Hidup memang pilihan. Tetapi, satu-satunya pilihan yang tersisa untukku hanyalah itu. Menerjunkan diri ke dalam lembah hitam penuh lumpur, lalu pura-pura bahagia menikmatinya, demi rasa puas dan lengkingan suara tertahan para lelaki saat mereka mencapai puncak klimaksnya. Sepertinya, semesta benar-benar membenciku. Ini untukmu, Sasha. Permata kecilku, cahaya dalam gelap perjalananku."
Prolog :
Hidup
memang pilihan. Tetapi, satu-satunya pilihan yang tersisa untukku hanyalah itu.
Menerjunkan diri ke dalam lembah hitam penuh lumpur, lalu pura-pura bahagia
menikmatinya, demi rasa puas dan lengkingan suara tertahan para lelaki saat
mereka mencapai puncak klimaksnya. Sepertinya, semesta benar-benar membenciku.
"Ini
untukmu, Sasha. Permata kecilku, cahaya dalam gelap perjalananku."
***
Namaku
Cindy, umur 22 tahun. Aku ingin menceritakan kisah tentang hidupku yang sudah
terlanjur hancur. Lebih tepatnya, menghancurkan diri dengan sengaja masuk ke
dalam perangkap yang di tabur oleh Pak Wels, -pemilik perusahaan tempatku dulu
pernah bekerja.
Saat
itu, aku benar-benar tidak memiliki pilihan lain. Semuanya aku lakukan demi
Sasha, anak dari hasil pernikahanku yang menemui jalan buntu dan harus berakhir
di tengah jalan.
Pak
Wels benar-benar ingin menguasiku secara penuh. Aku rasa, mungkin Pak Wels masih
penasaran. Karena, waktu aku masih bekerja di perusahaannya, tidak pernah sekalipun
ia berhasil mendapatkanku. Tubuhku lebih tepatnya.
Saat
itu, aku masih kuat menggenggam prinsip. Tidak sekali pun, akal sehatku menyerah
apalagi pasrah menyambut semua godaan dan rayuan busukknya. Bukannya aku tidak
menyadari hal itu, aku hanya mengabaikannya, pura-pura semuanya baik-baik saja,
demi menjaga posisiku agar tetap aman bekerja di perusahaannya kala itu, hingga
akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja karena kondisi Sasha yang
semakin bertambah parah.
Sekarang,
keadaan berhasil memaksaku untuk mulai menenggelamkan diri ke dalam lembah hitam
penuh noda menjijikan. Semuanya demi Sasha yang kini terbaring sakit, lemah dan
tampak tidak kuasa melawan penyakitnya.
Aku
rela melakukan apapun, bila saja nyawaku dapat ditukar untuknya, aku rela. Asal
aku dapat melihat Sasha hidup dengan sehat. Aku benar-benar tidak menemukan satupun
alasan untuk menolak itu. Tetapi, cara kerja semesta tidaklah begitu. Tidak
perduli betapa besar keinginanku hanya untuk melihat Sasha tertawa riang dan bergerak
lincah bersama teman-teman sebayanya walau hanya sekejap mata.
Sasha
adalah satu-satunya duniaku, aku hidup berdua bersama Sasha di rumah kontrakan.
Setelah proses perceraian dengan mantan suamiku selesai secara hukum, jadilah sekarang
aku single parent untuk Sasha yang
masih berusia 3 tahun. Sedangkan mantan suamiku kabur entah ke planet mana, aku
tidak perduli. Aku hanya mendedikasikan hidupku untuk Sasha. Tidak ada yang
lebih berharga di dunia ini melebihi senyum kebahagiaannya.
Sudah
satu tahun aku hidup menjanda akibat konflik rumah tangga yang berlarut-larut. Saat
rumah tangga kami masih berjalan, sulit rasanya menyelesaikan pertengkaran demi
pertengkaran yang terjadi diantara kami dengan cara baik-baik. Bagaimana tidak?
Siapa yang akan mampu bertahan hidup dengan suami yang pengangguran, hobi main
judi dan mabuk-mabukan? Aku sudah tidak kuat lagi mendampinginya. Hampir setiap
hari suamiku pulang dalam keadaan setengah sadar, bahkan tidak jarang berani berlaku
kasar kepadaku.
Sampai
pernah suatu ketika, ia benar-benar memuntahkan semua amarahnya, karena ia kalah
di mjea judi, aku yang dijadikan sebagai sasaran pelampiasannya, hingga aku harus
merasakan luka yang tidak hanya perih dalam hati, tapi fisik yang tega ia
lebamkan, terutama di wajahku.
Kekacauan
dalam hidupku seolah tidak ingin segera pergi dan berlalu.
Setelah sah
menyandang gelar janda muda, janda kembang dan istilah-istilah lainnya yang
menggambarkan seorang janda yang masih muda dan cantik, aku merasa depresi dan
tertekan.
Faktor
himpitan ekonomi benar-benar membebaniku pundakku, semua terasa lebih berat,
terlebih ketika informasi dari laboratorium rumah sakit mendatangiku. Sasha ternyata
mengalami gagal fungsi ginjal, ia harus secepatnya mendapatkan penanganan
lanjutan. Detik itu juga dunia seakan bertambah gelap, kondisi itu seolah menghantamku
dengan sangat keras hingga terjungkal ke dalam got lalu digerogoti tikus-tikus
kelaparan.
Secarik kertas hasil tes labotarium, benar-benar menghancurkan semua
pondasi pertahanan dan harga diri yang selama ini aku jaga.
Saat itulah, Winda, -sekertaris Pak Wels- menghubungiku. Ia mengetahui perceraianku
dengan Mas Ben, -mantan suamiku. Winda menghubungiku hanya untuk menyampaikan
kekhawatirannya, ia memintaku untuk tetap bersabar. Winda memang sahabatku
sejak dari dulu saat aku masih bekerja di PT. Wijaya, perusahaan property milik
Pak Wels.
Dengan
getir, aku menceritakan semua masalah hidupku kepadanya, Winda hanya bisa
menolongku dengan mengirimkan uang tiga ratus ribu rupiah ke rekeningku.
Kemudian, Winda menyarankan agar aku mencoba untuk menghubungi Pak Wels, minta
kepada atasannya itu agar mau kembali memperkerjakanku di perusahaannya, "Siapa
tahu bisa mengajukan pinjaman lunak," ujarnya. Walaupun aku dan Winda sama-sama
tahu, hal itu sangat mustahil terjadi tanpa ada embel-embel lain yang
menguntungkan Pak Wels.
"Maaf,
ya Cin, sekarang tanggal tua. kalaupun bonusku sudah cair, gak akan nyampe
sebesar itu. Mudah-mudahan ada jalan lain untuk kesembuhan Sashsa, ya Cin."
Ucapnya prihatin.
Aku
mengerti, dan memang tidak terlalu berharap banyak kepada Winda. Saat itu aku
butuh biaya yang tidak sedikit. Setidaknya aku harus menyiapkan 50 sampai 100
juta-an untuk keperluan pengobatan Sasha. Tetapi, bagaimanapun juga aku sangat
berterima kasih kepada Winda, karena dengan menghubungiku saja pada hari itu, aku
merasa sedikit lega. Setidaknya aku masih mempunyai seseorang untuk menumpahkan
segala keluh kesah.
Dari
perbincangan itu semuanya bermula. Aku akhirnya memberanikan diri menghubungi
Pak Wels. Dengan suara yang terbata-bata aku menyampaikan semua permasalahanku
sembari melemahkan nada suaraku dan menahan desakan isak tangis pilu yang
mendesak dalam dada.
"Hmm,
Cindy, 100 juta itu bukan uang sedikit, apalagi sekarang kantor lagi dalam keadaan
yang cukup lemah, dan untuk saat ini pun kantor belum memerlukan karyawan baru
...." ucap Pak Wels, lalu terdiam sejenak sebelum ia kembali berkata, "Begini
saja, kamu besok datang ke kantor, kita bicarakan semuanya di kantor, ya? Kalau
kamu bersedia, sepertinya ada satu jalan ...."
"Ba-baik
Pak, sebelumnya aku ucapkan terima kasih, Pak ... maaf mengganggu waktunya," sahutku pelan dan penuh hormat. Untuk satu detik kemudian, aku merasa menemukan
sedikit cahaya terang, walau belum mengetahui "jalan" seperti apa yang akan ditawarkan oleh Pak Wels, aku tidak
punya banyak waktu untuk memikirkannya.
Sebelum
menutup sambungan telepon, aku menganggukan kepalaku beberapa kali walaupun aku
tahu Pak Wels yang berada di sebrang telepon tidak akan melihat gerakan
anggukan kepalaku sebagai tanda menghormati lawan bicara.
"Ma
... sesak ...."
Tiba-tiba
suara Sasha terdengar samar merintih di belakangku, dengan segera aku
menghampiri Sasha yang tampak terkulai lemah dan kesakitan di atas pembaringannya.
Andai saja aku dapat dengan mudah mengambil posisinya untukku, aku rela mengalami segala sakit dalam tubuhnya untukku,
agar Sasha tidak perlu merasakan penderitaan itu lebih lama lagi.
"Sabar
ya nak, Mama akan berusaha agar kamu mendapatkan pengobatan dan penanganan yang
layak secepatnya ...." sembari mengembuskan napas berulang kali, aku berusaha
menenangkan Sasha. Ujung telapak tanganku bergerak pelan membelai rambut di
ujung kepalanya yang terkulai lemah di atas pembaringan. Aku tidak kuasa lagi menahan
derai airmata yang mulai berkumpul di ujung pelupuk mata.
Aku
memang belum mampu membawanya kembali ke rumah sakit. Bantuan dari teman,
saudara dan pemerintah masih belum mencukupi untuk mendapatkan perawatan yang
serius. Menurut dokter yang menangani Sasha, penyakitnya sudah semakin menjalar
kemana-mana, Sasha benar-benar membutuhkan penanganan yang beberapa hal tidak
dapat di tanggung oleh asuransi kesehatan dari pemerintah.
Informasi
yang datang dari rumah sakit seolah tiada henti membawa kabar yang menjepit
hingga menghimpit ruang gerakku yang sempit. Birokrasi rumit berhasil melemparkanku
dari wilayah sini sampai ke wilayah sana, membuatku selalu terpental tanpa
hasil.
Aku
benar-benar tidak mempunyai daya, segala upaya yang aku lakukan seakan sia-sia.
Malam itu, aku hanya mampu memeluk tubuh mungil Sasha sembari menahan
kristal-kristal bening yang berkumpul di sudut pelupuk mata, kepalaku lelah
berputar.
Buku lain oleh elangpratama
Selebihnya