Penyesalan Sang Miliarder: Mantanku Terlalu Menawan
Penulis:SANDRA BLACK
GenreRomantis
Penyesalan Sang Miliarder: Mantanku Terlalu Menawan
Bau alkohol menyengat hidung Loraine ketika napas panas Marco menyembur ke wajahnya. Wajah pria itu begitu dekat dengannya.
Dia segera menoleh dan mengerutkan hidungnya dengan jijik, kemudian dia bertanya dengan sinis, "Apa kamu di sini untuk bekerja? Karena tampaknya kamu lebih antusias dibanding para pendamping ini. Berapa tarif yang kamu pasang agar wanita-wanita di sini bisa berhubungan seks denganmu?"
Di bawah pengaruh alkohol, Marco berseru, "Tubuhku bernilai triliunan, jika kamu sangat ingin tidur denganku, kamu harus membayarku setidaknya 200 miliar. Apa kamu mampu?"
Dalam hati, Loraine tertawa. 'Tentu saja dia mampu. Baginya, 200 miliar hanya seperti membeli pakan ayam!'
Semua perkataan yang dilontarkan pria itu membuatnya kesal. Dia mendorongnya menjauh dan mencibir, "Sayangnya, aku tidak akan berhubungan seks dengan pria yang telah memasukkan barangnya ke wanita lain. Jika aku boleh jujur, tubuhmu tidak bernilai lebih dari puluhan ribu rupiah!"
"Apa?!" Ekspresi Marco menjadi suram saat itu juga. Dia mengulurkan tangan untuk meraih Loraine, tetapi wanita itu mengelak tepat waktu.
"Kita telah bercerai, ingat? Aku akan sangat berterima kasih jika kamu tidak pernah muncul di hadapanku lagi. Selamat tinggal!" cibir Loraine, kemudian dia berbalik dan pergi.
Semua pendamping pria yang menyaksikan adegan itu dengan ketakutan segera mengikuti Loraine di belakangnya. Mereka takut Marco akan melampiaskan amarahnya pada mereka.
Loraine menemukan Jennie di meja depan. Dia menghela napas dengan rasa kesal yang terlukis jelas di seluruh wajahnya.
"Jennie, kenapa kamu lama sekali? Apa kamu sudah memberi tahu manajernya bahwa kita tidak memerlukan pendamping?"
Melihat para pendamping pria itu mengikuti Loraine sampai ke sini, Jennie melambai pada mereka dan memerintahkan, "Oke, kalian sudah bisa pergi sekarang."
Mendengar perintah itu, mereka langsung bubar dan menghilang dalam sekejap mata.
Pemandangan ini membuat Jennie terkejut. Dia menoleh ke arah Loraine dan bertanya, "Apa yang kamu lakukan pada mereka? Aku paham kamu tidak ingin berurusan dengan mereka, tapi kamu seharusnya tidak menakuti mereka."
Loraine menghela napas tak berdaya, dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Alhasil, dia hanya berkata, "Bisakah kita pergi sekarang?"
Sementara itu, Marco masih menatap ke arah di mana Loraine pergi. Matanya membara karena amarah dan kedua tangannya terkepal.
Dia berbalik untuk melihat ke nomor bilik di mana Loraine barusan berada. Setelah itu, dia langsung menemui manajer bar dan menginterogasinya.
"Tuan, pelanggan di bilik itu sudah meminta para pendamping pria untuk pergi," jelas sang manajer, keringat mulai membanjiri tubuhnya. Dia berisiko kehilangan pekerjaannya dan harus meninggalkan Kota Vagow jika Marco marah padanya.
Ketika mendengar ini, mata Marco menyipit. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat pada manajer itu untuk segera pergi. Untuk waktu yang lama, dia bersandar di konter bar tanpa ditemani oleh siapa pun sambil mencibir dalam benaknya.
Sepertinya dia terlalu berlebihan memikirkan semua ini. Loraine menolak untuk mengambil sepeser uang pun darinya. Selama mereka menikah, dia adalah ibu rumah tangga penuh waktu. Jadi, bagaimana dia bisa menyewa sebuah bilik di sini?
Apa mungkin wanita itu sengaja datang ke bar ini karena tahu bahwa dia ada di sini? Apa semua ini hanyalah taktik untuk mendapatkan perhatiannya?
Tiba-tiba, Marco tersentak kembali ke kenyataan ketika ponsel di sakunya bergetar. Dia mengira yang meneleponnya adalah Loraine, tapi ternyata itu Keely.
Marco memijat pelipisnya sebelum menjawab panggilan tersebut. Keningnya langsung berkerut ketika ratapan Keely menyambutnya.
"Marco, kamu tidak menemuiku selama berhari-hari. Apa kamu masih marah padaku? Aku sudah meminta maaf, aku begitu kesepian di rumah sakit. Kumohon, datanglah ...."
"Ada para dokter dan perawat di rumah sakit. Kamu bisa meminta ditemani mereka!" Marco memotong ucapannya dengan tidak sabar.
Tangis Keely pecah saat mendengar pria di ujung sambungan membentaknya. "Namun, mereka bukan kamu, Marco. Kumohon jangan marah padaku, aku tahu Loraine ingin menceraikanmu karena aku. Aku akan melakukan apa saja agar kamu mau memaafkanku. Bahkan jika kamu mau, aku akan pergi untuk meminta maaf langsung padanya."
Marco terdiam. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Kamu memang berutang permintaan maaf pada Loraine, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Kami sudah bercerai."
Perkataan Marco seperti kembang api yang meledak tak terkendali di hati Keely, dia tidak bisa menahan kegembiraannya.
"Itu bagus!" Akan tetapi, dia langsung sadar bahwa responsnya barusan tidak tepat, jadi dia segera mengklarifikasi ucapannya. "Maaf, maksudku kurasa agak aneh karena dia melakukannya secepat ini. Apa dia meminta sesuatu padamu?"
Keely masih sulit untuk percaya bahwa Loraine menceraikan Marco begitu saja. Dia curiga wanita itu berniat mengambil banyak uang dari Marco melalui kompensasi perceraian mereka.
Sambil mengerutkan kening, Marco memberi jawaban dengan dingin, "Tidak, bahkan tidak satu sen pun."
"Hah? Bagaimana mungkin? Wanita miskin itu selalu bergantung padamu selama tiga tahun ini. Bagaimana dia bisa bertahan hidup di luar sana tanpa mengambil sepeser pun darimu?"
Keely benar-benar dibuat tidak percaya atas fakta ini. Sebelum otaknya bisa mencerna dengan baik, Marco berkata tegas, "Aku sibuk, jangan meneleponku kecuali kamu memiliki sesuatu yang penting untuk disampaikan."
Sambungan langsung terputus pada detik berikutnya.
Marco meletakkan ponselnya ke meja dengan kesal. Panggilan telepon tadi membangkitkan rasa penasarannya lagi. Bagaimana Loraine bisa bertahan hidup dengan usahanya sendiri ketika dia tidak membawa sepeser pun uangnya?
Setelah memikirkan ini sejenak, dia akhirnya mengirim pesan ke Carl.
"Atur seseorang untuk mengawasi Loraine. Aku ingin tahu setiap gerak-geriknya. Setiap kali dia melamar pekerjaan, atur agar dia dipekerjakan di Grup Bryant."
Sementara itu, Keely begitu gembira meski mendapat peringatan keras dari Marco barusan.
Perceraian itu adalah awal yang baik untuknya. Dia telah menantikan hari ini untuk datang. Akhirnya, tiba juga gilirannya untuk mengambil posisi yang selalu diinginkannya.