Sayang, Beri Aku Kesempatan Lagi!
Penulis:JODY ORTEGA
GenreRomantis
Sayang, Beri Aku Kesempatan Lagi!
Tamara mendongak dan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi setelah memikirkannya kembali, dia menutup mulutnya.
Satya memelototinya dengan wajah marah dan membukakan pintu untuknya.
Namun, Tamara tidak bergerak untuk masuk. Melihatnya masih berdiri diam, Aryani sedikit mendorongnya dan mendesak, "Tamara, tunggu apa lagi? Masuklah ke dalam mobil!"
Tamara menarik napas dalam-dalam dan tersenyum pada Aryani. "Nenek, ini sudah larut. Nenek seharusnya tidak keluar saat ini. Masuklah dan aku akan memberi tahu Nenek ketika kami sudah di rumah."
Rencana Tamara sederhana. Begitu Aryani kembali ke dalam rumah, dia akan pergi dengan berjalan kaki dan menelepon taksi untuk menjemputnya.
Sepertinya dia harus segera membeli mobil untuk dirinya sendiri agar bisa menghindari situasi seperti ini.
Satya berdiri di sana dengan ekspresi wajah datar dan tidak mengatakan apa-apa.
"Aku akan masuk setelah kalian pergi. Sekarang, masuklah ke mobil agar aku bisa kembali ke dalam," ucap Aryani sambil tersenyum seolah bisa membaca pikiran Tamara.
Tamara masih ragu-ragu sementara Satya kehilangan kesabarannya dan mendesak, "Masuk saja ke mobil!"
Tamara menghela napas tanpa daya dan masuk. Satya menutup pintu dan menoleh ke neneknya. "Nenek bisa kembali sekarang."
"Masuk ke mobil sekarang dan jangan memerintahku!" bentak Aryani dengan tidak sabar padanya.
Nada suaranya mengejutkan Satya.
Bagaimana beliau bisa memperlakukan mereka berdua dengan begitu berbeda?
Beliau adalah neneknya! Bukan nenek Tamara!
Namun, dia tidak bisa melawan kata-katanya, jadi dia masuk ke mobil dan pergi.
Di dalam mobil begitu hening sehingga mereka bisa mendengar napas satu sama lain.
Tamara tidak ingin berbicara dengan Satya atau bahkan berada di dekatnya. Jadi, begitu mobil berbelok di tikungan dan dia yakin Aryani tidak bisa melihat mereka lagi, dia berkata dengan dingin, "Hentikan mobilnya!"
Satya memandangnya dengan tatapan jijik. "Kenapa? Mau ke mana kamu? Apa ada pria yang sedang menunggumu di suatu tempat?"
Tamara menggelengkan kepalanya dengan mengejek dan tertawa. "Aku bilang hentikan mobilnya. Apa kamu berubah pikiran tentang perceraian kita dan menginginkanku kembali?"
Itu sudah cukup untuk membuat Satya berhenti. Dia menginjak rem dengan tiba-tiba dan mobil berhenti seketika.
Melihat Satya dengan wajah marah hendak mengatakan sesuatu, Tamara tersenyum tipis dan menyelanya. "Dengar, Satya, jika kamu ingin menceraikanku, lakukan dengan cepat. Aku mungkin berubah pikiran dan menghalangi kalian berdua untuk menikah. Jadi kusarankan kamu untuk bergegas."
Tidak lama setelah menyelesaikan kata-katanya, Tamara meletakkan tangannya di pegangan untuk membuka pintu, tetapi kemudian dia mengerutkan kening. Pintunya terkunci.
Dia berbalik untuk menatap pria itu dengan mengerutkan alis dan bertanya, "Apa maksudmu?"
Satya mencibir dan bertanya, "Apa menurutmu Nenek akan selalu berada di pihakmu?"
"Benar saja, kamu selalu mengira aku menjelek-jelekkanmu di hadapan Nenek." Tamara menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Tapi apa itu penting? Yang penting bagimu saat ini adalah mengeluarkanku dari hidupmu, kan? Dengar, Satya, beri aku tanggal yang pasti agar kita bisa menyelesaikan ini. Kapan kita akan menyelesaikan perceraian?"
Satya tidak menjawab pertanyaannya. "Apa kamu ingin Nenek mengetahuinya ketika kita bercerai?"
"Satya, kamu harus mengambil keputusan," ucap Tamara dengan tidak sabar. "Jika kamu takut pada segalanya, kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan perceraian ini. Tetapkan keputusanmu. Apa kamu ada waktu besok?"
Satya memalingkan muka dan berkata dengan dingin, "Aku sudah bilang akan meminta seseorang menghubungimu jika aku ada waktu. Sekarang keluar dari mobilku!"
"Oh yang benar saja, kuharap kamu tidak mengira aku ingin berada di mobilmu. Tidak perlu sombong karena aku benci berada di sini bahkan untuk satu detik pun," balas Tamara dan segera keluar dari mobil.
Kali ini pintunya tidak dikunci. Dia sengaja membiarkan pintu terbuka dan menggoda pria itu sambil tersenyum, "Selamat tinggal, Pak Satya."
"Tamara!" teriak Satya melalui gigi terkatup.
Namun, Tamara tidak peduli. Dia mencibir dan berbalik tanpa menoleh ke belakang. Kemudian dia menghilang menuruni gunung, mengambil jalan yang hanya bisa dilalui satu orang.
Dua jam kemudian, Satya kembali ke perusahaan.
Ponselnya berdering dan dia menjawab setelah dering pertama seolah-olah dia telah menantikan panggilan telepon itu.
"Pak Satya, saya mengikuti Tamara menuruni gunung, tapi saya tidak melihat siapa pun dan dia tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan," lapor orang di ujung telepon.
Mendengar ini, wajah Satya menjadi muram.
Dia sangat marah karena Tamara sengaja membuatnya kesal tadi.
"Jangan awasi dia lagi!" perintah Satya tiba-tiba.
Pria itu tertegun sejenak, tetapi dia dengan cepat sadar kembali dan berkata, "Baik."
Setelah itu, Satya menutup telepon dengan kesal. Dia tidak ingin mendengar apa pun yang berhubungan dengan Tamara lagi. Hal itu hanya akan membuatnya marah.