Dari awal pernikahannya, Dara tidak pernah mendapatkan kepuasan biologis dari Guntur, suaminya yang menderita lemah syahwat. Hingga akhirnya ia terjebak ke dalam permainan gairah semu yang memabukan dari Farhat, lelaki keturunan Bombay. Rumah tangganya hancur saat itu juga ketika ia tidak sengaja mendesis menyebut nama Farhat saat Guntur suaminya sembuh dari penyakit lemah syahwatnya. Bagaimana nasib Guntur selanjutnya? Apakah Dara mendapatkan apa yang selama ini ia mau? Temukan hal lain di bab-bab selanjutnya.
"Nyonya! Tuan sudah menunggu!" Bi Lastri mengeraskan suaranya setelah mengetuk pintu kamar. Di dalam kamar, Dara menarik napasnya perlahan, lalu membuang udara yang berdesakan di dalam dadanya dengan sedikit gusar. Sesaat kemudian, ia tampak terdiam dan melemparkan pandangannya jauh ke sebelah utara lewat jendela.
"Suruh makan duluan saja, bi! Aku mau tidur lagi. Aku masih ngantuk! Katakan padanya, ya!" Sahut Dara. Nadanya masih terdengar kesal, menahan geram dalam hati.
Mendengar nada bicara majikannya yang ketus seperti itu, bi Lastri hanya menganggukan kepala tanpa menjawab sepatah kata pun. Dalam hatinya bertanya seperti orang yang kebingungan, "tadi malam, tidak mendengar ada pertengkaran ... ada apa, ya?" bisik hatinya bertanya keheranan.
Rasa penasaran dalam hati, membuat bi Lastri berbincang dengan dirinya sendiri, "Mereka memiliki rumah besar dan mewah. Mobil masing-masing punya satu, isi rumah penuh dengan barang-barang mewah, masih saja ada pertengkaran? Apakah ada selisih paham? Cemburu? Hmm ... atau soal itu!? Iya benar, pasti soal itu. Namanya juga pengantin baru, mungkin benar soal itu," sambung hati bi Lastri sembari tersenyum kecil dan menggaruk kepalanya, lalu sedetik kemudian ia tampak menggelengkan kepalanya pelan-pelan, dengan segera menepis segala pertanyaan dalam diri, lalu berjalan ke arah Guntur, -Suami Dara- bermaksud untuk menyampaikan pesan yang disampaikan dari Dara barusan.
Di teras halaman belakang rumah, Guntur tampak sedang duduk termangu menunggu istrinya dengan gelisah. Tatapan matanya menerawang kosong ke arah taman di halaman belakang rumahnya yang luas dan mewah.
"Maaf Tuan," panggil bi Lastri pelan.
Guntur memutarkan kepalanya, lalu menatap ke arah bi Lastri dengan kurang semangat. Walaupun ia sudah menebak apa yang akan dikatakan oleh Bi Lastri, Guruh tetap melemparkan pertanyaannya, "iya, ada apa bi?" tanya Guntur.
"Kata Nyonya, Tuan makan saja duluan. Nyonya masih ngantuk, mau tidur lagi." Ucap bi
Lastri hati-hati menyampaikan pesan yang dikatakan Dara kepadanya sembari menganggukkan kepala ke arah Guntur dengan penghormatan, walaupun Bi Lastri sudah dianggap keluarga sendiri, bi Lastri tetap selalu merasa segan kepada majikannya itu.
Guntur yang sedari tadi duduk termenung memikirkan kondisi dirinya yang melemah akhir-akhir ini, semakin terlihat lesu mendengar pesan itu. Ia seakan sudah tidak lagi mempunyai semangat hidup, menjalani hari demi hari dengan setumpuk kegelisahan dalam diri.
"Hmm, duluan?!" ketus Guntur.
"Iya, Tuan," sahut bi Lastri menganggukkan kepala.
Guntur membuang napasnya kencang, seakan ingin melemparkan segala kekesalan hatinya jauh ke ujung sana, membuangnya lalu mengutuk diri sendiri yang tidak bisa memberikan nafkah batin
kepada istrinya semenjak mereka menikah 3 bulan yang lalu. Lalu sedetik kemudian, ia tampak
menegakan punggungnya, berusaha untuk bersikap normal, seolah semuanya baik-baik saja. Guntur tidak ingin assisten rumah tangganya yang sudah ikut dengan keluarganya semenjak ia kecil itu bertanya-tanya dalam hati tentang masalah yang menimpa rumah tangganya.
Guntur pasti akan merasa malu jika bi Lastri mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tangganya yang baru seumur jagung itu. Harga dirinya sebagai lelaki dipertaruhkan.
"Baiklah Bi, terima kasih. Kerjakan saja dulu pekerjaan lain, ya! Nanti, biar saya sarapan sendiri." ucap Guntur akhirnya pasrah.
Bi Lastri mengangguk, lalu kembali ke belakang.
"Sial!"
bentak Guntur dalam hati, lalu memukul pelan tepian meja taman dengan kesal. Setelah Bi Lastri kembali ke ruang belakang, Guntur semakin gelisah, ia kembali mengerang dalam hati, "kenapa penyakit ini tiba-tiba menyerang, sih? Mendadak layu, lemah seakan tidak lagi bertenaga. Kemana Guntur yang dulu gagah?! Argh!
Guntur mengangkat kepalanya sembari menggerutu pelan, menatap area taman dengan hati yang hancur lebur, lalu kemudian kembali berkata dengan gusar dalam hati, "Padahal, aku masih ingat, aku dulu adalah lelaki gagah yang paling kuat main dengan wanita panggilan manapun. Aku ingat benar itu. Aku bisa main sampai tiga kali dalam satu malam. Tongkat pusaka milikku selalu keras, tidak pernah kendor seperti ini, kenapa sekarang mendadak lemah?!" keluhnya dalam hati, kembali mengutuk diri sendiri sembari mengingat semua tentang masa lalunya yang selalu dipenuhi hasrat dan gairah yang bergejolak hebat di setiap waktu.
Entah sudah berapa kali ia menghela napas yang mulai terasa berat itu, Guntur terlihat semakin gelisah, sepiring sarapan pagi di depannya sama sekali tidak memberinya selera untuk menghabisinya, bahkan satu sendok pun tidak ia sentuh.
Beberapa menit kemudian, Dara akhirnya mau turun dari tempat tidur dan menghampiri suaminya. Dengan suaranya yang terdengar malas, Dara berkata pelan, "berangkatlah, hari sudah mulai siang, nanti Papa terlambat lagi seperti kemarin!"
Guntur masih tetap diam tak menjawab. Kepalanya tertunduk memandangi lantai dengan lesu. Tiba-tiba Dara merasa iba, bagaimanapun Guntur adalah suaminya, ia tidak sampai hati melihatnya setiap hari selalu terlihat frustasi seperti itu.
Dara kembali membuka mulutnya, berusaha terdengar tenang, "Cari obat yang mujarab! Mudah-mudahan bisa sembuh, aku tidak mau seperti ini terus!" ucap Dara, sedetik sebelum melanjutkan, ia terdiam sejenak, memandangi suaminya dengan sedikit putus asa, "Tetapi, kalau masih tetap begini saja, bagaimana? aku tidak sanggup ...." ucap Dara lemah. Ia tampak sengaja menanyakan hal itu kepada suaminya, seolah ingin menegaskan kembali perihal status hubungan mereka sebagai suami istri jika kelemahan Guntur masih belum juga bisa ia atasi.
Guntur mengangkat kepalanya perlahan, memandang sekilas ke arah Dara, senyum di wajahnya tampak bias tak berwarna. Gerakan tubuhnya pun terlihat tidak bersemangat, memaksakan diri
untuk bangkit berdiri. Lalu perlahan Guntur berjalan pelan ke arah istrinya sembari berkata, "Baiklah ..." ucapnya, terdiam sesaat, lalu kembali berucap dengan perasaan yang tidak menentu, "kalau tidak berhasil, Mama boleh berbuat apapun, terserah Mama! Papa ikhlas, tapi Papa yakin akan berhasil, Ma! Papa ini dulu sangat gagah! Papa harap Mama mau bersabar menunggu beberapa waktu lagi, ya ...." Lanjutnya dengan suara yang terdengar sedikit putus asa.
