Lelaki Itu Membeliku Bukan Mencintaiku
seolah membersihkan kotoran yang menempel di sudut-sudutnya. Namun, tidak bagi Vania. Hatinya masih terasa kotor,
mpukan uang yang bisa melunasi semua hutang orang tuanya. Jumlahnya persis seperti yang ia sebutkan semalam, seratus juta rupiah. Vania hanya menat
-basi. Ia hanya menatap Vania sekilas, matanya dingin dan tak terbaca. "Rahasiakan kejadian ini," suaran
kan tidak repot-repot menoleh kembali. Pintu kamar tertutup dengan buny
untut dan menjijikkan, setidaknya memiliki sedikit sopan santun. Mereka mungkin memberikan uang dan pergi, tetapi tidak
memunguti gaunnya yang sudah robek, seolah kepingan harga dirinya turut tercerai-berai bersamanya. Dengan enggan, ia memakai
isa membuat adiknya tidak perlu mengalami penderitaan seperti dirinya. Tanpa ragu, ia meraih amplop itu dan memasukkannya ke dalam ta
mai oleh orang-orang yang bergegas menuju aktivitas pagi. Rasanya begitu ironis. Di saa
masuk dan menemukan Cinta, adiknya yang berusia tujuh tahun, terlelap di sofa ruang tamu. Rambutnya yang hitam
mengelus rambut adiknya dengan lembut. Ia melihat jam dinding. Sudah hampir jam enam pagi. Ia tidak tega membangunkan Cinta. Perlahan, ia menggendong tubuh kecil itu dan membawanya ke kam
hati, ia bangkit dan bersiap-siap. Hari ini adalah hari penting, ia harus ke kampus. Ia mengenakan celana jins dan kaus
u melihat sang kakak. "Kakak sudah pulang!" sapa Cinta riang. Ia menghambur k
berusaha menahan air mata. "Maaf, Sayang. Kakak lembur di rest
adiknya tahu pekerjaan kotor yang ia jalani. Ia tidak mau Cinta membencinya atau merasa malu. Ia hanya ingin Cinta tumbuh menjadi anak baik-baik, meraih
dengan semangat tentang teman-temannya di sekolah, tentang pelajaran matematika, dan tentang inginnya menjadi seorang dokter. Vania tersenyum,
ampus yang megah, bersih, dan penuh dengan mahasiswa-mahasiswi yang ceria. Di sini, ia adalah mahasiswi cerdas yang berdebat te
a bisik-bisik dari para mahasiswa. Vania tidak terlalu peduli. Ia sudah terb
dosen baru kit
u dengar dia
i! Yang penting
sih muda dan dari
bil pusing. Ia hanya ingin segera sampai di kelas, du
nya yang cerewet, melambaikan tangan padanya. "Vania! Sini! Kenapa baru datang?" ta
"Aku tidak tahu.
tanya dia mengajar mata kuliah Ekonomi Moneter. Wah
tampan atau tidak. Yang penting ia bisa lulus, mendapa
. Suasana di kelas menjadi hening. Semua mata tertuju pada pintu.
putih yang pas di tubuh atletisnya, celana kain hitam, dan rambut yang di
, mata itu, dan sikap dingin itu. Pria itu adalah Reza. Pria yang se
tatapan mengintimidasi. Vania menunduk, berharap pria itu tidak menyadari keberadaannya
i, semuanya. Nama saya Reza Mahesa. Saya akan mengajar mata kuliah Ekonomi Moneter. Saya tidak suka basa-basi. Saya hanya suka mahasiswa yang cerdas d
tubuhnya membeku. Tatapan Reza menyapu seluruh ruangan, dan seolah-olah waktu berhenti, mata mereka bertemu. Reza menatap Vania dengan tatapan
segalanya darinya kini akan menjadi bagian dari setiap harinya. Pria itu adalah dosennya, dan di dalam kelas ini, ia han
setiap tatapan dari pria itu mengingatkannya pada desahannya semalam? Malam itu, ia berharap ia tidak akan pern