Cika begitu terkejut ketika menemukan sebuah video tak pantas di ponsel Ibunya yang seorang merupakan janda. Cika yang merupakan tulang punggung keluarga tidak rela uang hasil kerjanya yang malah diberikan Ibunya kepada pria yang tidak jelas itu! Akankah CIka bisa menyadarkan Ibunya dan Ibunya bisa lepas dari pria tersebut? Atau Ibunya malah menikah dengan pria itu? Yuk ikuti kisah Cika.
"Cika, kamu ada simpenan uang?" tanya Ibu ketika kami sedang sarapan pagi. Seperti biasa aku memasak nasi goreng dan telur dadar agar kami bisa berhemat.
Kulihat Fina --adikku-- menghentikan suapannya ketika Ibu menanyakan soal uang kepadaku. Padahal itu adalah hal yang sudah biasa bagi kami, namun adikku juga tidak suka dengan sikap Ibu kami
Semenjak kepergian Ayahku bersama istri keduanya. Aku yang merupakan anak pertama di keluarga ini, secara otomatis aku menjadi tulang punggung keluarga. Aku bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko kue. Pagi dan siang aku kuliah. Ibu sebenarnya tidak memperbolehkan aku untuk kuliah, katanya buang-buang waktu dan uang saja. Untungnya, aku nekat untuk masuk ke Perguruan tinggi dengan beasiswa jalur prestasi. Aku memang selalu mendapat peringkat tiga besar sejak duduk di bangku SD sampai SMA.
Aku berdecak sebal. Sudah berulang kali Ibu meminta uang yang jumlahnya tidak sedikit. Padahal kebutuhan dapur sudah kupenuhi. Aku selalu menyetok sayur dan lauk setiap tiga hari sekali. Terkadang aku atau Fina yang pergi ke pasar tradisional karena di sana harganya lebih terjangkau. Aku juga memberi uang untuk kebutuhan Ibu seperti uang jajan, kuota internet, pulsa, dan makeup. Walaupun tak banyak, tapi aku berusaha agar Ibu tak kekurangan uang.
Ayah juga sudah beberapa bulan tidak mengirimkan uang kepada kami. Padahal beliau dulu berjanji akan tetap menafkahi kami, anak-anaknya. Apalagi sekarang aku juga harus membiayai sekolah Fina. Dia bersekolah di sebuah SMA Negeri di kotaku, sehingga biaya sekolahnya tak terlalu memberatkanku. Untungnya Fina bukan anak yang menuntut, ia hanya meminta uang jajan sekadarnya saja kepadaku. Setiap hari, Fina selalu membawa bekal yang kumasak untuk dibawa ke sekolah.
"Buat apa lagi, Bu?" tanyaku dengan agak tegas.
Ini sudah kesekian kalinya beliau terus meminta uang. Biasanya aku memberikan saja jumlah uang yang Ibu minta tanpa bertanya balik. Namun kali ini aku tak boleh percaya begitu saja karena hampir separuh tabungan telah terkuras. Sungguh menyedihkan memang, padahal tabungan itu sebagian untuk jaga-jaga di saat nanti aku butuh biaya untuk skripsi dan juga biaya Fina jika ia hendak lanjut kuliah.
"Anak kecil enggak perlu tau urusan orang dewasa. Ibu gunakan untuk apa uang itu ya terserah Ibu dong!" jawab Ibu dengan ketus.
Aku terperanjat dengan jawaban Ibu. Tak biasanya beliau menjawab pertanyaanku dengan nada yang agak membentak.
Memang akhir-akhir ini kalau kuperhatikan, Ibuku lebih fokus dengan ponselnya. Ibu jadi jarang sekali memasak maupun beres-beres rumah. Bukan aku menjadikan Ibuku pembantu gratisan, ya. Bukan, bukan sama sekali! Tetapi Ibu memang tipe wanita pembersih dan lebih senang dengan masakan rumahan ketimbang membeli di luar.
"Cika kan perlu tau Ibu menggunakan uangnya untuk apa. Soalnya kan sekarang yang mencari uang Cika. Jadi Cika harus pintar-pintar mengatur uang untuk keperluan kita bertiga," sahutku dengan nada pelan. Aku berkata dengan hati-hati, takut Ibu malah tersinggung dengan kata-kataku.
Braak.
Ibu malah menggebrak meja. Tentu saja membuat jantungku hampir copot. Kulirik Fina, ia juga terkejut dengan ulah Ibu.
"Kamu sekarang sudah berani hitung-hitungan dengan Ibumu sendiri ya, Cik! Dulu Ibu rela mengeluarkan uang berapa pun untuk keperluanmu dan Fina. Sekarang Ibu yang minta uang malah kamu tanyakan terus uangnya untuk apa!" balas Ibu sambil menunjuk-nunjuk telunjuknya di mukaku.
