Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Me And Mafia : Revenge

Me And Mafia : Revenge

Bear bee

5.0
Komentar
119
Penayangan
7
Bab

Amera Seorang Agen Intelijent yang terjebak dalam dunia mafia. Seorang memberikan kabar jika kakaknya di bunuh salah satu kelompok mafia. Hingga Amera memutuskan untuk mendekati anak orang itu. Tanpa di sangka, dia yang salah tembak saat tugas mengenai kekasih Dion. Amera menyembunyikan semuanya dari Dion, tapi setelah lama dekat dan pernikahan di laksanakan. Hampir 1 bulan menikah. Semuanya kebongkar jika Amera pembunuh kekasihnya, Dion mulai membenci Amera. Dan mengusirnya dari rumah. Namun Amera yang merasakan binih cinta mulai tumbuh, dia terpaksa harus pergi meninggalkan Dion. Apakah kisah mereka akan berlanjut? Dan, siapa pembunuh kakaknya? Apa pembunuh itu juga akan terungkap semua identitasnya?

Bab 1 Kematian Pacar

Suara tembakan bertubi-tubi terdengar di tengah kota. Kegaduhan terjadi lagi di kota. Suara tembakan, teriakan, pukulan jadi satu. Semua orang yang tak sengaja melintas di sana. Mereka segera menyelamatkan dirinya. Mereka berlari ketakutan. Semua gedung-gedung tinggi tertutup rapat. Bahkan para penjual pinggir jalan berhamburan meninggalkan barang dagangannya. Ya, seperti biasa ini adalah pertempuran antara geng mafia. Mereka selalu membuat rusuh di kota.

Ada salah satu pasangan terjebak di antara kerumunan. Dion seorang laki-laki anak ketua mafia. Dia berusaha melawan mereka dan hanya untuk melindungi kekasihnya. Meski dirinya tidak membawa senjata apapun. Hanya satu senjata dengan peluru seadanya. Itu juga mengambil dari anak buahnya.

"Della, kamu sembunyi. Aku akan melindungimu," ucap Dion. Mencoba menarik tangan Adella. Menyuruhnya bersembunyi di belakang punggungnya. Mereka berada di tengah kerusuhan para mafia.

"Dion, sepertinya suasana semakin mencengkam. Kita harus pergi," ucap Adella ketakutan.

"Iya, aku akan bawa kamu pergi dari sini," kata Dion. Tangan kirinya memegang jemari tangan Adella sangat erat. Seolah dia tidak mau Adella pergi dari sisinya. Pandangan mata lurus kedepan. Dengan tangan kanannya terus menembak membabi buta pada para musuh ayahnya.

Pertikaian itu tak diketahui olehnya. Sepertinya ayahnya memang sengaja untuk membuat rencana sendiri tanpa persetujuan darinya. Dengan penuh rasa amarah, dia menembak beberapa orang yang menghalangi jalannya. Tanpa pedulikan lagi dari pihak musuh atau pihaknya.

Suara keras rembakan satu kali tepat mengenai seorang pengawal di depannya, yang mencoba menghalangi jalannya.

"Minggir," bentak Dion. Dia menggunakan kakinya menendang beberapa orang yang menghalangi jalannya. Hingga sebagian terjatuh di aspal. Dion segera menarik tangan Adella, pergi dari sana.

Tembakan itu terus menggema Di pusat kota. Tak ada habisnya. Hingga salah muncul beberapa agen intelijen yang bersembunyi di balik gedung bertingkat. Tepat di lantai paling atas. Agar tak begitu jelas tembakan yang dia berikan.

"Bella, mana pelurunya," ucap Amera. Dia sudah bersiap mengincar musuhnya di balik gedung tinggi tepat di lantai ke tiga. Mereka mengintai musuhnya, seorang ketua yang membuat rusuh di kota. Dia hanya melakukan tugas dari sang boss untuk membunuh orang. Meski ini di luar kendalinya. Dia tidak suka membunuh.

"Ini," ucap Bella. Sebuah senapan akan segera diluncurkan dari tangan seorang sniper wanita.

"Amera ... sebentar!" Bella mencoba mendekati Amera tanpa sengaja dia terpeleset menabrak Amera yang sudah bersiap membidik. Hingga tembakan itu terjadi di luar kendalinya.

Suara tembakan yang tak begitu keras itu. Seketika langsung tertuju tepat sasaran. Namun, sasaran itu bukanlah orang yang di incar. Tetapi, seorang wanita yang sudah terjatuh, terkapar ke aspal dengan cairan merah kental gang terus keluar dari dadanya

Amera menatap ke bawah. Dan, ternyata benar. Dia salah menembak.

