Enam Bulan Dinikahi, Enam Kali Dikhianati
/0/26640/coverbig.jpg?v=50f7ee4506f813e18ca91fa1c40175e8&imageMogr2/format/webp)
h gading yang kukenakan terasa dingin di kulitku, sama dinginnya dengan tatapan Dito-pria yang duduk di sisiku di pelaminan. Dia adalah pilihan keluargaku, bukan pilihanku. Pe
tidak pernah aku minta. Dan selama itu pula, aku hidup sebagai istri hanya se
an yang masih utuh tak tersentuh. Aroma masakan yang seharusnya menggoda kini terasa basi di hidungku, menambah pahitnya kesendirian. Hanya ada satu piring kecil berisi nasi di hadapanku, kugenggam erat denguntuh di hadanku, dihancurkan oleh unggahan Instagram Story Luna yang begitu terang-terangan. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ponsel di genggamanku memancarkan cahaya redup, menampilkan dua sosok yang terlalu akr
beratus-ratus kali mungkin, aku telah mengingatkan diriku untuk sabar. Kata itu, "sabar," telah menjadi mantra yang kuucapkan setiap kali air mata mendesak ingin kel
pertemuan amal dan memutuskan untuk menjemput Dito di kantornya. Saat aku melangkah masuk ke lobi hotel, tempat kantornya berada di salah satu lantai atas, pemandangan itu men
angkahku mantap, meski jantungku berdebar kencang. Ketika aku berdiri tepat di hadapan mereka, satu kalimat sederhana meluncur dari bibirku
tku merasa kecil dan tak berarti. Dan kemudian, lirikan jijik dari Dito, tata
tu, suaranya menusuk lebih dalam dari pisau apa pun. "Aku menik
mbal dari ambisi keluarga, tumbal dari perjodohan yang kejam ini. Aku adalah orang yang dikorbankan
mana Luna sering datang ke rumah saat aku sedang keluar. Katanya mereka hanya membahas proyek Dito, urusan pekerjaan yang penting. Tapi siapa yang bisa percaya? Siapa yang bis
kembali pecah, lebih
tak terbantahkan yang menusuk indraku. Aku mencoba bersikap tenang, mencoba memadamkan api yang berkobar di dadaku. Dengan tanelihat ke arahku, seolah aku hanya patung tak bernyawa. Ia langsung duduk di sofa, menyalakan laptopny
ku menahannya. Aku sudah terlalu sering menangis. "Sampai kapan kau akan terus begini, Dito?"
dari pisau. "Aku tak pernah menginginkanmu. Harusnya kau sadar sejak awal," balasnya tajam, setiap kata adalah tam
ing. Aku tidak hanya tidak dicintai, aku dibenci. Sebuah kenyataan pahit yang jauh lebih menyakitkan daripa
kut bermain di arena itu? Dito tidak pernah memberiku kesempatan untuk bertanding, untuk memenangkan hatin
an karena aku menyerah. Tapi karena aku sudah terlalu kuat selama ini. Aku sudah menanggung beban in
egala misterinya, memb
ebuah ketenangan dalam sorot matanya yang seolah berkata, "Kau aman di sini." Pertemuan kami singkat, tak sengaja, namun entah mengapa,
t ia sendiri yang membuangku. Dia adalah pria yang terobsesi pada kontrol, pada kepemilikan. Baginya, a
yi yang membuatku penasaran sekaligus merasa takut. Aku tahu, perjalananku masih panjang. Tapi seti