Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Ayo bangun!”
Sebuah suara membangunkan Fani, ia merasa ada goncangan pelan pada tubuhnya. Dengan berat, ia mencoba membuka matanya perlahan dan melihat sosok bu Retno, ibunya.
“Fani, ayo bangun, mandi, terus sarapan.” Ujarnya lagi.
Fani bangun dan duduk di tepi ranjangnya.
“Bu, aku boleh izin gak masuk sekolah?” Tanya Fani hati-hati.
Bu Retno melirik tajam anaknya.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Gak enak badan.”
Bu Retno memegang dahi Fani lalu mengelus pelan rambutnya.
“Sekolah, ya. Kamu sudah kelas 12, Fan. Kalau besok masih sakit, ibu yang minta izin ke sekolah.” Bu Retno berlalu keluar dari kamar Fani.
Fani mendesah kecewa, ia tahu akan sulit merubah fikiran dan keputusan ibunya itu. Dengan terpaksa, akhirnya Fani mandi dan bersiap ke sekolah.
Seusai bersiap, Fani mengeluarkan alat ukur berat badan dari bawah ranjangnya. Ia berdecak kesal melihat angka 85 dari alat tersebut.
“Ck! Padahal beberapa hari yang lalu masih 84. Kok malah naik, sih?”
Fani mendesah kesal, mengingat angka-angka itu hanya akan membawa Fani pada rangkaian hal-hal yang kurang menyenangkan.
Fani mengambil tasnya dan pamit pada ibunya.
“Bu, aku berangkat, ya.”
“Loh, langsung berangkat? Gak sarapan dulu?”
“Diet!” ujar Fani berlalu.
Hari ini, Fani bertekad untuk berangkat ke sekolah berjalan kaki karena jarak rumahnya ke sekolah tidak begitu jauh. Fani melirik jam di lengan kirinya, jam sudah menunjukkan pukul 6.30, ia berfikir bahwa tidak apa-apa meskipun sedikit telat.
Gerbang sekolah sudah mulai terlihat, namun bel sekolah sudah berbunyi. Mendengar itu, Fani panik dan berlari.
“Ayo dipercepat larinya!” Teriak pak Prapto, guru Matematika, sekaligus wakil kepala sekolah.
Fani bersusah payah mempercepat gerakan larinya.
“Mangkanya jangan gendut!”
Fani menghiraukan kalimat pedas gurunya itu dan berhasil melewati gerbang, ia buru-buru menuju kelasnya. Beruntung, guru datang tepat setelah Fani duduk di bangkunya.
“Selamat pagi, anak-anak. Bagaimana kabar kalian?” Bu Tri, guru Fisika, memulai kelas pagi dengan salam hangatnya, lalu mulai menerangkan lanjutan materi Listrik Statis.
“Sebelum kelas selesai, kumpulkan tugas yang ibu beri minggu kemarin, ya.”
Para siswa mulai mengumpulkan buku tugasnya ke meja guru, beberapa siswa terlihat menatap Fani dengan sinis. Fani mencoba untuk tidak peduli.
“Gabby? Silahkan kerjakan nomor 1 di papan tulis, ya. Selagi Gabby mengerjakan, ibu akan mengoreksi tugas kalian.”
Gabby terlihat sedikit kesal dan maju ke depan, tangannya meraih spidol namun gerakannya terhenti sampai disitu, ia tak menuliskan apapun di papan tulis.
“Kenapa tidak dikerjakan, Gabby?” tanya bu Tri.
“Hmm.. anu bu, saya...”
Bu Tri membuka tumpukkan buku dimejanya satu persatu.
“Di meja saya gak ada bukumu, kamu belum mengerjakan tugas?”
Gabby melirik gengnya, Tami dan Nuri pun tampak kebingungan.
“Tami? Nuri? Kalian belum mengerjakan tugas juga?” bu Tri kembali bertanya.
Tami dan Nuri menundukkan kepalanya, bu Tri terlihat kesal.
“Ini bukan pertama kalinya kalian tidak mengerjakan tugas. Kalian bertiga, ayo ikut saya ke ruang bimbingan!”
Bu Tri menyelesaikan pelajaran lalu membawa Gabby dan temannya ke ruang bimbingan.
Satu jam berlalu dan kelas Fisika selesai, kelas selanjutnya adalah kelas Bahasa Inggris, namun bu Yuli tidak dapat menghadiri kelas, kelas pun akhirnya bebas.
Gabby dan kedua temannya telah selesai bimbingan dengan bu Tri dan wali kelas. Ketiga siswa itu jelas kesal, mereka menghampiri Fani dan menarik rambutnya.
“Awww!!!” teriak Fani kesakitan.
“Gara-gara lo, ya! Gue jadi dapet hukuman!” maki Gabby.
“Kenapa jadi salah gue?”