Aku tertunduk atas kemarahan Ibu. Tak terasa air mataku meleleh. Ya Allah, inikah Ibuku? Kenapa sekarang Ibuku berubah? Tidak seperti Ibu yang perangainya yang kukenal biasanya. Serasa seperti bukan Ibuku lagi. Astaghfirullah. Aku beristighfar dalam hati sambil mengelus dadaku.
Aku tidak mau berdebat lagi dengan Ibu. Daripada nanti aku tidak fokus kuliah dan kerja. Meskipun hatiku masih setengah ikhlas karena aku tidak tahu uangku untuk apa. Akhirnya aku membuka dompet yang ada di dalam tasku dan memberikan Ibu uang lima ratus ribu sesuai dengan jumlah yang beliau minta.
"Ini uangnya, Bu." Aku menyodorkan uang lima lembar ratusan ribu. Padahal itu uang bonus yang kudapat dari atasanku tadi malam karena aku lembur dan baru pulang jam dua pagi. Bahkan tadi malam aku tertidur jam tiga pagi karena aku mesti menyelesaikan tugas kuliahku. Untungnya hanya menjawab soal dengan ditulis tangan.
Tanpa berpikir panjang Ibu langsung mengambil uang tersebut dari tanganku. Merebutnya dengan paksa. Beliau begitu senang menerima uang dariku.
"Nah gitu dong, jadi anak baik dan menurut sama orangtua," jawab Ibu sambil tersenyum dan mengerlingkan matanya.
Sementara Fina hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Ibu kami. Kami pun iri karena teman-teman kami masih diberi uang saku oleh kedua orangtuanya. Berbeda sekali dengan kami. Bahkan Fina pernah bilang padaku, ia tak ingin lanjut kuliah. Ia ingin sehabis lulus SMA langsung bekerja saja demi membantuku. Tapi aku bilang padanya dia harus kuliah juga.
"Ya sudah, Ibu mau mandi dulu nih. Pagi-pagi dah gerah aja," ujar Ibu sambil megipaskan tangannya dengan uang yang beliau terima dariku.
Aku bersiap-siap untuk ke kampus pagi ini. Aku bersiap untuk menyambar tas kuliahku. Begitu juga dengan Fina. Adikku itu juga langsung berangkat ke sekolah menaiki sepeda motor kesayangannya.
Tiba-tiba ponsel Ibu yang berada di meja makan bergetar. Getaran ponsel Ibu yang terus menerus membuatku penasaran siapa yang menelepon pagi-pagi begini. Rupanya telepon dari aplikasi Whatsapp. Mataku terbelalak, foto tampilan Whatsapp dengan pria tak berbaju terpampang di ponsel Ibuku dengan nama kontak 'My Baby.'
'Duh, angkat tidak ya. Angkat, tidak ya,' suara batinku bergejolak.
Akhirnya aku tidak jadi mengangkat panggilan telepon tersebut. Si penelepon juga tidak menelepon ulang. Penasaran, aku akhirnya memberanikan diri untuk membuka ponsel milik Ibu.
Kepalaku celingak-celinguk ke kiri dan kanan untuk memastikan Ibu masih di kamar mandi. Ah, aman! Biasanya kan Ibu juga mandinya lama. Entah apa yang dilakukan beliau di kamar mandi. Sedangkan berbeda denganku yang kalau mandi pasti cepat karena takut terlambat masuk kerja dan kuliah.
Aku mencoba membuka ponsel Ibu. Tak biasanya beliau menggunakan kata sandi dengan kombinasi angka di ponselnya. Aku coba dengan tanggal, bulan, dan tahun lahir Ibu, hasilnya nihil. Aku berpikir keras, apa ini kode sandinya. Sementara waktuku terbatas. Kucoba membukanya dengan kombinasi tanggal lahir kami bertiga.
Dan hasilnya...
Berhasil! Yeah, seperti dapat jackpot saja. Dengan cepat aku membuka aplikasi Whatsapp dan mencari percakapan Ibu dengan kontak yang bernama 'My Baby' tersebut.
Setelah kubuka kotak percakapan Ibu dan 'My Baby'. Betapa terkejutnya aku membaca chat-chat kotor dan vulgar ala orang dewasa dan juga beberapa resi rekening yang di kirimkan Ibu kepada si pria tidak jelas asal-usulnya itu.
Yang paling mengejutkan adalah si pria itu mengirim video tak senonoh, yang isinya si pria itu tak memakai sehelai benang pun! Ada juga beberapa foto si pria yang tak pantas untuk kulihat.
Ya Tuhan. Apakah ini yang dinamakan puber kedua? Apakah Ibuku sedang mengalami puber kedua? Kenapa Ibu sampai rela meminta uangku demi mengirimi uang pada si pria tidak jelas itu?
Bab 1 Video tak pantas
27/02/2023
Bab 2 Ada apa dengan Ibuku
27/02/2023
Buku lain oleh Anggi Kartika
Selebihnya