JALAN PULANG
kade lalu. Di dalam gerbong kelas eksekutif, Karina duduk dengan tenang, meskipun perasaannya jauh dari kata tenang. Di luar jendela, pemandangan gedu
tuk tidak memikirkan Arman, pria yang dulu pernah menjadi dunianya. Wajahnya, senyumnya, tawa yang
lu pernah ia tinggalkan begitu s
uluh tahun telah berlalu, tapi perasaan bersalah itu masih segar seperti kemarin. Ia tidak pernah memberi penjelasan pada
ayahnya yang keras dan sering kali marah tanpa alasan yang jelas. Ayahnya adalah sosok yang dingin, sulit didekati, dan hubungannya dengan Karina selalu tegang. Ketika ay
rasa semakin berat. Karina tahu bahwa perjalanannya kali ini bukan sekadar untuk melihat ibunya yang sa
n patuh di bawah bayang-bayang ayahnya, dan sekarang terbaring dalam ketidakberdayaan. Hubungan Karina dengan ibunya selalu terasa jau
dekat dengan sesuatu yang tak terelakkan. Ia tahu bahwa saat ia melangkah keluar dari kereta nanti, semua kenangan itu akan
kereta, disambut oleh udara desa yang segar namun dingin. Bau tanah yang lembab setelah hujan membawa Ka
gong di kejauhan. Karina menatap sekitar, mencoba mengenali setiap sudut yang dulu begitu akrab, tapi kini terasa asing. Jalanan berdebu
cegah. Di depan gerbang rumah, ia berhenti, menatap bangunan tua itu dengan perasaan campur aduk. Ini adalah tempat di mana ia tumb
ya kehilangan sinar kehidupan yang dulu masih tersisa meski hidup penuh perjuangan. Melihat ibunya berdiri di sana, tubuh
pelan, nyaris seperti bisikan yang
atau bagaimana menghadapi semua ini. Kenangan masa kecil yang penuh konflik tiba-tiba terasa begi
enjenguk ibunya yang sakit. Ini adalah tentang menghadapi semua yang selama ini ia hindari-tentang cinta yan
kayu tua, dan suasana yang begitu sunyi. Aroma khas kayu yang lembap menyambutnya, aroma yang selalu mengingatkannya
at, seolah berusaha menahan tubuhnya yang rapuh agar tidak jatuh. Wajahnya tirus,
ang hampir tak terdengar. Matanya berkaca-kaca, p
ba menahan emosi yang mulai m
selama beberapa detik sebelum ibunya berg
dengan lembut, tetapi Karina bisa meli
uduk di sofa tua yang pernah menjadi tempat favoritnya dulu, tapi kini terasa tidak nyaman. Matanya tertuju pada meja kecil di samping sofa, di mana foto-foto lama keluarga masih tersusun
ecah keheningan. Suaranya terdengar datar,
tipis. "Ya, begini... penyakit ini semakin parah.
. Ia tidak pernah dekat dengan ibunya, tapi melihat wanita tua itu dalam keadaa
dengan pekerjaanmu di kota besar," jawab ibunya
alu merasa terjebak antara ambisi dan tanggung jawab, tentang bagaimana ia merasa bers
nya?" tanya ibunya tiba-tiba, memecah keheningan yang
ombang kenangan yang sulit diabaikan. Karinang dia, Bu," jawabnya dengan suara bergetar. Jantungnya
rti lebih dari yang dikatakan. "Dia masih tinggal di desa ini, Nak. Se
pada hari-hari sebelum ia meninggalkan desa, ketika ia dan Arman masih begitu dekat, ketika merek
-tahun, ia harus kembali mengh
ya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Ia tidak
ang. "Belum, Nak. Sepertin
rti pukulan. Menunggu? Apakah Arman benar-be
hal-hal yang belum selesai di antara kalian," sa
ama bertahun-tahun tiba-tiba terbuka kembali. Arman-nama itu tidak hanya
na. Terlalu banyak yang berubah," jawab Ka
s kembali ke tempat di mana semuany
nya ini bukan hanya tentang merawat ibunya. Ada sesuatu yang lebih dala
ambu