Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gairah Liar Kakak Tiri

Gairah Liar Kakak Tiri

Bear bee

5.0
Komentar
6.5K
Penayangan
6
Bab

Tidak akan terbayang jika kita benci dengan seorang wanita yang perlahan berubah menjadi cinta dan menikah. Tetapi bukanya sebuah kebahagiaan yang di dapatkan. Kebencian itu berlanjut di saat tahu kenyataan jika ibu sang wanita merebut ayahnya. Di balik pernikahan menyimpan sebuah dendam, yang akan menjadi konflik dalam rumah tangganya. Anggara hanya ingin membalas dendam. Dia menikah untuk menikmati tubuhnya. "Awas nanti kamu jatuh cinta?" bisik Anggara. "Tidak akan," jawab tegas Nayla. "Kita tunggu saja waktunya." Nayla memalingkan wajahnya tidak perduli. Gimana jadinya keluarga muda mereka? Apakah akan tetap bersama? Atau harus berakhir di tengah jalan?

Bab 1 Berduka

Di rumah keluarga Anggara semua orang nampak berkabung, atas meninggalnya mama Anggara. Karena penyakit jantung yang selama ini di deritanya. Kehilangan seorang mama sangat membuat ia terpukul dan belum bisa menerimanya. Meski sudah 3 hari yang lalu mamanya pergi untuk selamanya. Tetapi rasa duka, sedih masih menyelimuti keluarganya. Dia belum bisa mengikhlaskan mamanya untuk pergi. Hanya karena ada sesuatu hal yang membuat hatinya terasa janggal akibat papanya yang tidak pernah datang menjenguk mamanya saat sakit.

Seorang lelaki tampan dengan balutan kemeja hitam yang masih terpakai di tubuhnya. Meski sudah 2 hari ia pakai, dia tidak perduli. Bau menyengat di tubuhnya ia tak perdulikan itu. Bahkan makanan juga tidak sekali saja dia menyentuh. Meski setiap pagi, siang dan malam. Makanan selalu ada untuknya. Tatap saja Anggara tidak mau memakannya.

"Maaf tuan, tidak ganti baju atau mandi dulu" ucap bi Tuti yang selama ini bekerja lama dengannya. Dan hanya dia yang berani bertanya dengan Anggara yang terkenal jutek, jahat, dan judes pada semua orang. Bi tuti masih muda, namun tubuhnya sangat gemuk membuat dia terlihat lebih tua.

Anggara yang masih memeluk foto ibunya Tidak mau beranjak sama sekali dari duduknya sekarang.

"Jangan perdulikan aku, kalian semua pergi dari depanku," bentak lelaki itu yang masih setia memegang foto mamanya dalam dekapanya.

"Sudahlah jangan seperti ini terus" suara berat seorang laki-laki paruh baya itu membuat Anggara mengangkat kepalanya. Menyipitkan matanya melihat papanya yang sudah berdiri di depannya.

"Aku benci dengan papa." Seorang lelaki dengan wajah penuh air mata membentak seorang lelaki paruh baya, yang mencoba menenangkan hatinya.

"Aku tahu papa, yang menyebabkan semua ini terjadi," lanjutnya dengan pandangan menajam.

"Ngga, Mama kamu meninggal karena panyakitnya. Jadi kamu harus iklaskan dia."

Anggara menarik bibirnya sinis.

"Apa kata papa? Mama meninggal itu karena papa. Papa yang suka keluar dengan wanita lain seenaknya. Tidak pernah memikirkan gimana dengan perasaan mama. Dia berjuang sendiri dengan penyakitnya. Saat mama terbaring sakit di mana papa. Sibuk dengan wanita lain kan. Aku muak dengan semuanya" Anggara keluar dari rumahnya segera menuju ke kamarnya.

Ia menatap cermin sejenak, matanya yang merah dengan wajah nampak kusut tak tidur seharian, mengepalkan tangannya dengan gigi menggertak menahan emosi.

Kring....

"Siapa lagi ini, kenapa semua" mengangguku" gumamnya kesal. Anggara mengambil ponselnya. Seketika mengerutkan keningnya melihat siapa yang mengirimkan dia pesan.

"Cepat kemari 45 menit lagi pertandingan akan segera di mulai" sebuah pesan masuk dari Dio teman dekat Anggara.

"Sialan.. aku lupa jika ada pertandingan hari ini," decak Anggara beranjak dari duduknya.

"Aku mohon, anda pergi dari kamarku!" ucap pelan Anggara pada papanya dengan nada sopan lembutnya, penuh kebencian. Papanya hanya tersenyum, menepuk pundaknya. Dia segera membalikkan badannya melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Anggara.

Dengan langkah terburu-buru dia masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh tubuhnya, yang dua hari tidak menyentuh air sama sekali, hanya karena terlalu memikirkan ibunya. Hanya beberapa menit dia segera keluar memakai baju sekolahnya. Anggara menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukan pukul 06.45. Meskipun telat dia tidak perduli, karena memang makanan dia sehari-hari. Namun hari ini dia mewakili sekolahan untuk lomba Footsal, jadi tidak masalah baginya jika telat.

Tidak ada niat sedikitpun membalas pesan tersebut, Anggara segera meraih kontak montor ninja hitamnya di atas meja, lalu memakai jaket kulit hitamnya, berjalan turun dengan langkah terberu-buru.

"Kamu mau kamana?" papanya berjakan menghampiri.

"Bukan urusan papa" Anggara bergegas menaiki montornya, lalu menyalakan mesinnya dan bersiap menarik gasnya keluar dari halaman rumahnya dengan kecepatan tinggi.

"Semuanya palsu, aku tidak butuh kasih sayang dari papa" terlintas kata itu di otaknya, tanpa sadar ia semakin menarik kencang gas montornya hingga melebihi kecepatan rata-rata.

Ia tidak sadar ada sosok wanita menyeberang di jalanan yang terlihat sepi.

"Aaaa....." Wanita itu menutup ke dua tangannya.

"Apa aku akan mati di sini, Oh tuhan." gumamnya dalam hati.

Sreeekkkk... Ciitttt...

"Braakkkk...."

Suara dencitan rem berdenging di telinganya, membuat wanita itu bergidik geli. Tak lama suara montor terjatuh tepat di depannya.

"Haduh, kenapa tu orang."ucap wanita itu. Segera menghampirinya.

"Kamu, gak apa-apa, kan?" tanya Wanita itu memastikan kondisinya. Meski lelaki itu bisa berdiri sendiri. Wanita itu mencoba memegang tangan Anggara.

"Gak apa-apa gak usah perduliin aku segala," lelaki itu menepis tangan Wanita berpakaian khas sekolah Kartika itu, saat menyentuhnya.

Baju yang sama dengannya. Membuatnya merasa geli saat melihat wanita itu. Entah perasaan apa membuatnya sedikit penasaran denganya.

Sekolah yang sama denganku ternyata, batin Anggara tersenyum samar.

Wanita itu yang merasa bersalah dia mencoba untuk membantunya.

"Sini aku lihat, sepertinya kaki kamu terluka" Anggara terdiam, sekilas melihat dada kanannya terpasang nick name bertuliskan "Nayla Anggraini,"

Shit... Kenapa nama belakangnya sama denganku. Gumam Anggara kesal dalam hati.

Nayla menarik kaki Anggara dan segera memeriksanya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Anggara. Dia segera membuka helm full ficenya, di lihatnya wajah cantik Nayla. yang sibuk mentap lukanya.

"Gak usah pegang-pegang kakiku, atau kamu mau cari kesempatan?" bentak Anggara menepuk tangan Nayla di kakinya.

"Eh.. Manusia nyebelin. Siapa juga yang cari kesempatan, lagian lo sendiri yang nyeteri tapi bengong,"

"Apa katamu? Eh.. Kamu saja yang nyeberang gak lihat-lihat. udah tahu ada montor," decak kesal Anggara memalingkan pandangannya.

Wanita itu menghela napasnya kesal.

"Udah sini, mana kaki kamu,"

"Mau ngapain?" Anggara menarik ke dua alisnya bertautan.

"Aku hanya memastikan luka kamu, kamu mau aku obati secara baik-baik atau secara paksa" ucapnya mengancam, menarik kakinya paksa. Dan hanya di balas dengan senyum tipis dari lelaki itu.

Wanita itu segera mengambil sapu tangan pemberian ibunya dan mengikatkan di kakinya yang tergores. Meski tak bisa membalutanya tebal.

"Oya, lain kali kalau bawa montor pelan-pelan, memangnya ini jalan milik nenek moyang, lo!"

Anggara menggerakkan kepalanya ke kiri. "Apa maksud kamu,"

"Kamu itu kalau nyebrang apa gak lihat ada montor lewat. Punya mata itu di pakai" umpat Anggara kesal semakin meninggikan suaranya.

"Kenapa kamu nyolot sih, lagian kamu juga salah. Kenapa naik montor kebut-kebutan gitu. Ini jalan umum bukan arena balap" Nayla meninggikan suaranya, menatap tajam ke arah Anggara.

"Terserah aku, lagian sudah tahu ini jalan raya kalau nyebrang tu, di lihat dulu jangan nyelonong saja" Anggara itu tidak mau kalah, ia semakin kesal dan meninggikan suaranya lagi.

Nayla menggertakan giginya sebentar, mengepalkan tangannya. seakan ingin sekali tu jitak mulutnya yang nyeselin.

Nih cowok nyeselin banget sih, udah salah nyolot lagi, gumam Nayla dalam hati

Nayla tersenyum tipis menatap Anggara. "Kamu yang salah kenapa semakin nyolot, sih"ucapnya kesal.

"Tahu ah, bawel." Anggara segera meraih helm full ficenya beranjak berdiri. Ia segera membenarkan montornya yang masih tergeletak, lalu menaikinya.

sekilas Anggara melirik ke belakang, menatap wanita itu.

"Kamu gak mengucapkan sesuatu gitu?" tanya Nayla kesal. Menarik ke dua alisnya dengan wajah menantang

"Aku pergi dulu, bye" wajah lelaki itu sangat dingin dan datar.

"Bener-bener ya, tu, cowok nyeselin banget, gak tahu terima kasih sama sekali" gerutu Nayla kesal, mengepalkan tanganya.

Siapa dia? Apa dia berkuasa disini?

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Bear bee

Selebihnya

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku