Zannia dihadapkan dengan 2 pilihan terberat dalam hidupnya, antara mempertahankan hubungannya dengan Grey atau menikah dengan Canna. Ia bimbang. Di satu sisi ia sangat mencintai pacarnya itu dan di sisi lain dirinya tengah berbadan dua akibat kecerobohan laki-laki yang tidak ia kenal. Canna Delvin. Laki-laki itu berjanji pada Zannia akan bertanggung jawab atas janin yang berada dalam kandungannya. Seharusnya Zannia tidak perlu khawatir. Namun, statusnya yang masih menjadi pacar Grey membuat dirinya berhadapan dengan situasi sulit itu. Manakah yang harus Zannia pilih? Jujur kepada Grey dengan resiko terburuk anaknya tumbuh tanpa seorang ayah atau memilih tuk mengakhiri cintanya dengan Grey dan menjadi istri Canna?
Setahun yang lalu ...
Sebuah drone hitam berukuran berkelana bebas di udara malam. Hari ini hujan turun dengan lebat. Di belakang tubuh sang pengendali drone, ada sebuah televisi menyala yang menampilkan sebuah berita terkini.
Sebuah kecelakaan terjadi di jalan Kwangbok, tepatnya di area pembangunan gedung baru milik presdir Park Hyun Bi yang sebentar lagi akan diresmikan. Kecelakaan terjadi akibat sang supir truk mengendarai truk bermuatan barang dalam keadaan mabuk.
Menurut beberapa saksi mata yang melihat kecelakaan tersebut diduga supir truk banting stir setelah beberapa kali hampir menyenggol kendaraan lain di jalan raya. Menurut pengakuan singkat dari supir truk, dia mengaku kaget melihat mobil melaju dari arah depan dengan lampu mobil menyorot ke arahnya.
Supir truk sempat menghindar namun akhirnya menabrak tiang listrik dan menyebabkan kecelakaan. Dari kecelakaan tersebut, 2 orang yang merupakan ayah dan anak dari pengendara mobil dinyatakan meninggal di tempat kejadian.
Polisi berhasil mengamankan tersangka setelah mengevakuasi korban kecelakaan. Untuk saat ini, polisi masih terus melakukan penyelidikan. Akibat dari kecelakaan tersebut, jalan pun ditutup demi kelancaran proses penyelidikan. Para pengendara diminta untuk melewati jalan alternatif sebagai gantinya. Jung Ki Joon dari KBS melaporkan.
Mengabaikan suara dari televisi di dalam toko swalayan, jemarinya berhenti menggerakkan tuas ketika melihat objek menarik dari layar kamera. Suaranya yang teredam hujan memudahkan si pengendali drone mengetahui kejadian apa saja yang bisa dilihat dari atas sana.
22.22 KST.
Ada dua gadis yang wajahnya sulit terdeteksi drone karena terhalang rintik hujan. Yang dia tahu, satu gadis tomboy, satunya lagi berseragam sekolah.
Sepertinya menarik.
Sang pemilik drone berjenis kelamin laki-laki tersenyum dari balik tudung hoodie hitam. Menjumpai dua orang gadis yang sedang bertengkar di atas rooftop sekolah sepertinya menarik untuk dijadikan konten tambahan. Dia segera memutar tuas, mencari posisi yang tepat untuk merekam.
"Aku melakukan semuanya karena aku punya mimpi! Lalu kamu? Kamu siapa? Beraninya menghentikan mimpiku padahal kamu bukan Tuhan."
"Kamu masih berpikir kalau aku pelakunya?" Membuang muka, gadis berseragam sekolah itu melanjutkan perkataannya, "Apa kamu punya bukti jika aku pelakunya? Setidaknya aku punya alasan untuk mengaku jika aku bersalah, tapi kamu?" Dia menampilkan smirknya. "Tidak punya, kan? Kamu tidak ada bedanya seperti seorang pengecut, Revintalis!"
Ia bukan warga asli Korea. Nama Revintalis didapatkan ketika lahir dan besar di Russia. Menetap sebentar di negara ini sebagai seorang pelajar. Nasib keduanya tidak jauh berbeda meski berasal dari negara yang berbeda.
Bungkam. Meski sebentar, hal tersebut menyangkal semua tuduhan yang ia layangkan kepada lawan bicaranya.
Belum puas membuat gadis tomboy mati kutu di hadapannya, dia kembali angkat bicara, "Bodoh! Gerak-gerikmu bahkan mudah sekali kutebak. Jangan terlalu percaya diri, Revin. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sikapmu tadi sama sekali tidak cocok untukmu."
Sepertinya cukup sampai di sini. Gadis berseragam sekolah itu mengakhiri perdebatan mereka dengan sebuah tepukan lembut di bahu lawan bicaranya.
Saat hendak berlalu dari rooftop, Revintalis membalas ucapannya, "Aku tidak akan menyerah, Zannia! Kamu lihat saja nanti. Aku pasti akan menghancurkan mimpimu itu."
Zannia tersenyum tanpa berbalik. "Aku menantikannya. Mulai sekarang, kita adalah musuh."
Kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Turun dari roftoop, langkah Zannia terhenti dari balik pintu. Revintalis sedang bermonolog di luar sana. Sebagai mantan sahabat yang baik, Zannia menyimak semua keluh kesahnya tanpa bersuara.
"Kamu bodoh, Revin! Memalukan. Bisa-bisanya kamu berbicara dengan Zannia tanpa persiapan."
"Apa lebih baik aku loncat saja dari atas sini? Aku tidak siap bertemu dengan Jong Geun setelah pertengkaranku dengan Zannia tadi. Dia pasti memukuliku lagi. Aku memang tidak becus mengerjakan sesuatu."
Mengacak rambutnya frustrasi. Ia pasrah pada keadaan kini. "Kenapa Tuhan selalu memberiku kesempatan hidup setelah berulang kali aku mencoba mengakhiri hidup?"
Suaranya teredam hujan. Tidak akan ada yang mendengar ucapannya barusan. Berteriak pun rasanya percuma. Tuhan mungkin lelah mendengar keluh kesah yang tiap hari tidak mengalami peningkatan. Selalu hal itu yang dibahas. Mau bagaimana? Kendala hidupnya memang di sini sejak awal. Jika mengganti alur kehidupan itu mudah, sudah sejak dulu ia melakukannya.
Tenggorokannya terasa kering. Sekadar turun dari roftoop pun rasanya melelahkan. Melangkah menuju tepi roftoop kemudian menengadahkan kepalanya. Membiarkan rintik hujan jatuh menerpa wajahnya dengan mata terpejam.
"Apa orang sepertiku masih pantas bermimpi? Aku hanya menggunakan sisa hidupku untuk bersenang-senang."
"Semua orang pergi." Tawanya mengudara. Tersirat sebuah keputus asaan yang teramat sangat. Ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Namun, semuanya terlambat karena Zannia tidak akan mendengarnya meski diam-diam gadis itu mendengarkannya.
"Setelah kupikir-pikir, ternyata aku yang membuat mereka pergi dengan caraku."
"Aku terlalu naif menginginkan kehadiran mereka kembali. Saat duniaku runtuh, ada mereka yang menghiburku." Ada jeda di kalimatnya. "Tapi apa balasanku? Mematahkan harapan mereka kemudian mengusir mereka pergi sejauh mungkin. Sepertinya dosaku terlalu banyak. Tuhan tidak akan mengijinkanku bahagia, bukan?"
"Ya ... aku memang tidak pantas bahagia. Aku tidak akan memintanya dari-Mu. Aku cukup tahu diri menjadi hamba terburuk yang pernah Kau ciptakan di dunia ini."
"Bahkan jika dibandingkan dengan miliyaran bintang di alam semesta ini, kehadiranku bukanlah apa-apa. Hanya sebuah kebetulan yang tercipta sebagai pelengkap tanpa makna."
Bersusah payah ia menelan salivanya. "Kali ini saja kumohon. Berpihaklah padaku semesta! Hanya satu hari. Satu hari saja. Setelah itu, kau bebas meminta apa saja dariku. Aku lelah menghadapi semuanya. Ijinkan aku beristirahat dengan tenang barang sejenak."
Di bawah sana, sang pemilik drone akhirnya menyingkap wajahnya dari balik tudung hoodie. Parasnya yang rupawan seketika membuat para pelintas jalan terpesona dalam hitungan detik. Dia hanya ingin mendongak ke atas, memperhatikan postur tubuh Revintalis yang masih bisa dijangkau oleh mata telanjang.
Merasakan déjà vu di tengah-tengah derasnya hujan yang tak kunjung reda, tubuhnya tersentak.
"Zannia?"
Setelah menyebut satu nama yang membuat dadanya bergemuruh hebat, drone miliknya terjatuh, membuat atensi Zannia tertuju ke sumber suara. Posisinya menguntungkan karena dekat dengan titik jatuh drone tersebut.
Mengintip dari balik pintu, tampak Revintalis masih sibuk berperang dengan isi kepala, Zannia mengendap masuk mengambil drone yang jatuh. Secepat kilat ia kembali dan menutup pintu dengan jantung berdebar. Menatap drone di tangannya kini, matanya menangkap setitik cahaya putih sebelum akhirnya redup.
Benda itu kehabisan daya. Seseorang merekam gerak-gerik mereka. Apa-apaan ini!
Keningnya berkerut bingung. Merasa familiar. Zinnia merasakan de javu. Apa ia mengenal sang pemilik drone ini? Siapa gerangan?
Tak ingin menebak tanpa kepastian, ia berlari menuruni anak tangga menuju suatu tempat.
Di lain tempat, sang pemilik drone sudah tau jika Zannia akan mendatanginya. Dia sengaja meletakkan tuas drone di atas meja milik toko swalayan dengan selembar catatan kecil. Kemudian pergi usai menarik tudung hoodie-nya kembali menuju gang sempit yang minim pencahayaan.
Sedangkan Zannia akhirnya sampai di depan toko swalayan bertuliskan 'Giftmart'. Bermodalkan feeling dan isi hati, ia menjumpai catatan yang ditinggalkan pemilik drone lengkap dengan tuas pengendali. Zannia mengambilnya, membaca catatan itu dengan seksama.
Aku menantikan pertemuan pertama kita, Zannia. Akan kutunjukkan wajahku jika kamu berhasil menebakku dengan sempurna.
Note : jangan lupa simpan droneku. Aku akan mengambilnya di lain waktu.
Sampai bertemu lagi, Zannia.
-Z-
Zannia meremas kertas tersebut kemudian melemparnya ke tong sampah. Sial! Seseorang mengetahui identitasnya. Zannia semakin takut hidupnya kembali terancam.
Siapapun kamu, di mana pun kamu berada, aku harap ini adalah pertemuan terakhir kita, batin Zannia.
>_<
Hidup adalah tentang pertemuan dan perpisahan. Tiap dua orang yang dipertemukan oleh takdir akan terikat oleh sebuah benang. Semakin lama benang itu akan menipis, rapuh, kemudian putus.
Takdir datang membawa kesedihan dan kebahagiaan. Manusia diberi kesempatan untuk memilih. Sebagian besar mereka memilih tuk membawa rasa sedih.
Kenapa?
Kurasa hanya kalian yang tahu jawabannya.
Ending dari sebuah pertemuan tidak ditentukan oleh takdir. Kalian berhak menentukan pilihan. Terlepas dari hal apapun yang terjadi, happy ending selalu menjadi harapan kalian, bukan?
Untuk kesekian kalinya Zannia kembali bertemu perpisahan. Ayah dan ibunya memilih tuk berada di sisi Tuhan daripada menemaninya hidup di dunia.
Bertahan hidup sebatang kara tanpa peninggalan warisan orang tua adalah hal tersulit yang berhasil Zannia lalui seorang diri, setidaknya hingga saat ini. Perusahaan papanya gulung tikar. Ia terpaksa merantau ke negeri orang demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, contohnya didatangi penagih hutang.
Ngomong-ngomong tentang ending, belum pernah sekalipun ia memilih happy ending sebagai timbal balik pertemuan. Tidak ada yang berhasil membuat hatinya tergugah untuk mengambil opsi tersebut. Rasa sedih selalu mendominasi hati dan pikirannya bahkan sampai detik ini. Rasa bersalah atas sesuatu yang terjadi karena takdir, Zannia selalu menyalahkan dirinya sendiri semata-mata untuk mengurangi rasa sakit yang kian menggerogoti tubuhnya.
Setelah terpuruk cukup lama, ia berhasil bangkit dan bertahan hidup dalam jangka waktu panjang. Korea Selatan menjadi tempat persinggahan berikutnya. Tidak ada kerabat yang membantunya bangkit. Mandiri cukup sulit, bukan?
Setahun lamanya menetap di negara ini, ia berhasil menghasilkan banyak uang. Beberapa temannya menyarankan untuk pindah kewarganegaraan namun Zannia butuh waktu untuk mempertimbangkannya. Bukan karena ia tidak ingin. Masih ada hal yang belum ia selesaikan di tanah kelahirannya, yaitu Indonesia.
Sampai kapanpun hatinya tidak akan tenang jika belum melihat musuh yang membuat perusahaan ayahnya gulung tikar sekarat di dalam sel penjara. Keparat itu masih bersenang-senang bersama para jalang di luar sana. Jangan kira Zannia tidak tahu. Selama ini ia mempelajari segala tetek bengek anak buah musuhnya dengan teliti. Ia sudah menyiapkan beberapa rencana begitu menapakkan kakinya di Indonesia. Sayangnya, Zannia masih belum menemukan waktu yang tepat untuk menjalankan misi terbesarnya.
SSHH!!
"YAK!"
Beranjak dari kursi, Zannia mengibaskan tangannya yang terkena putung rokok milik seorang pejalan kaki yang melintas. Padahal ia tidak berulah. Hanya duduk di depan toko swalayan yang disinggahinya, seseorang berani mengusiknya.
Pria botak itu menoleh. Wajahnya terlihat tak bersahabat. Putung rokoknya dia buang, bergerak maju mendekati Zannia sembari membusungkan dada.
"Yak?" Berdecih. Dia membuang muka begitu mengetahui seorang gadis yang mengajaknya berbincang. Jemarinya menggaruk pelipis."Ah, pengganggu kecil rupanya. Aku tidak punya tenaga untuk meladeni omong kosongmu itu."
Menyeringai. "Penganggu kecil? Huh!" Kaki kanannya menendang sepatu pria botak itu. "Rokokmu mengenai tanganku, bapak tua! Bukankah seharusnya kamu meminta maaf padaku?" Memperlihatkan tangan kirinya yang terdapat bercak abu.
Kembali berdecih. Tatapannya menusuk seakan ingin menelanjangi Zannia saat itu juga.
Berusaha menahan diri, ia menyuruh temannya untuk maju meladeni tingkah Zannia. Memutar balik badannya dengan cepat, Zannia memberikan tendangan telak pada aset berharga pria itu hingga jatuh tersungkur dengan ringisan keras.
"ARGHH!"
"Sialan! Berani bermain-main denganku, huh?"
"Tutup mulutmu, bapak tua! Siapa yang menyuruhmu berbicara?" Zannia melayangkan sebuah tinju ke wajah pria itu sehingga darah keluar dari lubang hidungnya. "Akan kubalas. Bukankah ini yang kalian mau?" Memukul wajah lawannya lagi. "Akan kuanggap sebagai permintaan maafmu, bapak tua."
Perkelahian pun terjadi.
>_<