Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
BREAKABLE HEART

BREAKABLE HEART

fitosyin

5.0
Komentar
46
Penayangan
3
Bab

Aruna Wimala, seorang karyawan magang di sebuah perusahaan multinasional tiba-tiba dihadapkan pilihan aneh menjadi istri muda seorang CEO dari perusahaan tempat nya bekerja atau dijodohkan dengan putra tunggal sang CEO sendiri, yang tak lain cinta pertama Aruna, Damar Daniswara. Tanpa pernah Aruna mengira pertemuan nya dengan dua anggota keluarga Daniswara itu, justru membuka kembali rahasia kelam kehidupan masa lalu Aruna yang sempat gadis itu lupakan. Jalan mana yang akan Aruna pilih dan sanggupkah Aruna menerima kenyataan pahit yang tersembunyi dari rahasia masa lalu nya itu?

Bab 1 Bertemu Kembali

"Aruna, Presdir memanggilmu."

Kalimat itu mendengung menemani langkah Aruna menuju ruang pemilik Osric Corp. Titik-titik kecil keringat muncul di pelipis bukan karena cuaca panas, melainkan karena rasa gugup dan takut. Aruna gugup karena ia hanya seorang staff internship yang tentunya tak memiliki alasan kuat hingga membuatnya dapat berhadapan langsung dengan orang seperti Dennis Daniswara. Dan gadis itu takut karena mengetahui predikat yang melekat pada pria itu. Selain pintar menjalankan perusahaan, Dennis juga pintar memilih dan memainkan hati perempuan. Dalam hati Aruna berdoa, semoga bukan alasan kedua-lah yang membuatnya di panggil hari ini.

Setelah keluar dari lift, gadis itu di sambut dua orang petugas yang berdiri di belakang counter resepsionis. Mulut Aruna tak dapat menutup karena terkejut melihat kedua orang itu serta merta tersenyum dan membungkuk mempersilahkannya masuk, padahal seingat Aruna, lantai ini adalah area terlarang bagi karyawan biasa.

"Pak Dennis telah menunggu di dalam."

Tidak, ini tidak beres.

***

"Bagaimana kesehatan Nenekmu? Pasti sangat sulit merawat pasien Demensia untuk gadis muda sepertimu."

Dennis memecah keheningan yang terjadi sejak beberapa menit lalu setelah Aruna masuk dan duduk di ruangan ini.

Aruna meremas ujung rok-nya gugup, darimana pria ini tahu tentang keadaan keluarganya? Gadis itu yakin tak pernah menuliskan apapun mengenai kehidupan pribadinya di dalam CV.

"Nenek baik-baik saja, dan merawat nenek bukan beban bagi saya,"jawab Aruna dengan suara bergetar, ia menunduk menatap tepian meja namun tetap dapat merasakan tatapan menyelidik Dennis, membuat bulu kuduknya merinding.

Dennis berdeham, ia berdiri dan berjalan menghampiri Aruna. Dengan santai, pria itu menaruh tangannya di atas bahu Aruna, membuat gadis itu sontak berjengit dan menahan nafas.

"Kamu gadis manis dan baik, kamu harus tahu itu Aruna."

Aruna terbelalak kaget, ia sama sekali tak tersanjung akan pujian itu. Sebaliknya Aruna merasa terhina mendengar kalimat itu keluar dari mulut seorang pria yang bahkan lebih pantas menjadi kakeknya sendiri. Benar, Dennis Daniswara adalah pria berusia di akhir enam puluh tahunan. Namun karena kekayaan yang ia miliki, Dennis nampak seperti pria di awal usia kepala lima dan tak sedikit perempuan yang bahkan berusia lebih muda dari Aruna, rela bertekuk lutut di bawah kaki pria itu. Tentu, demi uangnya.

"Terima kasih." Cicit Aruna.

"Tak perlu tegang seperti itu," Dennis melepaskan pegangannya dan duduk di tepi meja di samping Aruna.

Merasa terdorong, Aruna akhirnya memberanikan diri mengangkat kepala dan menatap langsung Dennis. Pria itu tengah menatap Aruna intens, dan Aruna merasa ia sedang di X-ray dengan tatapan itu, membuat semua isi kepalanya terbaca langsung oleh Dennis.

"Maaf, kalau boleh tahu-"

"Alasanku memanggilmu adalah karena kamu istimewa." Potong Dennis segera.

"Maaf?"

"Kamu tak tahu seistimewa apa dirimu, dan itulah yang membuatmu istimewa."

Semakin pria itu memujinya, Aruna semakin merasa tersinggung dan seketika emosinya tersulut. Ia tak lagi memikirkan masa depannya di perusahaan ini, ketika harga dirinya sebagai perempuan di rendahkan tak ada lagi alasan bagi Aruna untuk tetap berada disini, termasuk bersikap sopan pada pemiliknya.

"Maaf, Pak. Saya rasa-"

"Kemana ia, sejak dulu sama sekali tak dapat diandalkan." Lagi-lagi Dennis memotong kalimat Aruna, pria itu kini bahkan mengabaikan Aruna yang menatapnya tak terima dan memilih melihat jam di tangan.

Bertepatan dengan itu, pintu terbuka.

"Dua menit tiga puluh tujuh detik. Damar,rekor keterlambatanmu semakin parah."

"Seharusnya kamu bersyukur aku datang. Panggilanmu tadi mengacaukan kencanku."

Damar Daniswara membanting pintu, ia mengenyakan diri begitu saja di atas sofa dan menutup mata, sama sekali tak menyadari kehadiran orang lain dalam ruangan itu.

"Kurasa kamu tak akan menyesal melewatkan kencanmu jika tahu apa yang akan kutawarkan."

"Aku tak yakin." Masih dengan mata tertutup, Damar membalas kalimat ayahnya., "Kamu tak tahu gadis seperti apa yang menjadi teman kencanku kali ini. Ia yang terbaik."

"Benar-benar mirip."Desis Aruna tanpa sadar, membuat baik Damar maupun Dennis akhirnya menyadari keberadaan gadis itu.

Aruna yang merasa malu sekaligus terkejut karena tanpa sadar mengatakannya secara lantang memilih memalingkan muka menatap pemandangan di luar, dan menyembunyikan matanya yang memerah.

"Runa?" Panggil Damar tak percaya, ia bangkit dan menatap bergantian Dennis lalu kembali pada Aruna.

"Perkiraan ku jarang meleset bukan," Tandas Dennis.

***

Ketiganya duduk di sisi berlainan mengelilingi meja bersegi empat. Atas usul Dennis, mereka akhirnya makan siang di sebuah ruangan VVIP di restoran China. Menu utama telah tersaji dan hanya Dennis yang nampak sangat menikmati santapannya. Sementara Aruna menatap kaku pantulan bayangan wajahnya di atas sendok, dan Damar, akhirnya satu kali dalam hidupnya ia kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah ia harus merasa senang, sedih ataukah terancam?

"Ada yang salah dengan menu-nya? Apa kamu ingin memesan yang lain?" Tanya Dennis lembut pada Aruna.

Baik Aruna maupun Damar sama-sama tersentak ketika suara dalam Dennis memenuhi ruangan itu, seakan pria itu dapat begitu saja menjatuhkan vonis mati bagi mereka berdua.

"Tidak- sama sekali tidak."

Meski enggan, akhirnya Aruna mengangkat dan menyuapkan makanan di hadapannya ke dalam mulut. Pahit, hanya itu yang lidahnya cecap saat ini.

"Lihat Damar, Aruna gadis yang manis. Aku menyukainya, kamu setuju bukan?"

Damar menggeram, sementara Aruna merasa badannya disiram air es. Akhirnya vonis itu jatuh.

"Kamu gila? Usianya sama denganku."

"Lalu apa masalahnya? Bukankah sebelumnya banyak gadis yang berusia di bawah usia Aruna."

"Ayah!" Bentak Damar frustasi,

"Benar, aku ayahmu karena itu tak sepantasnya kamu bicara dengan nada tinggi padaku."

Dada Aruna sesak, entah untuk berapa lama lagi ia dapat menahan tangis yang ingin keluar. Kedua pria ini nampaknya terbiasa berunding tentang perempuan-perempuan mereka seakan tengah membicarakan pertandingan sepak bola semalam, mereka sama sekali tak memedulikan perasaan Aruna di sana. Ah, tunggu bukankah kesalahannya sendiri yang menurut begitu saja ketika Damar tadi memintanya ikut makan siang bersama mereka? Seharusnya gadis itu dapat membayangkan situasi seperti ini mungkin terjadi. Namun tetap saja Aruna sakit hati diperlakukan rendah seperti ini. Akhirnya Aruna menaruh serbet dan perlahan berdiri.

"Maaf, saya harus segera kembali bekerja. Terima kasih untuk jamuannya, Pak Dennis." Aruna membungkuk dan beringsut pergi.

"Tunggu, aku belum mengijinkanmu pergi." Cegah Dennis dingin membuat Aruna membeku di tempat.

"Biarkan ia pergi." Ujar Damar sambil berdiri dan melanjutkan, "Aku yang akan mengantarnya."

"Aku juga belum selesai denganmu!"

Damar menghela nafas dan menatap sendu Aruna, "Pergilah, biar pria tua ini aku yang urus."

Aruna sempat luluh ketika melihat sebersit perhatian pada tatapan Damar untuknya, Pria inii tetap berusaha melindunginya seperti dulu. Tapi hanya beberapa saat sebelum akhirnya Aruna sadar, perhatian itu hanya sebatas rasa kemanusiaan.

Aruna hampir meraih handle pintu ketika mendengar bunyi kursi jatuh dan suara menggelegar Dennis.

"Tak ada satu pun yang boleh pergi sebelum aku mengijinkan!"

"Ayah! Kumohon lepaskan ia."

Aruna membeku, ini pertama kalinya ia melihat Dennis naik pitam. Urat-urat merah bertonjolan di pelipis kontras dengan matanya yang juga memerah menahan amarah. Ini juga pertama kalinya Aruna melihat Damar merengek mengiba. Pria yang biasa Aruna kenal selalu nampak kuat dan percaya diri kini nampak lemah dan tak berdaya di hadapannya, pria yang lima tahun lalu mengabaikan pernyataan cintanya –kini memohon untuk kebebasannya.

"Tidak akan, sudah kukatakan aku menyukainya. Dan kurasa kali ini bukan hanya sebatas kencan tapi lebih daripada itu." Dennis kembali pada kursi nyamannya, ia mudah sekali mengubah mode perasaannya.

"Ini gila, tak mungkin gadis ini yang akan menjadi ibu tiriku." Desis Damar, namun terdengar sangat jelas di telinga Aruna.

Aruna menunduk, dasar bodoh! Jika dulu Damar menolak perasaanmu maka tak akan ada bedanya pula hari ini. Pria ini membelanya hanya karena ia takut memiliki ibu tiri yang seusia dengannya.

"Maaf, saya benar-benar harus pergi." Aruna tak peduli lagi apakah Dennis akan marah atau bahkan berubah menjadi Hulk.

Ia hanya ingin segera menjauh dari kedua ayah-anak ini. Bahkan dalam benaknya Aruna telah menyusun surat pengunduran diri.

"Aku ingin kalian menikah." Ujar Dennis sebelum menyesap teh hijau.

Hening, tak ada suara sedikitpun di ruangan itu. Bahkan tanpa sadar baik Damar maupun Aruna menahan nafas mereka begitu Dennis selesai bicara. Sementara itu,Dennis tersenyum senang melihat reaksi dua orang di hadapannya, tepat seperti yang ia bayangkan ketika ide ini melintas.

"Kuanggap kalian setuju, keluar dari pintu itu asistenku akan menemani kalian menyiapkan pesta pernikahan. Ah iya, kuharap kalian tidak keberatan pernikahannya akan dilaksanakan di Palace Hotel besok lusa, selain karena pemiliknya masih sepupuku-yang artinya kita mendapatkan harga khusus-hanya hari itu pula tempat itu kosong, kamu ingat Damar, bagaimana sulitnya memesan Palace Hotel bahkan hanya untuk satu jam, bulan lalu?" Dennis bangkit dan merapikan jasnya yang sama sekali tak kusut lalu melanjutkan, "Satu jam untuk menyatakan cinta pada seorang model internasional, dan akhirnya semua berakhir tiga hari kemudian. Kuharap kamu memiliki kenangan baru tentang Palace hotel setelah ini."

Ayahnya entah karena alasan apa seperti sedang berusaha membongkar satu per satu kedok Damar di hadapan Aruna, Damar dapat membaca dari penjelasan Dennis tadi, informasi yang biasanya tak penting namun Dennis mengatakannya seakan sedang menjelaskan indeks saham terbaru pada teman sejawatnya. Tetapi Damar tak mengerti alasan Dennis menginginkan ia menikahi Aruna.

"Ada apa lagi? bukankah kalian tadi berebut ingin segera keluar?" Tanya Dennis pura-pura tak mengerti, namun terselip tawa geli dalam suaranya.

Dennis tak pernah menyangka menjahili anak yang lebih mirip kloningannya sendiri akan semenarik ini.

"Kamu benar-benar gila, aku tak mungkin menikahi gadis sepertinya."

"Apanya yang tak mungkin, kamu lebih mungkin daripada diriku sendiri. Ingat, tadi kamu yang mengatakannya Damar."

"Benar, lebih tepatnya kita tak mungkin menikahi gadis seperti Aruna."

"Pilihannya hanya ada dua Damar, kamu menikah dengannya atau-"

Aruna tak dapat menahan tangisnya lagi, perundingan aneh antara ayah dan anak itu tentu menyakitinya, membuka luka lama yang bahkan belum selesai ia sembuhkan.

"Aku tak mungkin menjalin hubungan denganmu, Ru."

Persis jawaban itulah yang Aruna terima lima tahun lalu. Dulu Damar benar, bahkan kali ini pun ia tak memiliki kesalahan saat mengatakan kalimat itu. Aruna memang tak pantas untuk bersanding dengan pria sekelas Damar. Kelas sosial mereka jauh berbeda, bahkan dengan memaksakan diri pun Aruna hanya akan terseret dan kemudian tenggelam terbawa arus. Lima tahun lalu, gadis itu tak menyadarinya. Ia masih polos dan silau efek drama-drama TV yang bertema Cinderella. Tapi tidak dengan sekarang, Aruna sadar benar posisinya kini, dan karena kesadaran itu pula ia melamar bekerja di Osric Corp. Agar ia selalu ingat jarak antara dirinya dan pria yang ia cintai.

"Ya Tuhan, kurasa kalimatmu tadi sangat kasar, kamu membuat Aruna menangis."

Aruna mengusap air matanya, sebelum berlari keluar ia mengatakan, "Maaf, saya pikir lebih baik kita menganggap hari ini tak pernah terjadi. Saya permisi."

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku