Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
"Sera, bersaing di dunia modeling itu sulit, bahkan kamu udah buka-bukaan kaya gini pun tetep aja sulit. Ehm, begini aja, gue ada kenalan pejabat yang kemarin nanyain lo. Semalam bisa nyampe 60 juta, gue sih paling cuma minta duit bensin doang. Gimana, mau?"
Seraphine Sarasvati yang memakai masker dan pakaian formal menatap lelaki flamboyan di hadapannya dengan sepasang mata kucing menyipit. Gadis yang berprofesi sebagai model gravure itu mengangkat tangannya sekedar tuk memberi gestur agar lelaki di hadapannya berhenti bicara sebelum dia membuka masker.
Ketika masker itu dilepas, hidung mungil dengan bibir merah alaminya terlihat menahan amarah.
"Coba sekali lagi lo ngomong!" tantang Sera.
"Open BO Beb, santai lo jangan tersinggung gitu ya! Tujuan lo jadi model seksi ini kan pasti buat ngegoda laki-laki kaya di luaran sana, kan?" jawab lelaki itu terkekeh.
Sera mengambil minuman di atas meja tuk dia tumpahkan di atas kepala lelaki yang sering memberinya pekerjaan. Sera tahu karir modelingnya akan makin sempit ketika dia melakukan hal sebarbar ini, tetapi tidak ada belas kasihan untuk lelaki yang memandang sebelah mata dirinya.
"SERA! ASTAGA!!!" teriak Hani—manajer Sera, secepat angin menyerbu posisi Sera di kursi restoran paling ujung.
Dengan cepat Hani memeluk pinggang ramping Sera tuk dia jauhkan dari Hardian—lelaki yang kini basah setelah dibasuh segelas es jeruk.
"Sekali lagi lo nawarin pekerjaan menjijikan kaya gitu, gue mandiin lo pake kopi panas!" teriak Sera memaki. Tangannya menunjuk-nunjuk wajah Hardian yang sekarang shock tak bisa berkata-kata.
Hani menyeret tubuh Sera menjauhi posisi Hardian.
"Lo tolol ya?" teriak Hani menghempaskan tubuh Sera di kotak lift. Sera sontak menepis tangan Hani di lengannya. Perempuan ber-make up tipis itu menggerutu dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Tolol? Dia ngajak gue ketemuan bukan mau kasih kerjasama modeling Han, tapi nawarin open BO, udah gila kali ya," maki Sera. "I know, kerjaan gue sekarang sepi. Tapi dia kurang ajar banget ngira tubuh gue bisa dibeli."
"Bukannya selama ini lo jual tubuh ya?" tanya Hani membuat Sera terdiam. "Secara implisit tentunya. Selama ini lo jadi model gravure—pose sana sini cuma pake bikini, itu bukan jual tubuh?"
"Seenggaknya gue dinikmati secara seni, bukan disewa buat puasin laki-laki enggak jelas," jawab Sera mendesis.
"Jangan sok idealis Ra! Kalau sampai bulan depan lo enggak dapat kerjaan, lo mau diusir dari apartemen harga selangit lo itu?"
Sera terdiam.
"Sebagai manager yang atur keuangan lo, bulan ini emang paling miris."
Sera ingin mengumpat. Hani benar-benar menjadikan dirinya sebagai manager—yang mengurusinya karena uang. Benar-benar sialan!
"Lo harus bayar sewa apartemen, cicilan mobil mewah lo, beli make up, baju-baju sampai makanan diet yang enggak murah. Lo yakin bisa?"
Sera melenguh. Kedua tangannya sudah terangkat siap mengacak-acak rambut kala denting lift membuat mereka terdiam, lalu putuskan berjalan keluar.
Seraphine begitu lenjang. Tubuhnya tinggi semampai dengan wajah lonjong bergaris rahang tegas. Mata kucingnya adalah daya tarik seorang Lovita Seraphine di dunia gravure. Kulit putihnya pun mudah sekali didandani sehingga dia sering mendapat job menjadi tokoh anime.
Namun sungguh sial, sudah lama sekali sejak Sera mendapat uang dari modeling.
Hani benar, keuangannya benar-benar di ujung tanduk. Dan sialnya, gaya hidupnya yang tinggi seperti tali yang akan mencekiknya jika tak lekas dipikirkan bagaimana cara membayar segala biaya.
"Terus lo sebagai manager, nyaranin gue jual diri gitu, hah?" seru Sera setelah membanting pintu taksi. Mereka memasuki taksi yang Hani cegat di pinggir bangunan restoran tempat Sera dan Hardian bertemu.
"Why not? Lo bukan perawan! Realistis aja say, lo mau hidup baik ya harus ada yang lo korbankan. Lagipula ini Jakarta, enggak usah sok suci!"
Sera menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Sungguh berat sekali masalah jobless ini. Seraphine adalah yatim piatu yang sudah belasan tahun hidup mandiri. Dia tak punya keluarga. Jadi ketika dia tak ada tawaran menjadi objek foto atau modeling, maka bisa dipastikan dia akan menjadi gelandangan.
Sera tak punya ijazah universitas sebab sejak lulus SMA dia sibuk bekerja menghidupi diri sendiri.
Kadang-kadang, Sera iri dengan kehidupan banyak orang. Terutama anak orang kaya. Mereka dengan mudah hidup tanpa merasa cemas akan esok hari.
Menurunkan kaca jendela sampai mentok, Sera melihat ibukota pada malam hari. Beberapa orang hilir mudik di trotoar. Ada yang baru pulang bekerja dan ada yang sedang bermain. Ada yang sedang menunggu angkutan umum dan ada pula yang sudah ditunggu supir pribadi.
Kehidupan yang sangat indah.
Mereka bahkan tak perlu seperti Sera—membiarkan tubuhnya dipamerkan demi sebuah bayaran. Dan sayangnya, pekerjaan yang selama ini menghidupinya pun tak berlangsung lama.
"Oh ya Ra, dari kemarin ada yang minta nomor lo. Katanya bukan urusan kerjaan," kata Hani membuyarkan lamunan Sera.
Sera semakin melenguh. Kalimat 'katanya bukan kerjaan' semakin menyakitinya. "Capek deh."
"Bilangnya atas nama Sari," tambah Hani dengan suara enteng.
Sera seketika membeku mendengar nama itu. Gestur tubuhnya tiba-tiba kaku.
"Nga—ngapain? Gue enggak mau berurusan sama nama itu lagi!" tanya Sera setelah sekian lama hanya diam.
"Dia enggak ngasih tahu alasannya. Kayaknya penting banget sampe enggak bisa diomongin sama gue."
"Udah biarin aja. Blokir kalau perlu!" Ucapan Sera begitu tegas. Tak mau dibantah.
"Serius? Takutnya keluarga lo?"
"Lo tahu gue enggak punya keluarga," gerutu Sera.
Hani mengedikkan bahunya.
Sera tidak akan peduli. Sari sudah dia buang dari akal sehatnya. Kepeduliannya pada perempuan itu sudah lenyap sejak terakhir kali Sari tega meninggalkannya sendirian di ganasnya Ibu kota.
***
SEBUT ini putus asa, tetapi Sera seperti menjilat ludahnya sendiri. Baru 3 hari lalu dia mempermalukan Hardian yang menawari pekerjaan menjual diri, sekarang Sera sudah berdiri di depan ruangan ekslusif bar yang biasanya dihuni tamu-tamu VIP.
Sera seketika mulas. Dia ingin melarikan diri, tetapi tagihan uang sewa apartemen lebih membuatnya malas.
"Its okay Ra, cuma 1 jam. Dan lo cuma dengerin cerita om-om mesum. No kiss, no make out apalagi seks. Mudah, kan?" Sera mengingatkan dirinya.