Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
TBE 01
Rinai hujan yang turun sejak sore hari membuat udara makin terasa dingin. Suasana di luar sangat sepi dan sunyi, yang terdengar hanyalah suara binatang malam yang saling bersahut-sahutan.
Jemariku bergerak menutup layar laptop, dilanjutkan dengan merentangkan tangan dan menggeliat hingga tulang belakang berbunyi gemeretak. Mata yang terasa lelah menagih untuk diistirahatkan, tetapi aku masih belum mengantuk dan memutuskan untuk berpindah ke tempat lain.
Aku bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu balkon kamar yang terbuka lebar. Mengayunkan tungkai hingga tiba di dekat pagar pembatas dan menyandarkan tubuh. Kedua siku diletakkan di pagar dan dagu ditumpangkan ke telapak tangan. Memandangi sekeliling yang tampak gelap, meskipun sudah ada lampu sorot di empat titik halaman, tetapi cahayanya ternyata tetap tidak mampu menembus pekatnya malam.
Kletak.
Kletak.
Kletak.
Bunyi hak sepatu terdengar dari koridor depan pintu kamar, yang diiringi dengan ketukan yang selalu bernada dan berjumlah sama, seakan-akan merupakan kode bahwa pengetuk itu memberitahukan kedatangannya.
Aku memejamkan mata selama beberapasaat, menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Membuka mata kembali sambil membalikkan badan dan jalan dengan langkah sedikit diseret menuju pintu. Sepersekian detik memegang gagang benda besar bercat cokelat itu sebelum memutarnya dan pintu terbuka.
"Hai, Mas. Aku cantik, nggak?" tanya sang tamu sambil memutar tubuhnya bak balerina.
Aku memutar bola mata dan menatapnya dengan malas, kemudian menjawab, "Iya, cantik.
Sudut bibirnya yang dipoles lipstik merah itu melengkungkan senyuman, memamerkan gigi putih yang berbaris rapi. Wajahnya yang putih tampak sedikit berbintik-bintik di tulang pipi, tetapi tetap tidak mengurangi keelokan parasnya. Rambut panjang sepunggung itu tampak diterbangkang angin kencang yang entah muncul dari mana, hal yang selalu terjadi bila dirinya mengunjungiku.
Selama beberapa saat kami saling beradu pandang, sebelum kemudian dia mengangkat alis, gaya khasnya bila ingin mengatakan sesuatu yang sudah bisa ditebak olehku.
"Kita keluar, yuk?" ajaknya dengan nada suara yang terdengar manja.
"Nggak mau, aku capek," sahutku.
"Sebentar aja. Cuma duduk di taman itu," rayunya sambil mengedipkan mata yang dihiasi bulu mata lentik dan panjang yang kutahu adalah asli, bukan palsu.
Perempuan berambut panjang itu merengut, mungkin kesal melihatku tetap bergeming untuk menolak ajakannya. Tiba-tiba dia menarik tangan kananku dengan gerakan cepat dan menggusur tubuhku hingga keluar dari kamar.
Aku sama sekali tidak menduga bila perempuan berperawakan sedang seperti dirinya bisa mengeluarkan tenaga menarik yang besar dan kuat. Sekali-sekali kaki atau tanganku tersangkut perabotan berbahan jati di sepanjang koridor. Namun, dia tidak peduli dan terus menarik.
Sesampainya di halaman dia mengajakku duduk di bangku panjang, tepat di depan kolam ikan kecil di sudut kanan. Perempuan yang kali ini mengenakan gaun merah itu menyejajarkan kaki sembari memijat betisnya.
"Makanya, jangan gegayaan pake hak tinggi segala," ledekku seraya tersenyum lebar.
"Aku cuma ingin tampil cantik dan anggun di depanmu," sahutnya sembari mendelik dan mengerucutkan bibir. Tampak lucu dan menggemaskan.
"Kenapa harus begitu?"
Perempuan itu memutar bola mata yang membuatku nyaris tak bisa menahan tawa. Sebetulnya tanpa diungkapkan pun aku sudah mengetahui alasannya, tetapi aku tetap berpura-pura tidak tahu agar bisa menggodanya lebih lama.
Sejenak suasana hening, yang terdengar hanya gemericik air dari kolam dan ditingkahi suara katak yang sepertinya berjumlah cukup banyak di seputar tempat ini.
"Mas," panggilnya.
Aku bergeming.
"Mas!" ulangnya dengan suara yang naik satu oktaf.
Aku tetap bergeming, hingga tiba-tiba dia memalingkan wajahku dengan paksa sampai kami saling berhadapan. Aku mengangkat alis saat melihat bibirnya mencebik.
"Kalau dipanggil itu harus jawab!" titahnya dengan suara ketus.
Aku tetap mempertahankan raut wajah tenang karena tahu bila emosinya itu akan cepat mereda. Perlahan aku menarik kedua tangannya dari wajah dan mengusap punggung tangan yang terasa dingin itu dengan santai.
Selama beberapa detik berikutnya kami saling menatap satu sama lain, kemudian dia memajukan wajah dan mendaratkan kecupan di pipi kananku sekilas. Perempuan itu tampak mengulum senyum sembari kembali pada posisi semula.
Tanpa sadar aku pun turut tersenyum. Merasa lucu dengan tingkah hantu yang ternyata bisa malu-malu. Seperti halnya dia, hantu perempuan bergaun merah bernama Viana.