/0/15744/coverorgin.jpg?v=06abe3e55eacaf5d8b461595cbfda95e&imageMogr2/format/webp)
"Aku tak pernah menyangka, setelah empat puluh tahun, kebenaran bisa terungkap dari tablet cucuku."
Niat hati ingin mengunduh lagu anak-anak di tablet baru cucu, jari saya malah tak sengaja membuka folder bernama "Proyek Riset".
Isinya bukan dokumen kerja, melainkan ribuan foto mesra suami saya dengan sahabat karib saya sendiri, Wulandari, di berbagai negara selama empat puluh tahun terakhir.
Ternyata, "perjalanan dinas" suami saya selama ini hanyalah kedok untuk bulan madu abadi mereka, sementara saya di rumah menjadi babu gratisan.
Yang lebih menghancurkan hati, saya menemukan video anak kandung saya, Rizal, sedang tertawa lepas membantu Wulandari mengangkat lukisan berat.
Padahal seminggu lalu, dia menolak membantu saya menggeser lemari dengan alasan "saraf kejepit".
Di video itu, Rizal mencium pipi pelakor itu dan berbisik, "Mama yang seharusnya."
Dunia saya runtuh seketika.
Rupanya, karena Wulandari mandul, mereka bersekongkol menjadikan saya "inkubator" hidup untuk melahirkan keturunan bagi keluarga terpandang suami saya.
Saya hanyalah wanita desa polos yang dimanfaatkan, tidak dicintai, dan diam-diam dihina oleh suami dan anak sendiri.
Mereka pikir saya akan diam demi reputasi dan takut hidup miskin?
Salah besar.
Hari itu juga, saya mengemasi barang, menuntut cerai, dan menguras harta gono-gini yang menjadi hak saya.
Saya pergi ke Bali, menjadi penenun sukses yang dipuja ribuan orang.
Dan ketika mereka datang mengemis di kaki saya setelah hancur lebur dan kehilangan segalanya, saya hanya tersenyum dingin dan menutup pintu selamanya.
Bab 1
SUDUT PANDANG SITI PRIBADI:
Tablet baru cucu saya, Rara, berkedip di tangan saya. Layarnya menyala, memuntahkan rentetan gambar yang merenggut napas saya. Ini tablet barunya, saya hanya ingin mengunduh beberapa lagu anak-anak untuknya. Jari saya tidak sengaja menyentuh ikon galeri.
Saya melihat sebuah folder. Namanya "Proyek Riset".
Teguh, suami saya, sering bepergian untuk "riset budaya". Selalu begitu. Saya selalu percaya padanya.
Saya membuka folder itu.
Gambar pertama adalah Teguh, tertawa bebas. Di sampingnya, Wulandari. Sahabat karib saya. Mereka berdua dalam pakaian santai, di sebuah pantai. Air laut yang biru berkilauan di belakang mereka, matahari terbenam mewarnai langit dengan jingga dan ungu.
Jantung saya berdegup kencang. Bukan, tidak mungkin. Ini pasti hanya kebetulan. Mungkin mereka bertemu di acara riset yang sama.
Saya menggeser ke gambar berikutnya. Mereka berdua lagi, kali ini di sebuah restoran mewah. Wulandari memegang tangan Teguh, tersenyum genit. Teguh membalas senyumnya, tatapannya penuh gairah. Tatapan yang tidak pernah saya lihat lagi selama bertahun-tahun.
Tangan saya mulai gemetar. Gambar-gambar itu terus bergulir. Setiap gambar lebih menyakitkan dari yang sebelumnya. Mereka berpelukan di depan piramida Mesir. Mereka berciuman di bawah Menara Eiffel. Mereka berpegangan tangan di jalanan Tokyo, di pasar Marrakech, di tepi Grand Canyon.
Ini bukan riset. Ini adalah perjalanan cinta.
Selama empat puluh tahun.
Saya melihat tanggal pada setiap foto. Itu adalah tanggal-tanggal yang sama saat Teguh bilang dia sedang "perjalanan dinas". Perjalanan yang selalu dia habiskan untuk "riset budaya" yang penting. Saya selalu menyiapkan kopernya, memastikan semua keperluannya terpenuhi.
Saya menyiapkan pakaiannya, membungkus camilan favoritnya, bahkan menuliskan daftar obat-obatan jika dia sakit. Saya menganggap itu adalah tugas seorang istri.
Selama empat puluh tahun, saya telah hidup dalam kebohongan.
Bukan hanya Teguh. Wulandari. Sahabat karib saya. Orang yang selalu saya percaya. Orang yang selalu saya ajak berbagi cerita tentang Teguh, tentang anak kami, Rizal. Dia selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan nasihat.
Betapa bodohnya saya.
Napas saya tercekat. Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas paru-paru saya.
Lalu saya melihat sebuah video. Itu adalah video pendek, diambil di sebuah galeri seni. Wulandari sedang menata patung, tertawa lepas. Rizal, anak saya, ada di sana. Dia membantu Wulandari memindahkan sebuah lukisan besar.
"Aduh, Mama Wulan ini maunya apa lagi sih?" Rizal menggerutu, tapi ada senyum di bibirnya. "Capek banget ini pinggang Rizal."
Wulandari tertawa, lalu menepuk punggung Rizal. "Astaga, anak bungsu Mama ini manja sekali. Kan demi seni, Sayang."
"Iya, iya, deh. Tapi pinggangku ini kan lagi sakit saraf kejepit, Ma." Rizal pura-pura mengerang kesakitan.
Saya ingat. Baru minggu lalu. Saya meminta Rizal membantu saya menggeser lemari dapur yang berat. Saya ingin membersihkan bagian bawahnya.
"Ma, Rizal ini lagi sakit pinggang parah," katanya waktu itu. "Saraf kejepit, katanya dokter. Enggak bisa angkat berat-berat. Nanti makin parah."
Saya percaya padanya. Saya bahkan memijat punggungnya, membuatkan ramuan herbal untuknya.
/0/30642/coverorgin.jpg?v=41240a2e48e1064cb6b8ed23eee2d95d&imageMogr2/format/webp)
/0/10344/coverorgin.jpg?v=826acfb2dcf815c4d1b29170dd0a1274&imageMogr2/format/webp)
/0/15086/coverorgin.jpg?v=ed932dc4c3e6e491002255cee070dc9e&imageMogr2/format/webp)
/0/13070/coverorgin.jpg?v=956c28f2db34b6587c27c621746bec69&imageMogr2/format/webp)
/0/5278/coverorgin.jpg?v=8c99a0d62ab00316f0e8158283e52f2f&imageMogr2/format/webp)
/0/21861/coverorgin.jpg?v=0f4e65363e281e89be22227c20075f20&imageMogr2/format/webp)
/0/24866/coverorgin.jpg?v=f7065baf7f62da0e74ee8bf6ac37822d&imageMogr2/format/webp)
/0/27133/coverorgin.jpg?v=a234caac6ad81c4ec9981831ae69d9b6&imageMogr2/format/webp)
/0/2287/coverorgin.jpg?v=aa8b619f19e4c975cb5f12070b94f9b5&imageMogr2/format/webp)
/0/2427/coverorgin.jpg?v=bb1335dffe278bb11ddc1413dda3e2da&imageMogr2/format/webp)
/0/13940/coverorgin.jpg?v=2462ec44eb93b90203506e20b87dd19a&imageMogr2/format/webp)
/0/18360/coverorgin.jpg?v=0b2e1603fbce88128ccb2ce7e9ed3e5d&imageMogr2/format/webp)
/0/5299/coverorgin.jpg?v=f04d288bec7c84c404fec4565ec4f6e8&imageMogr2/format/webp)
/0/16587/coverorgin.jpg?v=d6a1eb443b28ce89fe6806ee21a3d75a&imageMogr2/format/webp)
/0/27977/coverorgin.jpg?v=0968e8b5527c6f6ef206c7938937141a&imageMogr2/format/webp)