"Astaga ... salah Sasaran," kesal Amera. Dia memukul dinding di depannya.

"Damn it ." Amera tak berhenti menyalahkan dirinya.

"Shhiitt ...," Decak kesal Amera. " Semua gara-gara kamu. Aku jadi salah tembak orang. Gimana kalau dia orang yang tak berdosa?" kesal Amera. Dia bangkit dari duduknya. Seketika tubuhnya gemetar ketakutan. Jemari tangannya tak berhenti terus gemetar. Amera menggigit jemari-jemarinya. Menghilangkan rasa khawatir dalam dirinya.

Dia memang pembunuh tetapi yang dibunuh adalah komplotan yang meresahkan. Tetapi kali ini penyesalan menghantui kepalanya.

"Amera, Bagimana kita? Semua orang menatap kearah kota. Kita harus cepat pergi," ucap Bella panik. Menarik tangan Amera yang dari tadi tubuhnya hanya diam. Tubuhnya tak berhenti gemetar ketakutan. Ia membunuh orang tak berdosa menjadi penyesalan sendiri baginya.

"Bella, aku tak bisa seperti ini. Bella, aku takut," ucap Amera. Menarik tangannya dari cengkeraman Bella.

"Amera, dengarkan aku. Ini bukan saatnya untuk takut. Kita harus pergi dari sini." Bella memegang kedua lengan Amera, kesalahan fatal yang membuat wanita itu tegang. Amera bahkan belum pernah melakukan kesalahan seperti ini sebelumnya. Dan, ini benar-benar membuat dirinya gila. Gimana jika atasan tau. Dia pasti yang akan disalahkan.

"Tapi dia tidak berdosa, Bella." Amera menatap kesal kea rah Bella.

"Aku tahu, tapi sekarang kita tidak punya waktu lagi. Semua sudah menuju kesini. Lebih baik kita pergi dan pikirkan cara lain nanti."

"Tapi ...," ucap Amera ragu.

"Amera, dengarkan aku. Kakak kamu, membutuhkanmu untuk mengungkap kasus pembunuhnya. Jadi jangan sia-siakan hidup kamu di sini," tegas Bella meninggikan suaranya. Dia sengaja berbicara dengan nada keras agar Amera sadar. Jika itu tak sepenuhnya salah dia. Dan ada yang lebih membutuhkan dirinya daripada merenungkan kesalahannya.

Merasa Amera sudah tenang. Bella menarik tangan Amera untuk segera pergi. Mereka melompat dari gedung satu ke gedung lainya yang hanya berjarak satu langkah.

Dan, mereka memutuskan untuk berpencar dan mulai menyamar sebagai karyawan di salah satu gedung yang berbeda sampai semuanya terkendali.

***

Sementara di sisi lain, Dion masih meratapi kesalahannya. Ia mengira jika itu juga salah dia yang tak bisa melindungi kekasihnya.

"Adella, Adella, kamu harus bertahan. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit." Dion memeluk tubuh Adella, dia terlihat sangat panik. Adella hanya tersenyum tipis menatap wajah Dion. Sembari menahan rasa sakit tembakan yang menembus dadanya. Cairan merah yang sudah meulai mengental itu melumuri tangannya. Adela yang meringis, mencoba untuk tersenyum, sembari menahan rasa sakitnya. Adella mengangkat perlahan tangan kanannya. Jemari tangan penuh noda merah itu menyentuh wajah Dion. Butiran kristal keluar dari bola mata indahnya.

Cairan berwarna merah kental itu semakin keluar begitu derasnya dari perut Adella. Dion mengangkat tanganya. Seketika air matanya keluar begitu derasnya.

"Dion, Aku mohon, setelah aku tiada nanti. Jangan ikut campur dalam dunia ayah kamu. A– Aku tidak mau, kamu terluka, sekarang biarkan aku jadi korban. Jangan sampai kamu jadi korban lagi." Adela mengangkat tangannya yang sudah dipenuhi dengan darah segar. Ia mencoba memegang pipi Dion. Dengan cepat Dion menggapai tangannya. Menyentuhkan ke dalam pipinya. Mengganggam sangat erat tangan penuh warna merah itu.

Butiran kristal keluar dari bola kata indah milik Dion.

"Enggak ... aku mohon kamu harus bertahan. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit sekarang. Kamu harus bertahan, aku yakin, kamu pasti selamat. Jangan putus asa, kamu harus bertahan." Dion mencoba mengangkat tubuh Adella. Dia berusaha menyemangati Adella sebelum bantuan datang.

"Dion, percuma. A– Aku tak bisa bertahan lama." suara Adelia sudah di ujung tanduk. Ia sudah berat untuk berkata lebih banyak lagi. Jemari tangannya masih menyentuh wajah Dion.

"Di– Dion ... aku pergi!" Adella tersenyum. Perlahan ia memejamkan matanya, tangannya yang semula memegang pipi Dion perlahan sudah mulai lemas. Dan tergeletak lemas.

"ADELLA ...," teriak Dion. Menggema ke seluruh penjuru. Semua orang menghentikan perkelahian mereka. Dan menatap ke arah Dion. Para musuh seketika berlari berhamburan. Hanya tersisa para pengawal ayahnya, yang hanya diam menatapnya sambil menundukkan kepalanya.

Dion meletakkan tubuh Adella di bawah. Seketika dia beranjak berdiri. Menatap tajam tepat ke arah gedung di mana tembakan itu meluncur sempurna ke arah kekasihnya. Seakan sengaja mengincar tubuh kekasihnya. Dion mengepalkan tangannya.

Aku akan mencari tahu siapa kamu. Jangan harap kamu bisa lari dariku. Entah kamu wanita atau laki-laki aku akan membunuh kamu dengan cara yang sama.

"Siapa yang berani menembak Adella. Aku tidak akan tinggal diam." Dion berteriak sangat keras. Sedangkan seseorang di dalam gedung itu masih bersembunyi. Ia takut jika dirinya akan terlibat dalam kematian teman Dion. Dan pastinya akan berakibat fatal.

"Jika kalian tahu siapa yang menembak Adella. Aku akan berikan kalian uang. Berapapun kalian minta," lanjut Dion penuh ambisi. Aura balas dendam mulai meracuni otaknya.

"Tuan, apa anda tidak kenapa-napa?" suara seorang pelayan membuat dia terkejut. Ia menoleh cepat. Menajamkan pandangan matanya.

"Apa kamu buta, lihatlah! Apa yang terjadi dengan kekasihku. Ini semua juga gara-gara kalian. Jika kalian tidak membuat kehebohan di kota semua tidak akan seperti ini," bentak Dion. Membuat semua pengawalnya menciut. Mereka tertunduk dengan senjata yang masih di tangan mereka masing-masing.

"Aku tahu, kalian suruhan ayahku. Tetapi, kalian apa tidak lihat. Ini pusat keramaian kota." Dion tidak berhenti memberikan bentakan penuh dengan kemarahan pada para pengawalnya. Dia meninggikan nada suaranya satu oktaf lebih keras.

"Bukannya melindungi, aku. Tetapi, kalian sibuk dengan musuh kalian masing-masing," lanjutnya kecewa. Meraih kerah salah satu pengawalnya.

"Jika kekasih kalian mati dengan cara yang sama. Apa kalian bisa tinggal diam? Apa kalian rela?" tanya Dion, melepaskan kerah pengawalnya, sedikit mendorongnya ke belakang.

"Maafkan kami, tuan!" ucap salah satu pengawal itu terbata-bata.

"Kalian bisa minta maaf! Tapi tidak bisa untuk mengembalikan nyawa Adella," pekik Dion. Suara kerasnya semakin membuat semua orang yang mendengarnya bergidik takut.

"Sekarang cepat cari tahu siapa dalang dari ini semua. Jika dalam dua minggu kalian tidak menemukan siapa dalangnya. Maka aku akan membunuh kalian semuanya," Umpat Dion. Dengan sigap dia penuh dengan air mata. Mengangkat tubuh Adella yang sudah tak bernyawa. Dia benar-benar merasa sangat terluka dengan apa yang terjadi.

"Adella ... aku janji, aku akan memberikan siapa yang membunuhmu," ucap Dion. Memeluk tubuh Adela. Ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan tubuh lemas tanpa nyawa itu.

"Aku, Janji Adella ... Aku janji."

Dion terdiam, dia menatap dengan tatapan mata kosong. Pikiran aneh mulai muncul di otaknya.

"Tapi, siapa yang membunuh Adella. Apa motif mereka? Apa mereka sengaja melibatkan agen intelijen? Atau, kelompok mafia yang saat ini bermusuhan dengan ayahku? Jika memang agen, aku yakin ada motif lain. Tidak mungkin ini kesengajaan. Mereka pasti merencanakan sesuatu. Iya, aku yakin. Jika mereka tidak mungkin sengaja. Dengan gaya penuh penyesalan."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Bear bee

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku