Ketika Cinta Tak Memilihku
i bermain dengan robot barunya di teras
rumah. Ia menghentikan motor, disambut dengan teriakan riang anak lelakinya. B
sabar. Mas Tirta terlihat berdecak liri
pa. Maafin, ya." Lelaki satu anak itu menangkup kedua tangan di dep
menatapku dengan raut muka yang sud
mamnya. Namun masih tetap di sana,
a terus nggak dimaafin, gimana rasanya?" Mas Tirta terus m
kat. Ikut berjongkok mensejajarkan diri di
Sekarang, nggak apa-apa, ya? Nanti Ibuk bikinin es degan," B
itu saja membuatku tak tega. Apalagi masih dimi
penuh tanya, "es degan?" Tanyanya. Karena bocah itu me
di mengerucut itu menerbitkan
rdiri. Aku menghembuskan nafas lega, turut berdiri menyusul ke
rintah Bagas ketika mereka s
irta menyahut sambil berlalu menuju kamar. Sementara Bagas berja
a dengan bibir kembali manyun, membuatku geme
eluar menuju halaman belakang. Di sana, ada beberapa pohon kelapa yang
mua itu peninggalan Orangtuaku. Jika Mas Tirta sedang tak ada di rumah, biasa menanam s
h dipasang sabit, aku bisa memetik kelapa muda itu dua buah. Suara jat
mau bikin
embawa satu buah kelapa,
in es degan, Yah!" Teriakan melengking da
itu. Satu buah kelapa tergeletak di atas meja makan, sementara
um sih, mandiny
ebagai anak-anak yang baru berkumpul dengan bapaknya. Sebenarnya, tak tega diri ini melihat kedua malaikat itu
ya
ah yang menempel pada daun
kita bikin es degannya," Ajakku. Ia mengang
emani makan malam kami nanti. Dengan ditemani bagas yang sesekali bercel
ak mandi tadi belum juga kelu
apku. Kaki ini melangkah, setelah melihat anggukan kepala d
ang telah terlelap memeluk guling. Sepertinya, wajah it
ah tenang itu. Tersenyum sekilas. Ah, aku memang leba
pesan di aplikasi Whatsapp-nya. Aku kembali mengerutkan dahi, ketika melihat papan Chat dari seseorang bernama Kiran
isi pesan dari Mas Tirta. Siapa perempuan itu, gam
enghidupi kami? Ah, mengapa pipi ini mendadak terasa hangat? Ada sebutir air bening lepas dari tamp
enghapus bekas air mata dengan cepat
ng. Membuat diri ini ikut bingung pula, mengapa bert
akan malam, ternyata sudah
erak yang layarnya masih menyala. Ia seperti kaget, ketika laya
oleh cepat. Seperti menuding akan sesuatu. Aku yakin, ia
u dulu. Jangan main nyelonong saja, mentang
tau tak sejalan dengan pikirannya. Namun, sekali lagi aku tak pernah menganggap apapun. Karena be
udah bangkit dan duduk di sampingku. Sebent
intu. Sementara diri ini masih belum usai, merasakan tak percaya
k jelas. Dengan menghembuskan nafas perlahan, kaki ini mencoba melangkah. Menyusul suam
k dengan piring di tangan. Terlihat
nda, karena istri dan anak Mas Catra datang. Memang biasa,
n tangan satu lagi menggandeng an
Kirana meletakkan bung
u. Menyodorkan sebungkus es krim ke depan
ga. Mbak tadi beli es
n sama om
*