Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Sang Majikan
"Mas Anan!"
Saat wajah lelaki yang kurindukan selama lima tahun kini datang menemuiku tepat berdiri di hadapanku.
Lelaki yang sangat kurindukan bertahun-tahun merantau kini telah pulang dengan membawa kesuksesan. Ia pulang dengan membawa mobil mewah bermerek dan memakai pakaian rapi. Seperti pekerja kantoran dan di tangan kirinya tersemat jam bermerek berharga mahal. Ia pulang membawakan oleh-oleh untuk kedua anakku.
"Mas," panggilku lembut.
Lelaki yang kurindukan masih tak bergeming menatap rumah yang dulu ia tinggalkan masih tetap sama, reot dan sudah tua. Bahkan tambalan atapnya pun masih terlihat bocor kala hujan datang dengan deras membasahi bumi.
"Mas Anan," panggilku lagi. "Lihatlah anak kita sekarang sudah besar! Nara putri kita, sudah berumur lima tahun sejak kepergianmu. Dia cantik bukan? Habib juga sudah berumur sepuluh tahun sejak Mas pergi merantau meninggalkan kami," ucapku sembari menggendong Nara putri bungsuku.
Mas Anan meraih Nara yang ada dalam gendonganku. Ia memeluk dan mencium Nara bertubi-tubi sembari meneteskan air mata. Mas Anan sudah lima tahun merantau di kota Jakarta. Ia tidak pernah sekali pun pulang kerumah gubuk tuaku. Tiap bulan hanya mengirimkan uang belanja yang ia titipkan pada tetanggaku yang kebetulan berdekatan dengan tempat tinggalnya. Jika aku rindu padanya maka aku akan meminjam telepon tetangga untuk menanyakan kabarnya.
"Ayi, aku hanya pulang sebentar untuk mengabarimu. Tapi, bukan untuk kembali padamu," ucapnya kemudian.
"Maksudnya?"
"Ayi Fradila, mulai sekarang kau, aku bebaskan dari kewajibanmu. Aku menalakmu. Surat perceraian segera akan aku urus. Masalah biaya kamu tidak usah kawatir aku yang akan menanggung semuanya," lanjutnya.
Jantungku berhenti berdetak seketika mendengar ucapan talak dari lelaki yang kurindukan selama bertahun-tahun. Bagai anak panah tepat mengenai jantungku, kata-kata talak itu membuat tubuhku lunglai seketika. Bak petir menyambar di siang hari Mas Anan dengan begitu mudah menjatuhkan kata talak tepat di hari kedatangannya.
Selama lima tahun aku menunggunya di sini kembali. Saat ia datang hanya menghadiahiku talak. Lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih tersebut telah memberiku dua orang anak. Saat ia pamit merantau untuk mengadu nasib putri bungsuku masih berumur tiga bulan. Dan yang sulung berumur lima tahun.
Masih kuingat saat melepas kepergiannya berjanji akan segera kembali membawa keberhasilan hidup yang lebih baik dan akan membawaku beserta kedua buah hati kami jika ia sukses dan bisa mempunyai rumah yang lebih layak dari yang sekarang aku tempati.
Rumah yang aku tempati adalah rumah peninggalan kedua orang tuaku yang sudah reot dan bocor di sana-sini. Dindingnya pun sudah lapuk digerogoti rayap. Para tetangga yang iba membantuku memperbaiki ala kadarnya dengan menempel dinding yang keropos dengan papan bekas seadanya.
"Dek, Mas pamit merantau. Jaga baik-baik anak kita! Jika nanti aku kembali dan berhasil akan kubawa kalian pindah ke rumah yang lebih bagus dari ini," ucapnya sembari mencium keningku.
"Sebenarnya aku keberatan Mas pergi merantau. Kami masih membutuhkanmu di sini Mas. Apalagi Nara masih berumur tiga bulan, ia masih membutuhkan kasih sayang ayahnya," kataku sembari menangis.
Dengan lembut Mas Anan mengusap air mataku yang menetes di pipi. Sementara Nara, bayi mungilku masih dalam gendongannya.
"Percayalah padaku. Aku akan kembali menjemputmu dan anak-anak jika sudah berhasil. Do'a'kan aku selamat sampai ke tujuan dan berhasil. Agar bisa membahagiakanmu dan anak kita berdua," bisiknya lembut.
Aku mengangguk. "Iya, Mas."
Kupeluk tubuh lelaki yang sangat kucintai selama lima tahun sudah menemani perjalanan hidupku mengarungi bahtera rumah tangga. Kulepas kepergiannya di ambang pintu bersama kedua permata hatiku. Mas Anan pergi dengan menumpang pada sebuah mobil pik up milik tetanggaku yang mengantar dan menjual barang dagangnya ke Jakarta tiap bulan.
Tetanggaku punya bisnis menjual buah pisang ke Jakarta setiap satu bulan sekali ia pasti akan menjual barang dagangannya bila sudah ada yang meminta banyak. Tidak hanya buah pisang yang menjadi bisnisnya, tapi juga buah jeruk yang ia ambil dari petani jeruk yang ada di daerah Berastagi. Kulepas kepergian lelaki yang sangat aku cintai dengan derai air mata. Senja itu menjadi kelabu saksi bisu melepas kepergian Mas Anan merantau ke kota Jakarta.
"Asalamualaikum, Bunda," ucap Habib yang baru pulang mengaji dari rumah Ustaz Rahman.
Ucapan salam Habib membuyarkan lamunanku.
"Waalaikumsalam, Nak," jawabku. Segera kuhapus air mata yang sedari tadi menggenang di pipiku dengan menggunakan hijab syar'i yang aku pakai.
Habib segera menyalamiku dengan tazim dan memciumnya. Begitu pula dengan Mas Anan tak lupa ia salami dan mencium punggung tangannya.
"Ayah," seru Habib.
Segera saja Habib menghambur dalam pelukkan ayahnya. Kerinduan yang sudah bertahun-tahun ia nantikan untuk bertemu dengan ayahnya kembali kini telah terobati. Sayang hari ini adalah hari terakhir ia akan memeluk ayahnya, karena setelah ini Mas Anan akan kembali ke Jakarta.
"Nak, kamu sudah besar dan tampan sekali. Ayah, bangga melihatmu menjadi anak sholeh. Tetaplah seperti ini! Jadilah anak yang berbakti pada orang tua," ucap Mas Anan mengusap rambut Habib.
"Ayah, aku sangat merindukanmu. Bunda juga," celotehnya. "Ayah, pasti pulang untuk menjemput Bunda dan kami' kan?"
Mas Anan menghela napas berat. "Maafkan Ayah, Nak. Ayah, kembali bukan untuk menjemput kalian. Tapi ...." Mas Anan menjeda ucapannya.
"Tapi, apa Yah?" tanya Habib penasaran.
"Ayah, kesini karena ingin bercerai dengan Bunda."
Aku hanya berdiri di pojokkan ruang tamu yang berukuran sempit sembari menyembunyikan tangisku. Aku tidak ingin kelihatan lemah di hadapan anak lelakiku.
"Nak, ayahmu hanya sebentar ke sini. Setelah ini ia akan kembali ke kota Jakarta. Setelah kamu besar nanti kamu bisa menemuinya di kota Jakarta," selaku.
Memberi pengertian padanya agar dia tidak berkecil hati karena ayahnya setelah ini tidak akan pernah kembali ke sini.