Ketika Cinta Tak Memilihku
ama sekali di wajah teduh dan penyabar itu. Aku yang semula mendelik dengan pertan
," Jawabku enteng. Namun, wajah Mas Catra nampak semakin ta
an ke atas kursi kayu berukir indah di teras rumah. Sepaket meja
tak lantas menjawab. Hanya menatap hampa ke arah depan, entah melihat apa
ku semakin penasaran dengan sika
rap ia akan kembali membuka mulut. Menyadari bahwa kini ia datang seorang di
ekilas, lalu kembali menata
ak pikiran buruk kembali melintas. Namun, hanya sebentar saja. Segera menepis hal itu, kare
t ke arahnya. Ia lantas mendongak, tersenyum
a-kemari, jelas sekali, pasti Mas Catra sedang gelisah. Namun, apa penyebabnya? Ia bangkit d
l mengayunkan kaki, menuruni anak tangga t
napa bur
yang harus segera diselesaikan," Ia menjawa
terlukiskan, bagaimana campur aduknya perasaan di dalam sana. Antara khawatir, bi
cil tiba-tiba sudah berada di depan mata, setelah keberangkatan bapak
eketika senyum ini terbit, berjongkok mense
di dalam sana, gejolak itu masih terasa. Namun, sebagian
pulangnya kapan?
mah. Menuju ke depan TV, tempat biasa ia menghabiskan waktu untu
sayang. Nanti juga pulang. B
*
aan rumah telah usai, dan ternyata waktu baru menunjukkan pukul sebelas sian
beranda rumah, menemani bagas bermain deng
alan depan itu. Iya, rumah kami memang dekat dengan sekolah SD dan TK. Jadi, saat hari-hari kami berselim
trategis untuk membuka warung kecil-kecilan. Menjual jajanan anak sekolahan sudah menjad
ba saja membuyarkan lamunanku. Aku menatap bocah
tu, aku memaksakan senyum sekuat tenaga. Ternyata, memaksakan
ab. Ia mendengus, memalingkan wajah ke arah anak-anak yang
get?" Ia kemb
m pulang. Memang ia bertemu dengan siapa? Mengapa sejak tadi nomor W
m selesai," Aku menjawab, yang a
mpatnya duduk. Terlihat sekali, bocah itu mulai tak tenang. Ia berma
ngan nomor whatsapp-nya, hingga saat ini juga belum aktif. Kami dikejutkan
rdiri, "ada apa
h ikut bertanya yang makin membuat diri ini penasaran. Apala
ir banget?" Pertanyaanku ini mungkin terdengar pol
a suami dan kakak kandungku memiliki hobi yang sama. Sesekali, wajah penyabar itu meliri
elidik. Sosok menatap hampa ke arah keponakan
kalian sekeluarga sela
. Memang kenapa? Kami tidak pernah bertengkar selama ini, mes
ran orang ketiga di dalam rumah tangga kami. Hanya saja semalam itu, ah
s. Memang ada apa, sih? Pertanyaan
ku semakin mengernyit, tak tau apapun. Mengapa mala
s sekali seperti orang bingung. Baru beberapa menit duduk di depan
kem
ahnya melirik ke arah ujung
ngkah itu, diri ini hanya bisa
i bermain dengan robot barunya di teras
rumah. Ia menghentikan motor, disambut dengan teriakan riang anak lelakinya. B
sabar. Mas Tirta terlihat berdecak liri
capek dan sudah sore, jadin
*