Kuhancurkan Harga Dirimu, Galih

Kuhancurkan Harga Dirimu, Galih

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
10
Bab

Demi tunanganku, Galih, aku rela mengorbankan karirku sebagai koki dan menelan ludah saat ia membatalkan rencana restoran kami untuk ke-52 kalinya. Aku menoleransi semua itu, bahkan saat ia lebih mementingkan model "rapuh" bernama Davina. Namun, saat aku demam tinggi dan sangat membutuhkannya, ia justru mengirimiku sup tom yum udang-makanan favorit Davina. Dia bahkan tidak ingat aku alergi seafood. Tujuh tahun pengorbanan terasa sia-sia. Aku membuang kalung pemberiannya, mengundurkan diri dari pekerjaan, dan kembali ke kampung halaman untuk memulai hidup baru sebagai pengacara, identitas asliku yang selama ini kusembunyikan. Galih yang panik akhirnya menyusulku. Ia bahkan berlutut di depan kantor baruku, melamarku di hadapan semua orang. Aku menatapnya dingin, lalu dengan suara lantang aku berkata, "Aku tidak akan menikahimu karena kamu membatalkan pernikahan kita 52 kali. Aku tidak akan menikahimu karena kamu melupakan alergi seafood-ku. Dan aku tidak akan menikahimu karena kamu tidak pernah setia." Aku akan menghancurkan harga dirinya, sama seperti ia menghancurkan hatiku. Mulai sekarang, aku adalah ratu atas takdirku sendiri.

Bab 1

Demi tunanganku, Galih, aku rela mengorbankan karirku sebagai koki dan menelan ludah saat ia membatalkan rencana restoran kami untuk ke-52 kalinya. Aku menoleransi semua itu, bahkan saat ia lebih mementingkan model "rapuh" bernama Davina.

Namun, saat aku demam tinggi dan sangat membutuhkannya, ia justru mengirimiku sup tom yum udang-makanan favorit Davina.

Dia bahkan tidak ingat aku alergi seafood.

Tujuh tahun pengorbanan terasa sia-sia. Aku membuang kalung pemberiannya, mengundurkan diri dari pekerjaan, dan kembali ke kampung halaman untuk memulai hidup baru sebagai pengacara, identitas asliku yang selama ini kusembunyikan.

Galih yang panik akhirnya menyusulku. Ia bahkan berlutut di depan kantor baruku, melamarku di hadapan semua orang.

Aku menatapnya dingin, lalu dengan suara lantang aku berkata, "Aku tidak akan menikahimu karena kamu membatalkan pernikahan kita 52 kali. Aku tidak akan menikahimu karena kamu melupakan alergi seafood-ku. Dan aku tidak akan menikahimu karena kamu tidak pernah setia."

Aku akan menghancurkan harga dirinya, sama seperti ia menghancurkan hatiku. Mulai sekarang, aku adalah ratu atas takdirku sendiri.

Bab 1

Amira Suwito POV:

Ketika Galih Palgunadi membatalkan rencana pembukaan restoran impian kami untuk yang ke-52 kalinya, aku tahu ada yang tidak beres. Angka lima puluh dua. Itu bukan sekadar angka, itu adalah pengingat betapa seringnya aku menelan ludah dan memaafkan. Setiap kali dia mengatakan 'nanti', hatiku terasa diremas.

Saat itu aku sedang demam tinggi. Tubuhku menggigil hebat, tenggorokanku sakit, dan kepalaku berdenyut-denyut seperti ditusuk jarum. Aku hanya ingin bersandar pada bahu Galih, mencari sedikit kekuatan di tengah kekacauan ini. Restoran yang hampir jadi, impian kami berdua, kini terasa seperti beban yang menghimpitku sendirian.

"Aku butuh kamu, Galih," kataku lirih di telepon, suaraku serak dan parau. "Aku tidak enak badan. Kita bisa menunda ini, kan?" Jeda di ujung sana terasa seperti jurang yang menganga, menelan habis sisa harapanku. "Davina butuh aku, Mir," jawabnya, suaranya terdengar jauh dan terburu-buru. "Dia baru saja pingsan di lokasi syuting. Kamu tahu dia rapuh." Aku merasa seperti tidak pernah ada di daftar prioritasnya.

Aku melihat ke sekeliling, pada dinding-dinding bata ekspos yang baru saja kami pasang dengan susah payah. Aku menatap meja-meja kayu jati yang terukir indah, hasil pilihanku sendiri. Ini adalah tempat kami, atau setidaknya, aku berpikir begitu. Tapi kini, bayangan Davina Arsyad, model pendatang baru yang selalu diklaim 'rapuh' oleh Galih, menguasai ruang ini. Keberadaannya terasa lebih nyata daripada keberadaanku sendiri.

Ayah dan Ibu menelepon, nada suara Ibu dipenuhi kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. "Amira, kamu baik-baik saja, Nak?" Suara Ibu terdengar lembut tapi tegang. "Ayah dengar Galih lagi sibuk sama model itu lagi." Aku hanya bisa mengangguk, padahal mereka tidak bisa melihatku. Air mata mulai menetes, bukan karena sakit fisik yang kurasakan, tapi karena luka yang jauh lebih dalam, mengoyak-ngoyak batinku.

