Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
KASIH 'Ketika Ludah Jadi Petaka'

KASIH 'Ketika Ludah Jadi Petaka'

D'Wiz

5.0
Komentar
180
Penayangan
9
Bab

Kasih yang sedang kesal karena perut lapar dan bertemu pria yang pernah membuatnya kecewa, menumpahkan emosinya pada Jiko, pedagang es teh. Akibat Kasih meludahi Jiko, dia pun harus diganggu dengan halunisasi dan imajinasi liar. Lama kelamaan hidup Kasih berubah menjadi hidup yang penuh petaka.

Bab 1 Scene 1

Jam dua siang.

Gadis tinggi langsing itu dengan cuek melangkah masuk ke dalam rumah. Tak ada sapa maupun salam, padahal di teras rumah duduk dua wanita berumur.

"Darimana kamu, Kasih?" tanya seorang yang di bagian kiri-kanannya telah tumbuh uban.

"Seperti biasa Ma. Dari rumah Caca, main sama si kecil Aya," jawab Kasih pada ibunya.

"Ibu Sri, kapan nih bisa gendong cucu?" tanya si ibu berbadan gemuk, berbeda rupa dengan Sri, ibunya kasih yang kurus.

"Sebentar lagi dong, Bu Yanti. Tunggu aja tanggal mainnya, eh surat undangannya. Tapi tunggu, takutnya kalau Bu Yanti terima undangan, terus bukannya datang ke pesta malah kabur mau ketemu saudaranya lagi," ucap Kasih yang dari lagaknya mau bercanda.

"Maksudnya apa Sih?" tanya Yanti tak mengerti.

"Hihihi, soalnya rencana pesta kan di pantai tuh. Terus kalau Bu Yanti ketemu Putri Duyung, malah temu kangen lagi." Kasih bergelak tawa.

"Wah, bukan itu. Singa laut yang paling benar. Puas kan kamu!" Yanti terus ikut tertawa. Diikuti Sri.

Seperti biasa, selalu ada tawa ramai di rumah Kasih.

Kasih lantas tanpa bicara basa-basi lagi, main masuk ke dalam rumah. Tujuannya itu ke dapur, mengambil piring.

Perutnya terasa lapar. Namun kala Kasih membuka tutup magic com, dia mengeluh kecewa.

Bau nasi matangnya memuakkan. Bau basi nasi.

"Mama, nasinya basi ya?" teriak Kasih.

"Loh, masa sih? Mama kan baru masak itu nasi sejam yang lalu," jawab Sri yang sudah berdiri di depan pintu.

Tempat menaruh magic com itu di atas meja kecil dan sejalur dengan arah pintu rumah.

"Mama sini, deh! Lihat sendiri, basi apa nggak?" Kasih melambaikan tangannya.

Sri melangkah masuk. Dengan cepat dia pun sudah berada di depan magic com. Karena magic com sudah ditutup Kasih, Sri kembali membukanya.

Hidung Sri pun diserang bau tak mengenakan yang berasal dari nasi di dalam magic com.

"Iya, bau. Kok, bisa?" Sri menatap Kasih heran.

"Lah, kok Mama tanya aku, sih? Aku mana bisa jawab?" Kasih menggeleng, tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Oh, apa berasnya nggak bagus?"

"Loh, kan kamu sendiri yang beli semalam sama Romeo di minimarket. Beras bungkusan lima kilo. Merek mahal katamu!"

"Masa sih Ma?" Kasih menyengir kuda.

"Seumur-umur Mama belum pernah bohong deh, kayaknya...."

"Ah, masa. Bukannya dulu Mama suka tuh bilang nggak simpan uang, terus suruh aku minta sama Almarhum Papa. Eh, tahunya Papa bilang sudah kasih uang jajanku ke Mama. Lupa, ya?"

"Hush, masa lalu tak boleh diungkit. Lagipula waktu itu kan hutang Mama sama Papa cukup banyak. Jadi ya Mama harus menabung buat bayar hutang," jelas Sri.

"Terus gimana dong?"

"Gimana apa Sih?" tanya Sri tak paham.

"Perutku lapar, nih. Bagi uang dong, Ma!" Kasih sodorkan tangannya.

"Pakai saja uang yang Romeo kasih ke kamu," jawab Sri.

"Ya, nggak bisa Ma. Uang itu kan buat biaya pesta. Romeo udah percaya sama aku, kalau aku pakai uang itu sembarang terus dia tahu, bisa rusak namaku. Yang ada gagal nikah, deh!" Kasih menolak memakai uang pemberian Romeo, yang mana memang disuruh Romeo untuk disimpan.

"Kak Rindu kan belum pulang kerja, Sih. Dia belum kasih uang bulanan. Ada sih ceban, apa kamu mau?"

"Sepuluh ribu cukuplah buat beli nasi padang paket hemat. Boleh deh, Ma!"

Sri lantas masuk ke dalam kamarnya yang berada di depan. Di rumah ada empat kamar. Kamar depan buat Sri, kamar tengah untuk Kasih dan kamar belakang dihuni Rindu kakaknya Kasih yang berbeda lima tahun. Sementara kamar keempat yang berada di lantai atas dipakai Suro, pamannya Kasih dan Rindu.

Tetapi Suro yang juga adiknya Sri itu paling seminggu sekali pulangnya.

Kasih telah menerima uang sepuluh ribu dari tangan Sri, lalu dia berjalan pergi ke warung nasi yang menyediakan masakan khas Padang. Tak jauh dari gang rumah, jadi cukup berjalan kaki.

"Memangnya ada apa Bu?" tanya Yanti yang saat Sri ke dalam rumah, sedang asyik nonton video di media sosial dan dia lantas berhenti menonton.

"Itu, nasi yang baru dimasak udah basi aja. Padahal belum juga dua jam matangnya," ucap Sri menerangkan.

Sri cukup memanggil nama Yanti saja tanpa embel-embel, karena perbedaan usia mereka cukup jauh. Sri sudah lebih dari setengah abad, sementara Yanti baru kepala empat.

"Wah, yang benar Bu?" kaget Yanti.

"Bohong kan tak ada gunanya, Yan."

"Ibu ada firasat tak enak nggak?" tanya Yanti dengan wajah serius.

"Maksudmu?" Kening Sri berkerut.

"Begini Bu, biasanya kalau nasi yang baru dimasak eh sudah basi, itu suka ada pertanda buruk. Tetapi apa yang bakal terjadi, aku tak tahu. Cuma ya biasanya sih suka ada orang yang nggak suka sama penghuni rumah ini," jelas Yanti.

Sri terdiam. Perasaan, dia tak punya firasat apa-apa.

"Ini bukan nakut-nakutin ya, Bu. Hanya dulu waktu aku remaja pas di kampung, pernah alami hal serupa. Nasi yang baru aja matang dikukus, tak bisa dimakan karena basi. Itu kejadian selama seminggu. Ternyata benar saja, Ayahku terkena santet. Setelah itu nasi yang dimasak udah nggak basi lagi." Yanti terlihat lelah setelah berbicara panjang.

Sri terkejut dan dia mulai merasa tak enak hatinya.

"Sayangnya, Ayahku tak bisa selamat dari penyakit sihir itu." Yanti menggerakkan jarinya menghapus air matanya yang sempat turun.

*

Seminggu telah berlalu. Nasi yang dimasak pun selalu menjadi basi.

Kejadian ini membuat perasaan Sri tertekan. Dia teringat pada cerita Yanti. Tetapi jika cerita itu benar, siapa yang akan mendapat celaka?

Sri tidak tahu. Karena dia tak punya kemampuan untuk tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Sementara hari ini matahari sedang gagah-gagahnya. Teriknya membakar kulit, membuat tenggorokan kering.

Kasih sedang uring-uringan, gagal dia untuk makan dendeng balado yang susah payah dia buat, mengikuti cara yang dia lihat via video. Begitu mau makan, eh nasi yang baru dia masak sudah basi.

Di saat Kasih sedang marah-marah sendiri, dia dipanggil Caca yang berdiri di depan pagar.

"Ada apa Ca?" tanya Kasih yang seusia dengan Caca, sama-sama berusia dua puluh tiga. Tetapi bedanya Caca sudah punya anak, si kecil Aya yang baru enam bulan.

"Beli es teh yuk! Lagi ada promo tuh, beli satu gratis satu. Kamu yang gratisannya, ya!" jawab Caca.

"Beli di mana?" tanya Kasih sambil mendekat.

"Di sebelah laundry 'Cuci Murah'."

"Boleh, deh! Sekalian beli nasi putih!" Kasih setuju.

"Loh, memangnya nggak masak nasi di rumah?"

"Basi nasinya!" Kasih tak bicara banyak, dia seret Caca untuk cepat berangkat.

Namun saat itu Sri yang beranjak keluar merasakan firasat tak enak, ketika melihat punggung Kasih.

"Oh, ada apa ini?" desis Sri.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku