Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Hold My Hand
5.0
Komentar
1.4K
Penayangan
13
Bab

Khanza tidak pernah mengira bahwa kebersamaannya dengan sang kakak sejak orangtua angkatnya meninggal, melahirkan perasaan berbeda. Status hubungan yang mengikat keduanya dalam persaudaraan, membuat Khanza bimbang walau nyatanya mereka tak memiliki aliran darah yang sama. kedua saudara itu harus melewati banyak hal, terutama ketika Barra terlibat dalam sebuah kasus pembunuhan.

Bab 1 Kehilangan

Usianya masih menginjak lima tahun. Saat keluarga gadis kecil itu mengalami kecelakaan mobil parah hingga menyebabkan kedua orang tuanya meninggal dunia.

Orang tua Khanza yang pada saat itu baru saja pindah pekerjaan ke Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, tidak memiliki banyak kerabat, kecuali hanya beberapa rekan di tempat kerja baru ayahnya. Oleh sebab itu akhirnya seorang kepala kepolisian setempat, memutuskan untuk mengadopsi Khanza, gadis cilik yang kini sudah tidak memiliki siapapun lagi di dalam hidupnya.

"Siapa namamu?"

"Khanza."

"Kalau begitu panggil aku kakak. Aku ... Kakakmu sekarang!"

Saat ayahnya memberitahukan bahwa kini ia memiliki seorang adik perempuan, Barra begitu merasa senang. Mungkin karena Barra tahu, ibunya selalu sedih di beberapa tahun terakhir akibat operasi pengangkatan rahim yang telah wanita itu jalani.

Jadi, kehadiran Khanza kecil bagi keluarga kecil mereka tentunya merupakan sebuah hadiah luar biasa.

Oleh sebab itu mereka berjanji akan selalu menjaga dan menyayangi Khanza dalam seumur hidup yang mereka miliki.

.

Tahun-tahun berlalu. Barra semakin tumbuh menjadi pemuda kuat, pemberani dan begitu penyayang. Terutama pada adik satu-satunya. Khanza. Yang saat ini sudah duduk di bangku kelas tujuh SMP.

"Bagaimana hasil hari ini?" tanya Barra. Pada Khanza, yang baru saja keluar dari gerbang sekolah dan menghampiri Barra yang tengah menunggunya sejak beberapa saat lalu.

"Khanza dapat nilai sembilan puluh, kakak!" ucap Khanza senang, memperlihatkan nilai ujian. Dimana hal itu membuat Barra tersenyum kemudian mengusap kepala Khanza secara perlahan.

"Hebat! Kau memang adik kakak yang sangat cerdas!" puji Barra dan langsung mendapat senyuman antusias dari Khanza.

"Kalau begitu kakak jadi memberikan tiket konser pada Khanza?"

"Ya."

Sesuai yang telah Barra janjikan sebelumnya, pemuda itu langsung mengeluarkan dua buah tiket konser yang Khanza inginkan dari saku jaket jeans yang Barra kenakan.

Saat Barra menyerahkan salah satu tiketnya pada Khanza, gadis itu terlihat begitu senang. Kedua matanya berbinar-binar. Seolah ada magnet yang langsung membuat Khanza menyambar tiket itu dari tangan Barra.

"Kakak juga ikut menonton konser dengan Khanza?" tanya gadis itu sumringah, menyadari Barra memegang tiket yang sama sepertinya.

Anggukan pelan di wajah Barra, semakin menyenangkan hati gadis yang mulai tumbuh remaja itu. Ia menatap Barra dengan tatapan penuh cinta.

"Asyik! Terima kasih, kakak!" Gadis itu tersenyum begitu tulus. Membuat Barra ikut membalas senyumannya.

"Tiket itu kakak berikan bukan hanya karena Khanza mendapat nilai yang bagus. Jika nilai Khanza tidak seperti itu pun. Khanza tetap berhak mendapatkan nya. Karena sudah berusaha sangat baik dalam ujian kali ini."

Khanza menanggapi ucapan itu dengan senyum mengembang.

"Khanza mengerti. Kakak, Ayah dan Ibu selalu mengajarkannya. Jika kita hanya fokus ingin mendapat hasil yang bagus, seringkali usaha yang dilakukan kurang maksimal karena terlalu terpaku dengan hasil yang belum keluar. Namun, jika kita menikmati prosesnya sedari awal, maka apapun hasilnya tetap akan membuat bangga. Iya, kan?"

Barra tersenyum. "Benar."

Lalu dua kakak beradik yang terpaut usia delapan tahun itu berjalan bersisian menuju motor yang terparkir liar di sisi jalan. Mereka berbincang-bincang tentang beberapa hal. Yang membuat Khanza sering kali tertawa lalu menaiki motor hingga kendaraan roda dua itu membawa pergi mereka dari kawasan sekolah.

