Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
PIERRE: Cinta Terlarang

PIERRE: Cinta Terlarang

MahayaLiliana

5.0
Komentar
334
Penayangan
10
Bab

Pengalamanku hari ini datang dengan sangat tidak kusangka, tak kusadari ternyata memberikan efek yang sangat berbeda padaku. Aku seperti menemukan duniaku lagi lalu keresahanku seakan hilang. Aku bukan sedang menyatakan diri bahwa aku jatuh cinta padanya. Aku hanya kagum dan juga tidak menyangka akan pertemuan ini. Bulu-bulu yang ada di kotak gaun menari waktu itu ternyata adalah milik Pierre. Entah bagaimana benda itu ada di tempatku, aku tidak mempermasalahkan jika Pierre menyusup ke dalam rumahku. Ia memiliki sayap dan kekuatan istimewa yang tidak dimiliki manusia, pasti mudah baginya untuk menyelundupkan benda itu ke rumahku. Satu hal yang masih mengganjal di pikiranku adalah mengapa Ia datang kepadaku. Semenjak aku tahu bahwa Ia adalah malaikat, maka sejak itu pula aku tahu bahwa Ia telah datang kepadaku jauh sebelum aku mengenalnya. Ia menguntit hidupku. Ia mulai menampakkan diri ketika aku berkemah di Bulawanong satu tahun yang lalu. Untuk apa Ia datang? Dalam dongeng yang kutahu tentang malaikat, malaikat tidak boleh berpasangan dengan manusia, apalagi sampai menghasilkan keturunan. Jadi, tidak mungkin Ia ke sini untuk mencari jodoh. Keturunan campuran antara manusia dan malaikat akan sangat ditakuti oleh kalangan malaikat. Ia dianggap lebih laknat dari iblis karena perilakunya lebih biadab. Ia akan menjadi pengkhianat dan pendengki. Saat aku tidak bisa membaca pikiran Pierre, di situlah aku memiliki prasangka yang bermacam-macam. Apakah ini alami atau mungkin manipulasi Pierre, aku tidak bisa memastikannya. Seperti Pierre ingin aku merahasiakan tentang dirinya, aku juga berharap diriku bisa merahasiakan diri bahwa aku bisa membaca pikiran Pierre sekitar sembilan puluh persen ... Cerita tentang gadis biasa yang jatuh cinta kepada malaikat

Bab 1 Relung yang Terluka

Idealnya, kebersamaan itu berakhir bahagia. Tetapi apa yang kudapatkan ternyata tidak. Kebersamaanku dengan Algha selama hampir lima belas tahun berakhir dengan kebencian. Hubungan kami dirusak oleh Ia sendiri, Algha. Lelaki yang kucinta memutuskanku seminggu yang lalu tepat sehari sebelum Ia pergi ke New York. Alasannya klasik dan basi, Ia termakan bujuk rayu wanita yang tidak lain adalah kakak tingkatku sendiri. Lalu aku menganggapnya selingkuh, kukira itu benar.

Tetapi di sini Algha adalah orang yang paling marah ketika aku mengungkapkan ketidakterimaanku atas apa yang Ia lakukan di belakangku.

Sampai detik ini segala sesuatu tentang Algha masih mengganjal di kepalaku. Kepercayaan yang kami bangun selama lima belas tahun rusak hanya dalam hitungan jam. Aku tidak bisa mendefinisikan bagaimana sakit yang kurasakan. Aku hanya menyayangkan bagaimana bisa Algha membagi kasih sayangnya untukku dan wanita itu sekaligus, selama tiga bulan terakhir ini.

"Algha, bukankah aku tidak pernah sepakat bahwa ada perempuan lain di hubungan kita?" seminggu yang lalu aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak berkata kasar kepadanya.

"Ia tidak berada di hubungan kita, Alisha. Kau dan aku tetap bersama meski Ia juga bagian lain dari hidupku. Kau tidak perlu mengurusnya. Anggaplah, aku ini irisan di antara dua himpunan, Kau dan dirinya," tanggap Algha.

"Tidak bisa, Kau hanya bisa memiliki aku saja atau Ia saja. Jika ini Kau anggap tidak masalah, aku yang akan mundur. Aku tidak bisa melihat orang lain memilikimu juga," ucapku dengan nada yang mulai meninggi.

"Aku tidak akan melepaskanmu, Alisha. Kau perlu mendengarkan alasanku mengapa aku melakukan ini."

"Tidak perlu. Tidak ada pembenaran apapun untuk perselingkuhan," kupikir tidak penting bagiku mendengarkan pembelaan diri Algha.

"Baiklah, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk bicara denganmu. Tapi aku harus berangkat ke New York malam ini. Aku berjanji, tahun depan kita bicara lagi dan urusan kita akan selesai," ucapnya sebelum meninggalkanku seorang diri di anak tangga depan rumahku.

Setelah mengucapkan kalimat itu, Ia membuka pintu mobilnya dengan kasar lalu memacunya dengan kecepatan tinggi. Aku syok dengan kenyataan ini, aku syok dengan apa yang Algha putuskan. Kami berpisah hanya dalam hitungan jam, saat aku menyusul ke rumahnya, Ia sudah pergi. Tak ada siapapun di rumahnya kecuali Nanny, pelayan sekaligus pengasuh Algha sejak Ia kanak-kanak.

"Nanny, apakah Ia sudah lama berangkat?"

"Tentu saja belum, Alisha. Ngomong-ngomong mengapa Kau tidak ikut mengantarnya? Bukankah Kau kekasihnya, Nona Kecil?"

Pertanyaan Nanny membuatku kembali sadar bahwa aku bukan lagi gadis kesayangan Algha. Lelaki itu membohongiku dengan diam-diam memacari orang lain. Tetapi sifat keras kepalaku membuat diriku nekat mengayuh sepeda ke bandara malam itu juga. Hasilnya nihil. Tak ada Algha atau keluarganya sama sekali di sana. Aku terlambat.

Sakit, kesal, malu, dan menyesal bercampur menjadi satu. Aku hanya bisa menangis sepanjang perjalanan malam itu hingga detik ini. Berat sekali rasanya untuk sekadar berkunjung ke rumahnya menemui kedua orangtuanya. Apakah mereka masih menganggapku sebagai calon menantu? Atau bahkan lebih menyetujui hubungan Algha dengan wanita itu?

Lelaki yang menemaniku melewati kehidupan sebatang kara sekarang sudah pergi. Sulit sekali aku menerima takdir ini karena Ia sudah menjadi teman baikku sejak ingatanku mulai tumbuh. Mungkin waktu itu aku berusia empat tahun saat Ia datang ke rumahku bersama kedua orangtuanya. Kami menjadi teman masa kecil.

Aku jatuh cinta kepadanya entah umur berapa, kebersamaan membuat kami saling menyukai. Mungkin takdir kematian kedua orangtuaku juga mempengaruhiku agar aku bergantung kepadanya. Ia memudarkan terjalnya takdir hidupku dengan kisah cinta yang terlalu indah, hingga saat aku dipaksa kehilangan cinta itu, aku terlalu merasa sakit.

Algha kulihat sebagai seorang lelaki saat usiaku sepuluh -setahun setelah kedua orangtuaku kecelakaan pesawat. Saat itu mungkin Ia berusia lima belas, paras remajanya mulai membuatku terpesona. Ia selalu datang ke rumahku setelah kami pulang sekolah sampai menjelang senja. Selain Algha, tak ada orang lain di rumahku. Aku hidup seorang diri di rumah. Pengacara orangtuaku mempercayai seseorang untuk mengurus perusahaan mereka. Setelah aku berumur dua puluh satu nanti, aku sudah harus bisa mengurus perusahaan peninggalan mereka.

Dari jendela kamar lantai dua, kulihat mobil yang melintas di jalan depan rumahku melaju perlahan lalu berbelok memasuki halaman rumahku. Aku berharap keajaiban datang, semoga saja itu adalah mobil tumpangan yang mengantarkan Algha ke rumahku. Pintu mobil terbuka dan aku melompat ke luar kamar menuruni anak-anak tangga untuk memastikan siapa yang datang.

"Alisha... Sudah lama sekali kita tidak bertemu," satu dari tiga perempuan yang turun dari mobil berlari merangkulku. Aku senang bertemu lagi dengannya meski dalam hati kecilku ada rasa kecewa karena ternyata yang datang bukan Algha.

"Sharon," bisikku.

"Kau menangis, Alisha?" tanya Evyta kepadaku sembari menutup pintu mobilnya.

"Ah, aku hanya kesepian," jawabku memasang wajah biasa saja meski siapapun tahu pasti ada alasan yang tidak biasa yang kusembunyikan.

Aku dikenal mereka sebagai gadis periang, aku senang dan tak perlu khawatir mereka mengkhawatirkan diriku. Aku menjalani hidup dengan energik. Tetapi hari ini ketika mereka mengunjungiku setelah sekian lama, mereka melihat sesuatu yang sangat berbeda.

"Tak ada salahnya Kau berbagi cerita dengan kami, siapa tahu suasana hatimu akan membaik," ucap June.

Ketiga teman sekolahku datang sesuai rencana kami satu bulan yang lalu. Seharusnya hari ini kami bersenang-senang karena kami sudah merencanakan kemah tahunan sebagai acara reuni.

"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya kesepian, untung saja kalian datang. Apakah hanya kita berempat yang akan kemah?" aku mengalihkan perhatian.

"Tidak, tapi mereka terlalu lambat. Mungkin sebentar lagi mereka datang. Di mana Algha? Bukankah biasanya Ia selalu di rumahmu jika liburan tiba?" Evyta melihat sekeliling, begitu pula Sharon dan June.

"Ia berangkat ke New York minggu lalu, Ia harus mengikuti persiapan program master. Sebenarnya aku sangat keberatan, tetapi bukankah Ia berhak untuk menjalani hidupnya dengan bebas?" jawabku berpura-pura bahwa aku dan Algha masih baik-baik saja.

"Wah, hebat sekali Ia," seru June.

Aku tahu June adalah gadis yang hobi belajar dan Ia mempunyai cita-cita untuk studi di luar negeri, tetapi nasib keluarganya yang serba kekurangan mengharuskan Ia melupakan cita-cita tersebut. Ia cukup menggantungkan cita-citanya untuk berkuliah di kota ini sembari bekerja paruh waktu tahun depan. Mendengar pujiannya kepada Algha, aku hanya tersenyum.

"Mereka akan datang," Sharon mengingatkan kami sembari memegang handphone-nya.

"Ah, aku belum menyiapkan barang bawaan," seruku sembari berlari menuju ruang tengah dan lantai dua untuk mengemasi barang-barang yang harus kubawa untuk berkemah.

Aku pikir tak ada salahnya jika aku mengikuti acara perkemahan ini, di sisi lain aku juga ingin menghibur diriku sendiri dan melupakan Algha. Jika Algha memang sudah tidak mencintaiku lagi, bukankah aku tidak berhak memaksa?

"Alisha, astaga! Kau tidak membaca pesanku sama sekali?"

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku