/0/24556/coverorgin.jpg?v=e0382313514f34ff68f24fcc2520eda8&imageMogr2/format/webp)
“Anteeuuu…”
Samar-samar terdengar suara anak kecil dari luar. “Anteeuuu….”
Teriaknya beberapa kali. Membuat seorang wanita yang sedang tertidur pulas merasa terganggu dengan suara itu.
Asmitha Nindiva, seorang gadis berusia 23 tahun. Berwajah manis dengan perawakan tinggi semampai, kulit kuning langsat, dan rambutnya yang panjang. Ia merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara. Ayahnya bernama Yusuf Saputra dan Ibunya bernama Nining Nuraini. Mereka tinggal bertiga dalam rumah sederhana. Sedangkan Niar Anindita, kakaknya Mitha sudah menikah dan tinggal di luar kota bersama suaminya.
‘BRAKKK’
Pintu kamar Mitha terbuka lebar.
“Anteeeeuuuu…”
Seorang anak kecil berlari menghampiri Mitha yang masih meringkuk pulas dengan selimut berwarna biru yang membalut tubuhnya.
“Anteu ayo bangun… bangun anteeuu…"
Anak itu mengguncang-guncang tubuh Mitha, membuat ia terpaksa mengangkat kelopak matanya yang terasa begitu berat.
“Dio?” ucap Mitha dengan suara berat.
Mata Mitha menyipit. Sesekali berkedip karena rasa ngantuk yang membuat lengket matanya.
Fernandio Pratama, anak pertama Niar sekaligus keponakan Mitha.
Mitha pun perlahan membangunkan tubuhnya dan mengambil posisi duduk.
“Anteu ayo bangun! Ayo main sama aku.” Pinta Dio.
“Kamu kenapa pagi-pagi udah ada di sini? Bunda mana?” Tanya Mitha pada keponakannya itu.
Belum sempat Dio menjawab, tiba-tiba…
“Apa nya yang masih pagi? Ini tuh udah hampir siang tauuu,” sahut Kak Niar dari ambang pintu kamar, lalu berjalan berlenggok memasuki kamar Mitha.
Seketika Mitha melirik jam bekernya di atas meja yang kini menunjukkan pukul 10:30.
‘Hah? Setengah 11?’ batinnya.
“Kak Niar sejak kapan disini?” tanya Mitha dengan wajah bingung.
“Sejak semalam,” jawab Niar sambil menjatuhkan bokongnya di pinggir kasur.
“Semalam? Kok aku gak tau?“ ujar Mitha sambil menggaruk kepala dengan rambutnya yang berantakan.
“Kakak sampai sini jam 11-an. Kamu nya udah tidur.” Jelas Niar.
“Oooh… pantesan.” Balas Mitha singkat, mungkin karena ia masih dalam proses pengumpulan nyawa.
Dio yang sejak tadi ribut membangunkan Mitha, sekarang malah asyik mainan sendiri.
“Semalam kamu pasti habis nangis, ya kan?” tanya Niar sambil menelisik wajah adiknya.
“Nggak kok, siapa juga yang nangis?” Mitha berkilah.
“Nggak usah bohooong, tuh mata kamu sembab.” Ujar Niar lagi sambil menunjuk mata Mitha dengan dagunya.
Sontak Mitha langsung mengusap-usap matanya yang masih terasa lengket juga perih.
Tangisan semalam membuat matanya bengkak. Itu karena ia sedang mengalami patah hati ditinggal tunangan oleh kekasihnya yang bernama Saga Anggara. Mitha dan Saga sudah menjalin hubungan selama 5 tahun lamanya. Mereka juga sudah berencana untuk menikah bulan depan. Namun sayang, rencana itu gagal karena penghianatan yang dilakukan oleh Saga.
“Kata Ibu, kamu lagi ada masalah ya?” tanya Niar dibarengi suara berisik Dio yang sedang bermain dengan mainannya.
Mitha menghela nafas, menundukan kepala dan terdiam. Dia yakin, tanpa menjawab pun, Niar pasti sudah tau masalah apa yang sedang dihadapinya.
Niar yang sejak kecil begitu menyayangi Mitha pun tampak kasihan melihat adiknya itu sedang bersedih. Ia pun berusaha membuat Mitha semangat lagi.
“Udaaah… gak usah sedih lagi. Mending sekarang kamu mandi biar seger, terus sarapan. Sana!” titah Niar.
“Males ah… aku masih ngantuk, mau tidur aja.”
Mitha menarik lagi selimutnya dan menjatuhkan tubuhnya.
“Eiiittss… Gak bisa! Anak perawan mana boleh bangun siang? Cepetan… mandi!”
Niar menarik tangan Mitha hingga ia berada dalam posisi duduk lagi.
Entah kenapa mendengar kata-kata Niar barusan, hati Mitha merasa tak nyaman.
‘Perawan?’ batinnya.
“Anteu ayo cepetan mandi. Terus temenin aku main. Ayo anteeeuuu…” Rengek Dio sambil mengguncang tubuh tantenya lagi.
Mitha yang merasa terganggu berusaha melepaskan diri, “iya iya… Anteu mandiii. Bawel!”
Ia pun melepaskan selimut dari tubuhnya, lalu bangkit bergegas menuju kamar mandi.
/0/15282/coverorgin.jpg?v=bbcb851a570e3b69dcb8e61c95dc2b60&imageMogr2/format/webp)
/0/16486/coverorgin.jpg?v=34ad0f647000aa76ff52d6f02460b85f&imageMogr2/format/webp)
/0/17428/coverorgin.jpg?v=2cc6f1713c4b54b04a5081d42c17c767&imageMogr2/format/webp)
/0/13021/coverorgin.jpg?v=ec43d33d2e3b5300094f0312a3a61c05&imageMogr2/format/webp)
/0/5274/coverorgin.jpg?v=6c0468ae171a01ff8164588e81f7dc7f&imageMogr2/format/webp)
/0/16695/coverorgin.jpg?v=49123be41f7ee72bdbc5bab43fb08273&imageMogr2/format/webp)
/0/3531/coverorgin.jpg?v=72d3cabea25da2ff51c0cb0a8bec0cae&imageMogr2/format/webp)
/0/6716/coverorgin.jpg?v=aa47d8853cb4fc2d190f699a4e96e89a&imageMogr2/format/webp)
/0/13040/coverorgin.jpg?v=20250122183712&imageMogr2/format/webp)
/0/13167/coverorgin.jpg?v=20250123144943&imageMogr2/format/webp)
/0/24410/coverorgin.jpg?v=30f6326ee82a632700fc03ebabc4fe71&imageMogr2/format/webp)
/0/19442/coverorgin.jpg?v=514b8f74f4a80f5752760ff512d8e672&imageMogr2/format/webp)
/0/5718/coverorgin.jpg?v=8a810f1f6341293bfe26070b3b2d6fbc&imageMogr2/format/webp)
/0/8338/coverorgin.jpg?v=810c2c2a05cc4ef5f8d2ddd2f58f704c&imageMogr2/format/webp)
/0/18416/coverorgin.jpg?v=d0f75179b592122a3b9ae1b844a4c2d0&imageMogr2/format/webp)
/0/21446/coverorgin.jpg?v=e02a252874b7853dd06b9ea106a9b3da&imageMogr2/format/webp)
/0/7035/coverorgin.jpg?v=08f94b955ab4bf159a5e20c66c5b0f5a&imageMogr2/format/webp)
/0/26880/coverorgin.jpg?v=165175708f82a45bd73a4941c748956c&imageMogr2/format/webp)
/0/9358/coverorgin.jpg?v=28d336118bc83a1659dea43871a2e5af&imageMogr2/format/webp)