Mantan Gay Kaum Pelangi
endasa
AAAA
itu. Begitu aku sampai di depan pintu dapur, aku melihat piring-p
GAK PERNAH BECUS MA
anak kecil, tak punya kuasa apa pun untuk menyadarkan Bapak. Bapak terlalu berkuasa di dalam rumah. Emak harus menanggung semua
an pukulin E
u apa?! Gara-gara emakmu, bapak kena sial teru
bisa masak lagi!" kataku takut-tak
yang kemarin. Bapak k
Alasa
ak langsung menangis. Hati Emak berkal
gomong gitu. Bu
lu Bapak mata
m ka
s perkataannya. Tetapi mungkin nilai rapotku. Siapa
ternyata aku keliru. Bukannya senang, wajah Bapak malah memerah. Ia ti
o am
ninggalkan kami. Lalu setelah Bapak pergi, tangi
bapak. Lihat deh, rapot Waldi," kataku. Lalu ta
dapat juara
Lekas kupungut buku rapotku yang teronggok d
u, ia tersenyum. Aku
Waldi bisa kerja di kota, d
ng setiap hari hanya disakiti oleh ucapan ayah. Aku begitu prih
ba
lima tahun. Meski sekecil itu, ia tahu, saat ayah mulai marah ia akan bersembunyi di
" tanyanya. Wajahny
permen dari sakuku. Lalu senyum Wiwit semakin mele
udian dia memungut rapot dan mencob
-L-D-I jad
dah mulai pandai membaca. Selama ini aku lah yang m
sap rambu
, kalian nanti bisa makan enak, bisa jalan-jalan,
ya, Bang?" tanya Wiwit tak sengaja
sa beli permen apa a
er B
!" k
ngan rajin agar nilai di sekolah tinggi demi mendapatkan beasiswa agar bisa melanjutkan kuliah. Jika aku bisa menjadi sarjana, paling tidak aku akan mendapatkan
njualan tani atau membuka usaha tuak. Sedangkan ayahku, dulunya ia berasal dari keluarga petani yang cukup makmur. Namun sejak kepergian orang tuanya, harta kekayaan keluarga ludes tak bersisa. Ayah terpaksa bekerja
idak hanya kepada ibu, dia juga tidak segan-segan berlaku kasar kepadaku dan Wiwit. Ayah seakan-akan membenci kami. Dia juga egois, kalau dapat uang ia akan menikmatinya sendiri. Terpaksa ibu harus banting tulang juga menjadi buruh tani di tempat orang. Aku tak tega
i ternyata kelakuan ayah malah semakin menjadi-jadi. Diam-diam ia menikah lagi. Ayah memang seorang pria yang sangat gagah, dan ternyata dia menikah dengan seorang janda kaya pemilik warung bernama Minarti. Dan ak
aku pada temanku, Rendi. Dia yang mem
urahan panggungnya.
Ayah memang selalu main see
apa belok ke sana? Arah pula
u. Dengan membawa sebongkah batu di tanganku. Aku ingin segera tiba di te