima penghinaan ini dengan lapang dada? Tuhan, dahulu aku diam saja karena mereka memenuhi kebutuhanku. Namun, sekarang aku yang harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan aku dan Jovan. Pantaskah aku diperlakukan seperti ini?

"Mas, kita pulang saja yuk? Aku nggak enak badan," kataku setelah menghampiri Jovan.

Aku memilih untuk pulang karena tidak ada fungsiku di acara ini. Padahal hanya pertemuan rutin keluarga tetapi acara ini sangat menguras energiku.

"Hah? Kamu gila, ya? Kita baru nyampe loh, masa kamu minta pulang? Lagian, cuman nggak enak badan mah tahan aja sampe nanti acaranya selesai!" tukas Jovan menolak permintaanku mentah-mentah.

Aku sudah tidak bisa berkata apapun lagi, kami hanya membawa satu mobil dan aku harus pulang bersama Jovan. Apa Jovan tidak merasa kasihan padaku? Apa telinganya itu sangat tebal sampai tidak mendengar hinaan yang keluarganya lancarkan padaku?

"Duh, kamu ini kenapa sih? Se-nggak suka itu ya kamu dateng di acara keluarga ini? Dasar ya, orang miskin emang semuanya nggak tahu diri. Dulu aja, pas keluarga kita masih jadi konglomerat, kamu pulang paling terakhir tuh sambil nunggu cipratan uang dari Mama mertua!" ucap istri dari Kakak tertua Jovan.

Mulutnya dengan nyalang menyerukan hal tidak pantas di tengah-tengah acara, di mana semua orang bisa mendengarnya. Aku tertunduk dalam, hatiku tertusuk-tusuk duri panas hingga melepuh mendengarnya.

Kilatan merendahkan terpancar dari semua mata keluarga Wicaksono. Aku terpojokkan sendiri, tanpa ada yang berniat membantuku. Bahkan suamiku sendiri. sebenarnya hidup apa yang sedang aku jalani?

"Maaf, maksud Mba apa ya? Saya nggak enak badan, bukan nggak suka hadir di acara ini." Aku berani menyuarakan pendapatku, walau sebenarnya memang benar aku tidak suka hadir di sini. Sudah cukup untuk aku direndahkan!

"Halah, udah deh kamu ngaku aja. Lagian Jovan nih apes banget sih, dapet kok istri yang nggak bisa apa-apa. Cuman seorang guru dengan gaji kecil, sukanya morotin harta keluarga suami dengan tumpang kaki. Enak ya jadi kamu?" seru Perempuan itu lagi.

Perdebatan menjadi memanas, aku yang sudah tahu dari awal telah kalah memilih diam. Membiarkan harga diriku diinjak-injak. Aku memilih pergi meninggalkan ruangan itu, persetan pulang jalan kaki, lebih baik dari pada berdiam diri di tempat orang munafik. Aku menatap Jovan dengan kecewa sebelum aku benar-benar menghilang dari pandangan mereka.

"Nggak dikejar Van?" tanya Kakak Jovan

"Biarin aja lah, aku capek sama dia."

Setidaknya percakapan itu yang terakhir aku dengar dari mulut suamiku sendiri. aku tertawa miris pada nasibku yang malang ini.

BRUK!

Aku menabrak bahu keras seseorang saat aku berlari sambil mengusap air mata. Cobaan apalagi, Ya Tuhan. Aku Bersiap untuk mendapat makian kembali, tetapi ....

"Loh? Ayu, ya? Istrinya Jovan?" tanya suara berat lelaki itu dengan senyum maskulinnya. Aku sungguh terpana pada pandangan pertama.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku