Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Kejam! Ini terlalu kejam untukku. Sangat tidak adil. Kenapa dia bisa setega itu?” tangisku pecah tak terkendali begitu mendapati kenyataan bahwa suamiku telah mendua.
“Tenangkan dirimu, Nduk …” pinta Budhe Lastri sambil berusaha memelukku yang berontak tak dapat mengendalikan diri.
“Mereka biadap, Budhe. Bagaimana mungkin adik kandung dan suamiku bisa setega itu? Mereka manikamku dari belakang. Adik yang aku besarkan penuh kasih sayang, ternyata begitu picik!” pekikku keras. “Mengapa harus dia yang menjadi selingkuhan suamiku? Mengapa?!”
Aku semakin histeris, rasanya tak sanggup menerima kenyataan.
*****
Ini adalah kisah tentang air mata. Hati yang tercabik luka. Kenyataannya, hidup tak melulu tentang tawa. Alir hidup di dunia nyata tak seperti dalam drama. Di mana selalu ada cercah bahagia setelah duka melanda. Kata mereka yang bijak, ketika Tuhan menyayangimu, maka jalanmu semakin terjal. Ujianmu akan semakin berat dan berliku. Kesedihan dan pilu akan sambung-menyambung tanpa putus. Lalu kebahagiaan, hanya akan datang ketika negeri akhir telah membayang.
Ah, entah aku harus percaya atau tidak dengan petuah orang-orang bijak yang telah banyak makan garam kehidupan. Kadang, aku merasa bahwa mereka hanya sedang berusaha menghiburku yang menyedihkan. Memberi setitik harapan semu sebelum aku mati kelu. Namun, dengan jelas aku tahu, kisah sedih ini bagai bayangan yang tak lepas dari hidupku. Mengikatku dengan erat, semakin berat dan penat.
Tuhan menyayangiku? Adakah yang bisa memberi jawaban pasti tentang pertanyaan itu? Aku rasa, selama menyandang status sebagai makhluk, tak akan ada yang bisa menjawabnya dengan segala kepastian. Mereka yang jujur hanya mampu memberi kemungkinan. Mungkin iya, mungkin tidak!
Aku yang tahu betapa kotornya diriku. Selalu merasa bahwa ujian panjang ini bukan karena Tuhan menyayangiku, tetapi sedang marah padaku. Aku yang seorang pendosa, mana pantas hidup bahagia. Iya, aku adalah manusia bunglon yang pandai berpura-pura. Dunia ini adalah panggung teater, tempatku menipu dalam semu. Siapa yang aku tipu? Orang-orang di sekelilingku? Tidak, bukan mereka. Lebih tepatnya aku sedang menipu diriku sendiri, dan mungkin aku sedang mencoba menipu Tuhan. Lihatlah, betapa naif dan pendosanya diriku. Bahkan Tuhan pun ingin aku tipu. Bukankah ini cukup untuk membuat Tuhan marah padaku?
Hahaha .... Apakah aku sudah gila? Mungkin iya. Aku sudah tidak tahu lagi di mana batas normal dari sebuah kewarasan. Pedih dan perih seperti nasi dan lauk yang aku telan setiap hari. Ini cukup untuk bisa membuatku tertawa dengan kubangan air mata. Atau sebaliknya, hati menangis menjerit, tetapi bibir tersenyum ceria bak orang paling bahagia.
Aku yakin, sebagian pasti mengira ini adalah bualan. Sebuah hiperbol untuk mendramatisir cerita. Sayangnya, ini adalah kisah nyata. Kisah sedih yang pilu dalam kehidupan. Tak ada pilihan kecuali menjalaninya. Merangkai hari dengan air mata. Menyulam waktu yang sunyi dengan kidung hati yang mengurai kecewa dan tangis sembilu. Kisah tersembunyi dibalik ketegaran palsu. Jiwa yang kering dengan harapan yang hampir pupus. Aku, Ayu Wulansari, pemilik cerita sendu yang usang ditelan waktu.
*****
Aku hanya bisa menangis meratapi nasib. Menertawakan diriku yang harus tetap tersenyum tegar di hari pernikahan adikku. Adik satu-satunya yang begitu kusayangi. Bagaimana tidak, selepas orang tuaku meninggal, hanya dia yang aku miliki. Ya, kami yatim piatu. Ibu meninggal ketika melahirkan adikku. Sedang bapak, telah berpulang kepangkuan Sang Khaliq ketika usiaku genap dua puluh tahun. Sejak itu, aku hanya hidup berdua bersama adikku. Aku bekerja keras agar kami bisa hidup dengan layak. Tentunya, aku juga harus membiayai adikku yang kala itu masih duduk di bangku SMP.
Kembali pada pernikahan adikku. Mengapa aku menangis di hari bahagianya? Bukankah seharusnya aku ikut bahagia? Normalnya begitu. Namun sayangnya, hidupku sudah tidak normal lagi. Apalagi ketika melihat siapa yang hendak menikahi adikku. Laki-laki itu, dia adalah orang yang aku cintai. Ayah dari anakku. Namun kini, aku harus merelakannya menikahi adikku. Dia yang tadinya suamiku, kini akan menjadi adik iparku.
“Wulan, yang sabar, Nduk …” kata Budhe Lastri, tetangga sebelah rumah.
Aku hanya bisa tersenyum kecut mendengar nasihat itu. Sabar? Sampai kapan aku bisa bertahan untuk bersabar? Hidupku sudah terasa bagai di neraka. Aku tersiksa. Ingin menangis, berteriak, dan marah. Tapi marah pada siapa? Adikku? Suamiku? Atau pada diriku sendiri? Rasanya, ini seperti lelucon yang tidak lucu. Bagaimana kemalangan ini bisa terjadi padaku?
Tentanng perasaanku, jangan ditanya bagaimana hancurnya. Ini tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Sebah yang memenuhi dada. Kecewa yang menyeruak. Marah yang tak dapat kulampiaskan. Entah rasa apa lagi yang membaur di hatiku. Jika tak ingat pada anak laki-lakiku yang masih berusia lima tahun, mungkin aku sudah gantung diri agar tak menyaksikan pernikahan ini.
“Hapus air matamu, Nduk! Budhe tahu ini berat, tetapi ini adalah keputusanmu sendiri, kan?” Budhe Lasti menepuk bahuku. Seakan mencoba memberiku kekuatan untuk tegar dan bertahan.