Selama tujuh tahun ini, aku telah mengorbankan segalanya untuk Galih. Karier koki yang cemerlang, mimpi-mimpi pribadiku yang begitu berharga, semua kukesampingkan demi mendukungnya. Aku merancang menu restoran kami, membantunya mencari investor, bahkan membersihkan studio fotografinya saat ia lelah dan tak berdaya. Tapi siapa yang melihat itu? Siapa yang menghargai semua itu? Tidak ada.

Puncak kekesalan itu terjadi hari ini. Aku berada di lokasi restoran, mengecek pemasangan lampu gantung terakhir. Tanganku gemetar saat menggenggam getaran ponsel di sakuku. Galih. Dia membatalkan proyek ini lagi. "Davina pingsan, Mir. Aku harus membawanya ke rumah sakit," katanya terburu-buru, tanpa memberiku kesempatan sedikit pun untuk bicara atau membalas.

"Tapi... aku di sini, Galih. Sendirian," suaraku bergetar, hampir tidak terdengar. "Ini hari penting, kita harus memastikan semuanya beres!" Aku mencoba menjelaskan, berharap ia mengerti. "Davina lebih butuh aku," ulangnya, seolah itu adalah mantra ajaib yang bisa membenarkan segalanya. Tidak ada penjelasan lain, tidak ada permintaan maaf tulus. Hanya Davina. Selalu Davina.

"Aku janji, setelah Davina pulih, kita akan menyelesaikan ini. Kita akan menikah, Mir. Aku akan menebus semuanya," katanya, suaranya kini terdengar lebih halus, seperti madu yang terlalu kental dan lengket. Aku mendengarnya, tapi kata-katanya terasa hampa, menguap begitu saja. Pernikahan? Restoran? Hanya janji manis belaka yang tak pernah terwujud.

Sebelum aku bisa membalas, telepon sudah terputus. Sambungan mati. Dia pergi. Meninggalkanku sendirian di antara puing-puing impian kami yang baru saja kubangun dengan kedua tanganku.

Ini bukan pertama kalinya. Ingat angka 52? Itu bukan sekadar kebetulan. Ini adalah pola yang berulang, sebuah siklus penghancuran yang terus terjadi, dan aku, dengan bodohnya, selalu menunggu di ujungnya, berharap kali ini akan berbeda, berharap dia akan berubah.

Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Keringat membanjiri dahiku, bukan hanya karena demam, tapi juga amarah yang kini mulai membakar seluruh relung hatiku. Aku tidak menangis, tidak menjerit. Hanya sebuah dingin yang menusuk, menembus tulang-tulangku. Ini bukan aku. Aku tidak pernah sesabar ini.

Saat Galih kembali ke rumah malam itu, ia terlihat sangat lelah. "Maaf, Mir," katanya sambil membelai rambutku, seolah itu bisa menghapus segalanya. Aku memaksakan senyum tipis. "Tidak apa-apa," jawabku, suaraku datar dan hampa. Aku menatapnya, mencoba mencari tahu, apakah ada sedikit penyesalan di matanya. Aku tidak menemukan apa pun.

Dia terkejut. "Kamu tidak marah?" tanyanya, alisnya terangkat, seolah aku adalah teka-teki yang sulit dipecahkan. Aku hanya mengangkat bahu acuh tak acuh. Apa gunanya marah? Bukankah itu hanya akan menjadi salahku lagi?

"Aku tahu kamu sakit," katanya sambil menyerahkan sebuah kotak bekal berwarna biru. "Aku bawakan makanan favoritmu. Sup tom yum udang." Aku menatap kotak itu. Aroma pedas dan asam langsung menyeruak, menusuk hidungku. Makanan favoritku?

"Terima kasih," kataku singkat, tidak menatapnya, menghindari tatapannya. Hatiku terasa kosong, hampa tak berujung.

Setelah Galih kembali sibuk dengan ponselnya, seolah aku tidak ada, aku menatap sup di tanganku. Senyum pahit merekah di bibirku. Ini bukan makanan favoritku. Aku alergi seafood. Makanan ini... Makanan ini adalah favorit Davina. Kebohongan kecil yang menyakitkan. Dia bahkan tidak ingat hal sesederhana itu.

Sebuah kalung emas putih dengan liontin berbentuk hati. Hadiah Galih saat kami merayakan ulang tahun pertama kami. Dulu, setiap melihatnya, hatiku berdesir, dipenuhi kebahagiaan. Kini, kalung itu terasa seperti rantai yang membelenggu, mencekik leherku. Pengingat akan janji-janji kosong dan pengorbanan yang tak dihargai.

Aku mencengkeram kalung itu kuat-kuat. Dingin dan berat di telapak tanganku. Tidak ada lagi kehangatan yang terpancar dari sana. Hanya beban yang teramat sangat.

Aku bangkit, berjalan ke tempat sampah di dapur, dan melemparkan kalung itu ke sana. Suara dentingan logam beradu dengan plastik. Bersamaan dengan suara itu, sesuatu dalam diriku ikut hancur dan mati.

Cukup. Tujuh tahun. Cukup. Semuanya berakhir sekarang.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya

Buku serupa

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku