Aku Tak Butuh Suami, Aku Butuh Keadilan
/0/28969/coverbig.jpg?v=e2667e0f3676b243d8721eb0c8a0c167&imageMogr2/format/webp)
ai mengelupas, dengan meja kayu yang sudah retak di ujungnya, dan kompor gas tua yang api birunya sering berubah jad
genggam sayur kangkung yang layu. Lina menata
ng... ya, paling aku kasih buat
mu yang sederhana. Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki bera
Lin?" suaranya agak tinggi,
enjawab dengan nada yang sama. "Sebentar, aku
t pintu, membuka dompet lusuhnya, lalu mengambil sele
itu tanpa bergerak
aru cair separuh, sisanya minggu depan. Jangan b
kup untuk membeli beras, sayur, minyak, dan kebutuhan anak-anak yang harus sekolah.
bnya pelan sambil
n topi lusuh dan jaket kusamnya. "Aku berangkat dulu.
menghilang di tikungan, ia duduk di kursi ruang t
ukupin semuanya..." b
ak goreng setengah liter, dan sedikit tahu tempe. Uang di tangannya nyaris habis, bahkan tanp
emu dengan seorang pria yang sedang memperbaiki kabel di depan rumahnya. Pria itu
apa pria itu sambi
Oh, Pak Damar... pagi. L
ab Damar santai. "Istri saya sudah teriak-
. "Bu Rina memang
andangannya sempat menatap Lina sedikit lebih lama dari
u berpaling, melanjutkan langkah pulang. Namun entah ken
tidaknya terlihat begitu dari luar. Tapi dalam diam
yang membuatnya ingin menyapa. Kadang Damar sekadar melambaikan tangan, kadang hanya
alan. Pulang kerja hanya untuk makan, mandi, lalu tidur. Setiap ke
kerja tiap hari, Lin," kata Randi suatu
asing. Lelaki itu dulu begitu hangat di awal pernikahan mereka. Ta
ng seperti angin segar yang membawa
njemur pakaian di halaman, Damar
mber di rumah bocor, Rina lagi
jawab Lina. Ia mengambil ember biru dar
k ada ibu, repot juga saya," ujar
iasa aja, Pak Damar. Tetang
tap Lina dengan lembut. "Tapi n
k bermaksud apa-apa, tapi cara tatapannya membuat ja
kali-kali. Ada rasa bersalah yang mulai tumb
jalan saat sama-sama mengantar anak ke sekolah. Mereka berbincang ringan, lalu tertawa kecil. Semua
Sementara Randi semakin sibuk dengan proyek barunya. Keadaan itu memberi r
Ia berteduh di teras rumah Damar yang kebetulan paling dekat. Damar
annya deras banget," katanya
pakaiannya sudah basah kuyup. Ia pun menganggu
a, Pak Damar. S
ak juga di rumah ibunya. Cuma saya sendiri," j
sejenak. Hanya suara huja
alam foto itu, memeluk dua anak kecilnya. Ada rasa iri yang tiba-t
ihatan bahagia,
itu kadang cuma di foto, Bu Lina
n mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti sesaat. Ada keh
dan berkata lirih, "Kadang kita cuma butu
mendengarnya. Ia tahu percakapan itu berbah
ukar pesan singkat. Awalnya hanya sapaan biasa, lalu menjadi obrolan panjang setiap malam. Mereka
lihat. Ia tidak lagi kebingungan soal uang belanja. Ada saja ala
k ayam goreng dan sambal terasi yang menggoda. Randi sempat heran, tapi tidak menanya
yang manis. Ia tahu sumbernya bukan dari kerja keras suaminy
k, memperbaiki atap bocor, atau sekadar mengganti sandal anaknya yang putus. Ta
tiap kali Randi kembali dengan wajah letih tanp
suatu malam sambil menatap punggung suaminya
nti bertemu Damar, meski hatinya tahu itu salah. Damar pun semakin berani. Kadang ia dat
lihat sesuatu dari balik jendela rumahnya. Lina dan Damar sedang berb
tidak bicara apa pun malam itu. Tapi sejak h
adar, telah menanam ben
ngannya, ada uang beberapa lembar yang baru diberikan Damar so
membakar seluruh hidupnya kapan saja. Tapi ketika bayangan wajah Randi melintgai," bisiknya lirih, seolah me
kebahagiaan yang benar-benar lahir dari kesalaha