Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Enjoy reading ....
Air membasahi taman depan bangsal sebuah Rumah Sakit Swasta dengan derasnya. Udara yang pada awal terasa gerah berubah menjadi sejuk dan dingin. Kilat petir yang menggelegar di depannya membuat Anika Larasati membuka mata yang sedari tadi terpejam, menikmati suara rintik hujan bisa sedikit mengobati hati yang selalu dirundung gundah dan gulana.
“Aryo sudah nggak akan kaget lagi ya Mbah, dengar suara guntur?” tanya Anika seraya mengalihkan pandangan ke arah sang nenek yang baru saja tiba dan berdiri tak jauh darinya.
“Iya, Nduk. Semoga segera sembuh ya.”
“Pasti sembuh, dia kan jauh banget berobatnya. Naik pesawatnya lama banget.” Suara Anika melirih seiring ingatan menghadirkan paras Aryo. Anika mengusap dada yang terasa nyeri penuh kerinduan.
“Kamu kangen?” kata Rini.
“Kangen pasti, tapi ibu nggak becus seperti aku ini nggak sepantasnya kangen. Kata-katanya dia benar bukan? Siapa aku ini, nggak ada hak aku ini,” ujarnya lirih dan menunduk menatap jari jemari yang terjalin.
“Aku cuma bisa bilang kamu berhak, tapi saat ini aku nggak mau berdebat sama temanku ini. Aku mau teman baikku yang ayu ini, semangat lagi. Katanya mau sehat dan kerja di kota sama aku?” Hibur Rini, menghalau rasa rendah diri yang tak kunjung sirna dari sang sahabat.
Anika mendongak seraya tersenyum tipis menatap Rini. “Sungguh kamu mau membawaku? Kamu nggak malu punya teman gila, to?”
“Hush … siapa yang gila? Wong kamu itu setres. Cuma setresnya beda kalau sama aku.”
Anika mengerutkan dahinya, menatap Rini dengan kebingungan. “Beda gimana?” Tanyanya polos.
Rini mengulum senyum dengan sinar mata jenakanya ia berkata, “Bedanya kalau aku ini, setres kalau nggak ada lembaran merah di dompet.”
Anika menepuk dahinya seraya terkikik geli. “Walah … kalau itu juga sama. Tapi nanti kalau jahenya panen gimana, Mbah?” kata Anika yang beralih kepada sang nenek saat teringat tentang kepergiannya dan juga acara panen yang sudah dekat.
“Kamu tenang saja,” kata Dewi sang nenek.
“Kamu lebih membutuhkan suasana baru kok. Simbah masih kuat kalau ngitungin duit.”
Anika menggigit bibir dan mengerutkan dahinya tampak berpikir. “Tapi gimana dengan bos kamu, Rini. Kira-kira mau nggak terima aku kerja di sana? Kondisiku ‘kan baru saja sehat.”
Rini tersenyum dan meremas tangan Anika dengan lembut. “Kamu tenang saja. Rahasia ini cuma bos dan aku yang tahu.”
Mata Anika melebar, ia sungguh penasaran bagaimana bisa mereka menerima mantan orang nggak waras seperti dirinya?
“Sungguhan?”
“Iya, nanti juga kamu tahu siapa bosku. Dia sudah tahu siapa kamu kok. Tenang saja ya.”
“Kita pulang dulu yuk? Nanti malam kamu pergi dengan Rini ke pasar malam belilah beberapa pakaian untuk bekerja di sana.”
“Di sana juga bebas kok nggak harus memakai pakaian resmi. Kamu bisa memakai celana panjang dan kaos biasa seperti yang aku pakai sekarang ini, yang penting rapi dan bersih. Nanti aku ajari kamu berdandan ya, karena kita bekerja di restoran.”
Semua orang tahu dengan warna kulit hampir seputih susu dan wajah baby face tidak perlu menggunakan riasan berlebih sudah memancarkan kecantikan Anika. Hanya saja teman baiknya itu sering tidak percaya diri. Anika yang lincah dan gesit sudah menghilang tertinggal di masa lalu.
Anika mengangguk dengan antusias. Ia sebetulnya masih sangat penasaran dengan siapa bos Rini yang sebenarnya. Namun ia tidak enak hati untuk menanyakan lebih lanjut.
Setelah berjalan beriringan beberapa saat, Anika menoleh ke samping kepada neneknya lebih tepatnya. “Mbah, kenapa lewat samping? Lebih jauh nanti cari angkot.”
“Nggak apa-apa. Mbah cuma pingin kita mampir beli bakso mercon dulu.”