Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Semua keluarga sudah berkumpul di rumahku sore ini. Ada papa, oma, Om Deri, Tante Irfin dan anak-anaknya. Ada juga dari pihak dari suamiku, yaitu ibu, bapak, Ajeng;adikku dan juga beberapa sepupu lainnya.
Hari ini aku membuat sukuran acara ulang tahun pernikahanku dan Mas Edwin yang keenam. Sungguh tak putus aku panjatkan puji sukur, karena selama enam tahun ini, kami selalu bisa melewati ujian rumah tangga dengan baik dan hampir sempurna.
Aneka masakan aku hidangkan untuk menjamu para tamu. Mereka yang senang berkunjung ke rumahku, tentu sangat hapal betapa sedapnya setiap olahan makanan yang kubuat.
"Alhamdulillah, sudah enam tahun juga kalian lewati bersama. Lihat yang lain sudah beranak pinak, kamu memangnya tidak ingin, Ria?" tegur ibu mertuaku saat aku tengah menyendokkan kuah baso ke dalam mangkuk hidang.
"Doakan saja, Bu. InsyaAllah secepatnya," jawabku sambil memberikan senyuman hangat untuk ibu mertuaku.
"Ibu ya udah saban hari berdoa. Gak cukup kalau cuma doa, harus usaha dari kalian juga," tukas ibu mertua dengan suara meninggi. Aku hanya bisa menarik napas dalam, sambil mengatur detak jantung yang bertalu terlalu cepat saat ini.
Ke mana Mas Edwin saat ibunya bertanya perihal kehamilan? Harusnya Mas Edwin mendengar keluhan ibunya, biar aku tak selalu disalahkan.
"Hhmm ... kamu udah periksa? Yakin kamu subur?" tanyanya dengan suara remeh. Aku yang baru saja hendak menyuapkan kuah baso ke dalam mulut, tiba-tiba lemas bagai tak bertulang. Ya Tuhan, ingin sekali aku berteriak pada suamiku. Tolong ibu mertuaku diberi pengertian agar tak selalu menuduhku tak subur.
"Saya subur, Bu. Haid juga rutin dan tidak ada keluhan. Mungkin memang belum waktunya saja. Sabar ya, Bu," jawabku sambil menahan tangis.
"Alesan! Awas aja kalau sampai Ibu tahu kamu mandul, maka Edwin akan ibu minta menikah lagi!" ketus ibu mertuaku dengan marah. Ia berdiri dari duduknya, lalu meninggalkan aku yang tergugu tak bisa memgeluarkan bantahan apapun.
"Menikahkan lagi Mas Edwin dengan wanita lain? Heh ... yang ini saja masih diceukin!" ketusku dalam hati. Apa aku sakit hati? Tidak sama sekali, karena di sini Mas Edwin yang punya PR, bukan aku.
Baso, cake, dan aneka makanan sudah tak sedap lagi di mataku. Lebih baik aku masuk ke dalam kamar, berbaring sejenak, sampai rasa sakit di dada dan kepalaku hilang.
Setiap rumah tangga pastilah menginginkan hadirnya keturunan yang meramaikan rumah mereka. Tak terkecuali dirinya. Namun, apa mau dikata, saat sang suami tak bisa apa-apa. Sebagai istri tak mungkin ia mengatakan yang sejujurnya'kan?
Klek
Suara pintu kamar dibuka, lalu ditutup kembali. Kemudian terdengar suara anak kunci diputar dua kali. Aku yang tengah berbaring memunggungi arah pintu, menjadi malas berbalik. Pasti Mas Edwin yang baru saja masuk dan dengan segala rayunya mencoba menenangkanku dari ocehan ibu mertua.
"Ibu bilang apa, sampai kamu jadi bad mood gini?" tanya Mas Edwin saat bokongnya sudah mendarat mulus di atas kasur empuk kami. Ia tahu aku tak tidur, tetapi sedang kesal.
"Ibu ragu dengan kesuburanku, Mas. Trus, aku harus bilang apa? Gak mungkin aku bilang, sampai saat ini menantunya ini masih perawan. Ya'kan?!" nada suaraku sengaja aku tekan dalam, agar suamiku paham, bahwa saat ini aku benar-benar kesal.