Dara terdiam, larut dalam pikirannya sendiri. Ia merasa tidak ingin menjawab apa-apa. Dalam hatinya masih merasa jengkel, ia selalu kelelahan sendiri. Sampai dini hari tadi, ia sudah susah payah berusaha menggerakan alat reproduksi suaminya agar dapat berdiri tegak. Tetapi alat vital milik suaminya itu seakan sudah tidak lagi berfungsi. Rusak, layu dan tidak lagi bertenaga.
Bahkan, bibirnya terasa semakin menebal, mengoperasikan alat vital suaminya masuk dan keluar di dalam mulutnya. Bibir Dara terasa kembung dan membengkak, lidah pun terasa kelu saking keseringan bermain dengan tongkat pusaka suaminya. Tetapi hasilnya tetap saja nihil.
Seperti pada saat malam pertama di hari pernikahan mereka, Dara merasa sangat kecewa, menemukan kenyataan bahwa tongkat pusaka suaminya ternyata lumpuh, tidak mampu lagi untuk bekerja. Bagaimana Dara tidak merasa kecewa, ia adalah wanita sehat yang mempunyai gairah yang sama seperti manusia normal lainnya. Ia membutuhkan kehangatan yang dapat memuaskan hasrat biologisnya, seperti yang sering diceritakan oleh teman-teman wanitanya yang sudah menikah.
Untuk apa menikah jika ia tidak dapat merasakan bagaimana rasanya berada di puncak klimaks. Seperti apa indahnya sensasi dan getaran hebat dalam dada yang meletup kencang saat libidonya
meledak. Semenjak mereka menikah, Dara belum pernah merasakannya lagi, bagaimana ia tidak merasa kecewa dan frustasi.
"Baiklah, Ma, Papa pergi dulu," ucap Guntur memecahkan keheningan di antara keduanya. Guntur lalu mengecup kening Dara dengan lembut, membalikkan tubuh dan berlalu menuju ke pelataran parkir depan rumah, bersiap untuk pergi. Langkahnya terlihat gontai, seakan membawa sejuta penderitaan di pundaknya. Sebuah beban yang jarang ditemui insan sejenisnya.
Dalam hati Guntur bersikeras untuk lebih gencar mencari obat yang mujarab demi kelangsungan hidup rumah tangganya. Beberapa hari ini, tanpa sepengetahuan Dara, Guntur giat mencari informasi tentang masalah ini hingga ke pelosok-pelosok daerah se-Nusantara, namun belum mendapatkan yang benar-benar mujarab.
"Huuffftttt ... semoga Gandi secepatnya mendapatkan informasi mengenai masalah yang aku hadapi sekarang ini. Aku kasihan melihat istriku, berapapun biaya yang harus aku keluarkan, aku akan menyanggupinya! Ergh!" Guntur tampak sangat kesal. Masalah ini bahkan sampai mengacaukan konsentrasi kerjanya selama beberapa bulan ini.
Bab 1 Suamiku Lemah Syahwat
07/11/2022
Bab 2 Melakukannya Sendiri
07/11/2022
Bab 3 Penolakan Dara
07/11/2022
Bab 4 Lelaki Keturunan Bombay
07/11/2022
Bab 5 Bertamu Ke Rumahnya
07/11/2022
Bab 6 Mereka Melakukannya
07/11/2022
Bab 7 Suamiku Sembuh!
07/11/2022
Bab 8 Memberi Nafkah Batin
07/11/2022
Bab 9 Imajinasi Liar
07/11/2022
Bab 10 Keceplosan
07/11/2022
Buku lain oleh elangpratama
Selebihnya