.

Malam beranjak larut. Hujan deras membasahi kota Palangka Raya dengan gelugur kecil yang sesekali terdengar dari atas langit.

Desau angin bersahutan di luar. Hembusannya terkadang membawa rintik-rintik kecil masuk melalui jendela kamar. Sementara pohon-pohon di pekarangan rumah mereka berderit tak beraturan.

Barra menutup jendela kamar yang sedikit basah. Ayah dan ibunya baru saja pergi melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Sementara sang adik telah terlelap tak lama setelah orang tua mereka berpamitan meninggalkan keduanya.

Dering ponsel di atas nakas yang terdengar berulang kali, membuat Barra meraih benda pipih tersebut.

Pemuda itu menatapi nomor tak asing yang masih berusaha menghubunginya sejak beberapa waktu lalu. Ibu Barra. Meski merasa heran karena tak biasanya sang ibu menelpon ketika sedang berada dalam perjalanan, namun, Barra tetap mengangkat panggilan itu. Menempelkan ponsel ke telinganya hingga sebuah suara berat kemudian terdengar nyaring di telinga.

"Hallo, selamat malam?" Suara bariton yang terdengar dari seberang sana jelas bukan suara Ayah Barra. Meski sedikit mirip, namun, Barra yakin dapat membedakan.

"Ya. Dengan siapa ini?" Barra bertanya.

Dan benar saja. Suatu hal buruk telah terjadi sehingga pemuda itu diperintah untuk segera datang ke lokasi kejadian. Di mana ayah dan Ibunya ditemukan sudah meninggal akibat meneguk racun bersama di dalam mobil.

Bersama hujan deras juga kilatan petir yang terlihat jelas di langit, Barra bergegas memasuki kendaraan. Menjelajah jalanan malam menuju tempat dimana orang tuanya berada.

Lutut pemuda itu lemas. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri para perawat memasukkan tubuh ayah dan ibunya yang sudah terbujur kaku ke dalam mobil ambulans. Sementara garis polisi mulai membentang di sekitar mobil orang tua Barra.

Rasanya seperti seluruh tubuh Barra hancur, yang menyebabkan ia tidak sanggup menopang berat dirinya sendiri.

Bibir pemuda itu memucat dengan gemetar luar biasa. Kaki-kaki nya jatuh ke bawah menyaksikan ayah dan ibunya sudah tiada.

Bagaimana ini semua bisa terjadi? Barra berharap ini hanyalah mimpi.

Tatapan pemuda itu terlihat tak biasa membaca surat peninggalan ayahnya yang baru saja Barra terima dari pihak kepolisian. Di dalam surat tersebut berisikan permintaan maaf karena mereka tidak bisa menemani putra dan putrinya hingga tumbuh dewasa. Dan permintaan maaf karena nyatanya orang tua Barra lebih memilih menyerah di banding menghadapi permasalahan yang ada. Yang kemudian baru Barra ketahui bahwa selama ini ayah dan ibunya memiliki banyak sekali hutang. Sehingga karena hal itu polisi menduga ayah dan ibu Barra memilih mengakhiri hidup mereka.

.

Orang-orang berlalu lalang di hadapan. Upacara pemakaman baru saja selesai dilaksanakan.

Berbagai ungkapan belasungkawa juga papan bunga pertanda duka cita terus berdatangan kepada mereka. Beberapa dari rekan ayahnya, tak sungkan menawarkan bantuan, bila saja Barra merasa kesulitan.

Tentunya penyebab ayah dan ibu mereka memutuskan bunuh diri telah tersebar.

Di titik ini, selain harus menerima kepergian orang tuanya yang secara mendadak. Barra juga seolah harus menelan sebuah fakta lain, bahwa betapa pengecut orang tuanya. Yang memilih pergi meninggalkan anak-anak mereka. Hanya karena permasalahan hutang. Padahal mereka bisa mendiskusikan nya dengan Barra sebelum memilih keputusan pahit ini.

"Kakak, ayo pulang." Suara lirih Khanza terdengar. Membuat Barra menoleh dan menatapnya sejenak.

Gadis itu, entah sudah berapa kali jatuh pingsan saat kabar tentang orang tua mereka terdengar. Bahkan hingga saat ini air mata masih terus menetes dari netra Khanza. Menandakan adiknya masih belum menerima kepergian ayah dan ibu mereka.

Menarik napas dalam-dalam, Barra memejamkan mata. Kemudian melangkahkan kaki mengikuti Khanza. Dimana gadis itu berjalan gontai menuju mobil.

Sunyi. Keheningan memenuhi suasana hari ini.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku